Untuk menghidupi empat anak sendirian, Marina Martin Segedi harus gonta-ganti pekerjaanPrestasinya baru dikenali setelah mengangkut penumpang dari Kemenpora
BACA JUGA: Kisah Suami-Istri dengan Tiga Anak, Korban Tewas Tragedi Kartanegara
MUHAMMAD AMJAD, Jakarta
REZEKI itu datang dari kliping koran yang telah berusia hampir tiga dekade
BACA JUGA: Melintasi Jembatan Golden Gate di San Francisco, AS
Marina yang sangat bangga ketika itu langsung melaminating potongan surat kabar tersebut"Saya memang sengaja melaminating biar awet
BACA JUGA: Femke Den Haas; Terdampar di Indonesia demi Urusi Binatang
Saya tak menyangka itu bermanfaat dan membuat saya mendapatkan penghargaan," ucap Marina yang dilahirkan di Jakarta pada 7 Mei 1964 itu.Penghargaan yang dimaksud datang dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada September laluYakni, berupa rumah dengan nilai uang Rp 125 juta yang diberikan kepada mantan atlet berprestasiRealisasinya berbarengan dengan pemberian bonus bagi para atlet peraih medali di SEA Games 2011 pada Kamis, 24 November lalu
"Saya bersyukur, akhirnya uangnya sudah di tangan," ujar Marina yang beberapa kali juga menyabet gelar di kejuaraan nasional dan daerah itu
Wajar kalau perempuan 47 tahun itu bungahSebab, hampir tiga puluh tahun berlalu, sepak terjangnya yang telah mengharumkan nama bangsa terlupakanPadahal, keberhasilan menjadi jawara pencak silat ASEAN pada 1983 itu bisa dibilang setara dengan meraih emas di SEA Games saat iniSebab, saat itu silat belum dipertandingkan di ajang olahraga antarnegara Asia Tenggara tersebut
Beruntung nasib mempertemukan Marina dengan Karsono, pelanggan taksinya yang bekerja di KemenporaDari obrolan di atas taksi yang berlangsung pada April 2011 lalu, single parent yang harus menghidupi empat anak (dua di antaranya anak angkat) itu menemukan jalan untuk menerima penghargaan mantan atlet
"Tapi, itu pun tidak mudahSoalnya, saya masih disuruh memberikan pembuktian-pembuktian kalau saya benar-benar atlet berprestasi dulu," terangnya.
Marina pun menyerahkan semua bukti kesuksesannyaMulai medali sampai piagam prestasiNamun, pihak Kemenpora belum sepenuhnya yakinBeruntung, perempuan 47 tahun itu masih menyimpan kliping koran tadi yang di dalamnya juga dilengkapi foto dirinya saat juara ASEAN pada 1983 itu.
Akhirnya uang Rp 125 juta tadi pun berhak dia milikiTapi, Kemenpora mewajibkan uang itu diwujudkan menjadi rumahKalau ada kekurangan, si penerima yang mesti menambahi
Karena itulah, meski baru menerima rezeki dalam jumlah tidak sedikit, Marina tak lantas meninggalkan profesinya selama ini: sopir taksiYa, pekerjaan yang sehari-hari memberinya penghasilan sekitar Rp 100 ribu itulah yang dia jalani sejak bercerai dari sang suami yang menikahinya pada 1983 dan memberinya dua putri, Rayner Nurdin, pada 1989.
"Ketika itu, setelah bercerai, mau silat terus tidak mungkin karena saya harus menghidupi anak-anakKarena itu, saya memutuskan untuk bekerja," terang ibunda Ayu Yulina Sari dan Rima Afriany Caroline itu
Pada awalnya, perempuan yang tinggal bersama ibunya di kawasan Bintara, Bekasi, sejak bercerai itu membuka warung kecil-kecilanSayang, usaha itu tidak berjalan lancar sehingga dia banting setir untuk mencari pekerjaan lain
Marina akhirnya diterima menjadi sopir taksiSebuah pilihan yang kurang "lazim?, sebenarnyaSebab, sampai sekarang pun jarang ditemui kaum Hawa yang menekuni pekerjaan tersebut
Namun, wanita berdarah Jerman-Jawa itu justru bersyukur karena menjadi sopir taksi telah menyelamatkan dia dan keluarga"Apa yang saya dapatkan cukup untuk menghidupi keluarga dan untuk biaya pendidikan anak-anakApalagi, masih ada beasiswa Supersemar yang saya terima meskipun tidak banyak," kata perempuan 47 tahun itu.
Sebenarnya, sebelum bercerai, Marina mendapatkan tawaran cukup menarik untuk melatih seni pencak silat di BelandaNamun, setelah berkonsultasi dengan orang tua dan suami, dia batal berangkat karena anaknya saat itu masih kecil dan butuh dekat dengan dirinya.
Tawaran itu tentu didasarkan pada kegemilangan sepak terjang Marina di silatMarina mulai mengenal bela diri ini dari sang ayah yang berdarah Jerman, Martin SegediMeski asli Jerman, latar belakang Martin adalah pejuangDia turut bergabung di daerah militer Siliwangi (kini Kodam Siliwangi).
"Saya sangat tertarik pada silat karena mendengar cerita dari ayahMulai kelas VI SD saya ikut perguruan Padjajaran," kata Marina yang beribu perempuan asal Malang, Soekartin, itu.
Keterampilan yang terasah dari ketekunannya berlatih memikat ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) saat itu, Eddie Mardjoeki NalaprayaApalagi, saat di kejurnas dia nyaris menjadi juara sebelum akhirnya dibatalkan karena tidak memperkuat DKI Jakarta sebagai daerah asalnya, melainkan Bogor.
Namun, Marina tetap dipanggil ke Pelatnas IPSI untuk kejuaraan ASEAN dan mampu menaklukkan juara kejurnas kala diadu dalam pelatnasAlhasil, dia dipercaya turun sebagai wakil Indonesia di Kejuaraan ASEAN 1983 yang diikuti tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura
Setelah tampil di kejuaraan ASEAN itu, Marina sebenarnya masih berhasrat menggeluti silatNamun, statusnya sebagai istri dan ibu memaksanya mengurangi frekuensi latihan dan bertandingBahkan, dia sempat berhenti total kala hamil dan pada masa awal kelahiran.
Perceraianlah yang akhirnya benar-benar membuat silat harus minggir dari kehidupan MarinaSebagai orang tua tunggal, tenaga dan konsentrasinya tercurah untuk mencari uangBerbagai kesempatan mendapatkan nafkah pun terus dia coba
Tiga tahun setelah menjadi sopir taksi, dia pergi ke Sulawesi untuk bekerjaTapi, belum genap tiga tahun bekerja, dia kembali ke Jakarta dan mulai mencari peluang bekerja di dunia layar lebarKebetulan, film berbau silat saat itu boomingDia pun kecipratan peran kecil sebagai pendekar perempuan di sejumlah film.
Di antaranya dalam Warisan Ilmu Karang, Pendekar Tapak Sakti, dan Pendekar Naga EmasSayang, karirnya di dunia layar lebar tidak langgeng seiring merosotnya industri perfilman nasional pada 1990-anMulai awal 2000-an, Marina kembali menjadi sopir taksi hingga kini
Berkat kerja kerasnya, dua anaknya bisa menyelesaikan pendidikan dan kini telah memberinya dua cucuYang mengagumkan, di tengah kondisi perekonomian yang serba terbatas, Marina masih mau menjadi orang tua angkat bagi Tya Oktaviany dan Jello Christoper"Orang tua mereka teman-teman saya dan kondisinya jauh lebih buruk dari saya," terangnya
Dengan tambahan beasiswa dari manajemen Taksi Bluebird tempat dia bekerja, Marina juga bisa membesarkan Tya dan Jello dengan baikTya telah kuliah, sedangkan Jello yang masih di bangku sekolah dasar kini mulai serius menekuni pencak silat
Lewat Jello ini pula Marina mencanangkan ambisi mencetak pesilat nasionalUntuk itu, pada saat anak-anaknya telah dewasa sehingga dia punya waktu cukup, Marina pun mulai meneruskan perguruan Padjajaran yang dulu menjadi tempatnya bernaungBahkan, dia menjadi pendekar utama yang menjadi instruktur para murid perguruan Padjajaran.
Tentu, fasilitasnya masih minim untuk 40-an murid dewasa dan 30-an anak-anakMarina hanya melatih mereka di lapangan belakang kompleks rumahnya, di kawasan Bintara, Bekasi, dua kali dalam seminggu, setiap Minggu malam dan Kamis malam.
Meski demikian, dia yakin, dari kesederhanaan itu bakal lahir juara seperti dirinyaDia pun tak lupa menitipkan harapan kepada PB IPSI agar tak melupakan para mantan atlet seperti dirinyaTak muluk-muluk, sekadar dilibatkan dalam kepanitiaan sebuah kejuaraan atau menjadi asisten dalam pertarungan pun cukup(*/c2)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tubuh Melayang, Berpikir Kiamat Datang
Redaktur : Tim Redaksi