Markoem, Si Perajin Biola Handmade

Biola Bagus Bergantung pada Kayu dan Pembuatnya

Minggu, 26 April 2015 – 06:42 WIB
Markoem berada di bengkel biola miliknya di Jalan Kaliasin Gang V, Surabaya. Foto: Dipta Wahyu/Jawa Pos

jpnn.com - Hampir dua dekade terakhir, Markoem membuat biola handmade. Banyak pesanan, namun tidak semuanya bisa diterima karena keterbatasan bahan.

Laporan Fahmi Samastuti, Surabaya

BACA JUGA: Tentang sebuah Pondok Pesantren yang Serius Kembangkan Kerajinan Batu Akik

JEMARI Markoem bagai menari di fingerboard biola. Tangan kanannya dengan luwes menggerakkan busur. Dia memainkan komposisi Schubert yang paling populer, Ave Maria. ’’Waduh, nggak bisa pas nadanya. Kekecilan biola soalnya,’’ ucapnya sembari mengatur pasak biola. Pria lulusan MULO (SMP pada masa kolonial) tersebut ganti memainkan lagu gubahan Gesang, Bengawan Solo.

Penampilan tersebut bukan di sebuah panggung, melainkan di kampung padat penduduk belakang Tunjungan Plaza. Tepatnya, di bengkel biola sederhana. Dari rumah kecil di Jalan Kaliasin Gang V, alunan biola Markoem bersanding dengan suara motor dan anak-anak yang berlalu-lalang.

BACA JUGA: Kisah Wong Solo yang Sudah 50 Tahun di Rumania

Markoem kini menekuni profesi langka, yakni perajin biola. Sebelumnya, pria kelahiran 24 Mei 1934 tersebut aktif mengisi jabatan-jabatan strategis di kantor pelayaran hingga organisasi kepemudaan seperti Pramuka dan Palang Merah Indonesia.

Tentang biola, pria berusia 80 tahun itu menyebut sebagian besar belajar secara otodidak. ’’Belajar formal pernah. Dulu sekali, di sekolah musik daerah Embong Trengguli. Sekarang sekolahnya tutup,’’ ucapnya mengenang.

BACA JUGA: Kerisauan M. Haitami, sang Penjaga Tradisi Ukiran Dayak di Kalimantan Tengah

Markoem nyemplung di dunia biola karena ajakan seorang teman yang penyanyi Radio Republik Indonesia (RRI). Dia memilih biola bukan murni karena minat. ’’Soalnya kalau gitaran, jari saya kapalen. Nyanyi juga dites, bengok-bengok nggak cocok,’’ kata ayah lima anak itu.

Darah seni dari sang bapak yang seorang dalang tidak bisa dibohongi. Markoem mampu menguasai permainan biola berbagai genre dalam waktu dua tahun. Pria kelahiran Peneleh tersebut melanjutkan kuliah pada 1958. Bisa dibilang, sejak saat itu ’’belajar’’ biolanya memasuki masa dormansi. Pekerjaan yang berat memaksanya berhenti memainkan alat musik gesek itu.

Markoem muda sempat menjajal berbagai pekerjaan. Di antaranya, bekerja di industri ekspor-impor tembakau. Pekerjaan tersebut mengantarnya ke Jerman. Dia dikenal sebagai pelaku dagang dengan komoditas bahan baku rokok berkualitas wahid.

’’Kalau ngomong dagang, ada satu prinsip yang saya pegang. Jangan ngambil barang orang secuil pun,’’ tegasnya.

Keteguhan Markoem membuahkan kepercayaan klien dan atasan. Pindah-pindah perusahaan dan bidang keahlian, tampaknya, bukan hal sulit buat Markoem. Seperti kata pepatah, jodoh memang tidak ke mana.

Bekerja di bidang pelayaran mulai usia 13 tahun membuat suami Siti Nafsiah tersebut bertemu banyak orang dari berbagai latar belakang. ’’Perwira, kapten, sampai anak buah kapal, ternyata banyak yang bisa memainkan biola,’’ katanya.

Markoem sedikit demi sedikit belajar lagi tentang biola lewat pengamatan dan tanya jawab dengan mereka. Rehat dari urusan pelayaran pada 1995, pria pencinta musik klasik tersebut mulai membuat biola. Kebetulan, selama berlayar, Markoem telah mencicil modal usaha. Mulai kayu hingga buku-buku tentang biola.

Pria yang pernah menekuni fotografi analog itu juga mempelajari teknik pembuatan alat musik empat dawai tersebut. ’’Yang penting itu dua. Kayunya bagus sama yang bikin pinter. Jadinya pasti gini,’’ ucapnya sambil menunjukkan jempol.

Untuk membuat biola yang bersuara medhuk atau empuk, butuh kayu yang cukup tua. Di permukaaan bahan pun, tidak boleh ada tanda bekas ranting atau dahan. Tandanya, lanjut pengidola Addie M.S. itu, dalam 1 cm kayu ada lebih dari tujuh serat penampang. Makin banyak seratnya, makin bagus kualitas kayunya.

Jika sudah menemukan as atau poros kayu, barulah Markoem membuat pola. Pertemuan sisi kanan dan kiri harus tepat di tengah, yakni di as kayu. Setelah itu, pola biola digambar di kayu bahan setebal 2 cm itu. Jika sudah pas –sisi kiri dan kanan seimbang–, barulah kayu dipotong.

’’Papan suara (bagian depan biola) sama punggung nggarapnya beda. Kalau nggak gitu, ya gak enak suaranya,’’ ujarnya.

Bagian papan suara harus terbuat dari kayu yang empuk­ seperti pinus, cemara, dan cypress. Sisi biola bisa menggunakan bahan yang keras seperti jati. Untuk bagian punggung, bisa digunakan kayu yang sama dengan papan suara atau jenis yang agak keras seperti damar.

Karena stok kayu jarang ada, Markoem tidak bisa selalu menerima pesanan pelanggan. Sebulan dia menerima maksimal tiga pesanan. ’’Kayaksekarang. Ada yang minta, tiga orang. Tapi, nggak ada bahan, ya nggak saya sanggupi,’’ tegasnya. Markoem tidak mau membuat biola dari bahan kualitas dua.

Belasan tahun menggeluti bisnis biola, dia menyatakan bahwa banyak yang berubah. Dulu dia membuat violin dan biola lengkap dengan busurnya, tapi sekarang tidak lagi. Dia menyarankan pelanggan membeli busur berbahan rambut ekor kuda itu di toko musik.

’’Dulu kuda masih banyak, kalau butuh tinggal izin yang punya, terus kres. Sekarang jangankan yang putih, kuda item juga jarang. Ya biar mereka membeli busurnya sendiri,’’ jelas Markoem.

Untuk kotak biola, dia enggan menyediakannya lagi. Sebab, harganya naik drastis. Jika dulu hanya Rp 300 ribu, sekarang harga per unit Rp 800 ribu.

Harga biola buatan tangan Markoem tergolong murah jika dibandingkan dengan handmade Tiongkok, apalagi Eropa. Biola handmade tersebut hanya dijualnya seharga Rp 2 juta–Rp 5 juta per buah. Padahal, jika dijual di luar negeri, harganya bisa naik hingga puluhan kali lipat. Terlebih, Markoem pernah membuat varian alat musik gesek yang berhias ukiran.

Namun, pria yang pernah aktif di organisasi kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Wathan, tersebut menolak menjual biolanya dengan harga selangit. ’’Jual mahal di sini ya nggak laku. Lagi pula, biola itu mahal karena ada sejarah pribadi pemiliknya,’’ jelas Markoem. Dia mencontohkan alat musik milik W.R. Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya, yang ditawar Rp 5 miliar.

Meski tidak sedang mengerjakan pesanan, Markoem enggan berpangku tangan. Dia menerima servis biola dan selo. Saat ini Markoem menyelesaikan biola untuk dirinya sendiri. Di bengkel mininya, tampak papan suara biola yang belum dihaluskan dan dikeruk. Jika permukaan biola milik pelanggannya halus, calon biola kepunyaannya terlihat penuh alur bekas ranting.

’’Masio kayunya biasa, potongannya pas. Coraknya juga simetri,’’ ucapnya sambil menunjukkan punggung dan papan suara biolanya. Dia yakin suara biola bikinannya tetap medhuk, tidak kalah dengan yang berbahan kualitas satu.

Lama malang melintang di dunia musik, tentu saja ada harapan-harapan yang disimpan Markoem. Salah satunya kebangkitan musik Indonesia yang berkelas. Dia ingin musik keroncong, seriosa, dan orkestra Nusantara mendapat tempat di telinga dan hati warga negaranya. Bukan melulu lagu top 40 internasional.

Hal itu pula yang membuat Markoem jarang menyalakan radio. ’’Tiap nyetel, lagu Barat terus. Tak pateni,’’ katanya. Dia lebih memilih mendengarkan musik dangdut ketimbang lagu bandbarat. Asal, musik dan liriknya nyaman di telinga.

Markoem juga ingin Surabaya punya gedung dan tim orkestra yang rutin manggung. Sebagai perajin alat musik, Markoem ingin biolanya dimainkan di panggung musik. Bersama dengan pengiring orkestra lain, perkusi, piano, serta alat musik tiup dan gesek. ’’Saya pengin Surabaya punya pertunjukan yang rutin, seperti di luar negeri. Biar musik kita bagus-bagus, nggak kalah sama luar,’’ harapnya. (*/c7/ayi

BACA ARTIKEL LAINNYA... Calon Menang, Bisa Kantongi Sampai Rp 150 Juta Plus ke Kelab Malam


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler