Maryani dan Ponpes Khusus Waria di Jogjakarta

Cari Sangu sebelum Naik Keranda

Kamis, 03 Maret 2011 – 08:08 WIB

Dua petak ruangan kecil di rumah Maryani, kawasan Notoyudan, Jogjakarta, kalau malam disulap menjadi tempat salatBeberapa ruangan di belakang rumahnya juga difungsikan sebagai kamar bagi teman-temannya yang datang untuk belajar agama

BACA JUGA: Kisah Wayan Mertayani yang Menjuarai Lomba Foto Internasional berkat Kamera Pinjaman

Siapa sangka, rumah sederhana itu kini menjadi pondok pesantren khusus waria


==========================
   AINUR ROHMAH, Jogjakarta
==========================

PONDOK  Pondok pesantren itu diberi nama Ponpes Waria Al-Fatah Senin-Kamis, Notoyudan

BACA JUGA: Gadaikan Motor hingga Buka Facebook untuk Nasi Bungkus

Mulai beroperasi pada 2008 ketika pendirinya, Maryani, mendapat pengalaman-pengalaman yang menggelisahkan batin
Misalnya, selama ini kaum waria sulit beribadah di tempat ibadah pada umumnya

BACA JUGA: Sacramento; Ketika Sebuah Kota Terancam Kehilangan Tim NBA (2-Habis)



"Ponpes umumnya mungkin akan menolak waria yang hendak beribadahKarena itu, saya mendirikan pondok ini untuk memberikan tempat bagi waria untuk beribadahApalagi saya mendapat dukungan kiai yang bersedia mengajari kami," terang Maryani ketika ditemui Jogja Raya (Jawa Pos Group) pekan lalu.

Pondok itu diberi nama Al-Fatah Senin-Kamis semata-mata untuk mengajak para "santri" banyak beribadah"Salah satunya dengan puasa setiap Senin-KamisKarena itu, pondok ini saya namakan Pondok Al-Fatah Senin-Kamis," tuturnya.

Awal didirikan, ponpes tersebut memiliki 35 "santri"Yang mondok bukan hanya kaum transgenderAda pula kaum gay dan lesbian"Tapi, sekarang hanya tinggal 20 waria yang aktifTeman-teman gay dan lesbian sudah tidak ada," ungkap waria 51 tahun yang membuka salon di rumahnya tersebut.

Selain Jogja, waria-waria yang menjadi "santri" di Ponpes Al-Fatah datang dari berbagai kota di IndonesiaDi antaranya, Surabaya, Mataram, Medan, dan BandungMereka mempunyai latar belakang yang berbeda-bedaAda yang bekerja sebagai perias pengantin, penata rambut di salon, pegawai PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), perajin perak, aktif di LSM, dan sebagainyaTapi, ada juga yang masih senang "keluar malam".

Mereka memang tidak menetap di rumah Maryani yang tidak begitu besarNamun, setiap hari mereka datang ke pondok Maryani mulai pukul 17.00 hingga esoknyaSelama di pondok itulah mereka diajak menjalankan ibadah bersama-samaMisalnya, salat berjamaah, belajar membaca Alquran, dan salat malam

"Ketika magrib, kami salat berjamaah, dilanjutkan membaca salawat nariyah, Al Fatihah 100 kali, lalu salat Isya dan belajar membaca Alquran mulai alif, ba?, ta?," jelas Maryani.

Menurut dia, waria yang datang ke pondok tidak dipungut biaya sepeser punUntuk biaya operasional, Maryani menggunakan tabungannya dari hasil usaha salon rias pengantin serta sumbangan dermawan yang datang untuk bertamu"Tapi, kadang saya harus ngutang ngalor-ngidulGak apa-apaYang penting pondok jalan."

Selain kegiatan rutin tiap hari, Maryani dan para "santri" sering melakukan bakti sosial di lokasi bencana alamMisalnya, saat Gunung Merapi meletus tahun laluPonpes Al-Fatah mengirimkan 20 waria yang ahli di bidang pangkas rambut"Mereka bertugas di posko penampungan korbanTugasnya, antara lain, memotong rambut para pengungsi," ceritanya.

Bakti sosial itu dilakukan Maryani dan kawan-kawan di beberapa tempat penampungan pengungsi di Magelang"Alhamdulillah, selama kegiatan, kami bisa mencukur sekitar 250 pengungsiKarena yang kami miliki keahlian memotong rambut, ya itu yang bisa kami sumbangkan," ujarnya.

Keunikan ponpes Maryani ternyata mengundang rasa penasaran berbagai pihakSelain media massa, para peneliti asing sering bertandangDi antaranya datang dari Prancis, Jerman, dan Belanda"Mungkin pondok kami satu-satunya yang pernah ada di duniaKarena itu, orang-orang asing tersebut ingin tahu seperti apa isinya," tambah waria murah senyum itu

Di Jogja, saat ini terdapat sekitar 200 wariaKebanyakan bekerja sebagai pengamen di lampu-lampu merah dan bekerja di salonMeski tidak sedikit yang beragama selain Islam, Maryani tetap membuka pondoknya untuk mereka"Tidak ada diskriminasi di siniYang beragama lain silakan datang."
 
Harus Terus Bersyukur

Rambut pendeknya tertutup kerudung cantik merahMeski sudah muncul keriput di sana-sini, waria itu masih terlihat energikMeski begitu, Maryani tidak pernah merasa terlahir sebagai wariaBagi dia, hidupnya sekarang adalah anugerah yang harus disyukuri meski orang-orang mencibirnya sebagai orang berkepribadian ganda"Waria itu bukan pilihan hidupSaya jelas tidak mau kalau disuruh memilih menjadi waria," tegasnya.

Maryani merasa terpanggil untuk mengumpulkan teman-temannya sesama waria di Ponpes Al-Fatah Senin-Kamis yang dia dirikan"Waria juga manusia yang ingin beribadahIngin sujud di hadapan Allah," ujar waria kelahiran Jogja, 15 Agustus 1960, tersebut.

Dia mulai aktif dalam pengajian yang diasuh Kiai Amroni sekitar 20 tahun silamDialah satu-satunya waria di antara sekitar 3.000 jamaah yang aktif mengikuti pengajian tersebutDari kondisi itulah, Maryani lalu berpikir untuk memberikan wadah bagi kaum waria agar bisa bebas menjalankan ibadah tanpa harus menghadapi penolakan dari berbagai pihak.

"Kadang waria ingin masuk ke masjid saja dilarangDi sini (ponpes) mereka bisa beribadah dengan bebas," tegasnya.
 
Menurut dia, hidup tidak lebih dari perhentian sementara menuju dunia yang kekalKarena itu, dia merasa perlu mengisi kehidupannya di dunia dengan hal-hal positif"Kita sewaktu-waktu pasti naik kerandaNah, saya perlu nyari sangu dulu kalau sewaktu-waktu ditimbali Gusti Allah," jelas Maryani.

Sebelum menetap di kampung halamannya, dia sempat bertualang di beberapa kota lainDia pernah bekerja sebagai petugas cleaning service sekaligus penata rambut di sebuah salon di Semarang"Saya belajar nyalon, tapi juga ngepel-ngepel lantai," ungkapnya.

Kehidupan malam pun sempat dicicipiNamun, setelah tabungannya dirasa cukup, dia mulai membuka salon sendiri di rumahBahkan, kini Maryani bisa mempekerjakan beberapa kawannya sesama waria.

Selain salon dan ponpes, hidup Maryani makin lengkap dengan kehadiran gadis cilik Rizki Ariani yang diadopsi sejak berumur satu setengah hari"Saya memberi nama Rizki karena Allah telah begitu banyak memberikan anugerah untuk sayaSementara itu, Ariani dari nama saya, Maryani," jelas Maryani dengan ekspresi berseri-seri.

Dia tidak punya obsesi yang muluk-muluk untuk ponpesnyaBahkan, dia tidak berharap uluran tangan pemerintahDia hanya ingin mengajak kawan-kawannya sesama waria untuk datang ke ponpesnya guna mendekatkan diri kepada TuhanDengan begitu, mereka akan memiliki tujuan hidup yang lebih baik"Selanjutnya terserah Gusti Allah," tegasnya(*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sacramento; Ketika Sebuah Kota Terancam Kehilangan Tim NBA (1)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler