BACA JUGA: Bak Antara Kucing dan Tikus
Teman saya bilang, itu sebuah jumping consclution, kesimpulan yang melompat.Pemilu mendatang masih empat tahun lagi
BACA JUGA: PLN Bak Buah Simalakama
Sementara di partai lain gema suksesi yang selaras dengan semangat zaman terus berkumandangBahkan di Golkar sudah tiga ketua umum partai itu sejak 1998 lalu, awal era reformasi
BACA JUGA: Kau Sombong, Kau Kubekot
Dari Akbar Tandjung ke Jusuf Kalla hingga Aburizal BakrieDari Amien Rais, Sutrisno Bachir pula di PANIdem dito dengan PPP dan PKS.Sesungguhnya, era Mega sudah terjajal semenjak era Orde Baru hingga era reformasiJika saat debut ia tampil pada Pemilu 1987, Mega memang merupakan daya tarik PDI oleh memori kollektif pemilih kepada ayahnya, Soekarno sang proklamator.
Saya ingat seorang Thayeb Ali, tokoh PDI Aceh, yang juga mantan PNI, dan begitu melihat Mega mendarat di Bandara Polonia Medan, ia bergumam, "Mirip Bung Karno, bulu kudukku merinding"Kala itu Mega datang bersama Soerjadi, Ketua Umum PDI saat itu.
Luar biasaTerbukti pada era Soeharto yang penuh intimidasi toh suara PDI meningkat cukup signifikan dari 7,9 (1982) menjadi 10,9 persen (1987) dan 14,9 persen (1992).
Semenjak itu, Megawati semakin berkibarIa terpilih dalam Kongres IV PDI di Jawa Timur pada Juli 1993, juga kongres luar biasa di Jakarta, akhir tahun yang sama sebagai ketua umum.
Megawati dicoba dijatuhkan pada Kongres Medan (1996), tetapi ditentang keras oleh arus bawah partai banteng sehingga meledak Peristiwa ”Sabtu Kelabu”, 27 Juli 1996.
PDI yang kemudian beralih menjadi PDI Perjuangan pada 1999, tampil bagai per yang selama ini ditekan Orde Baru, dan kemudian melonjakTerbukti begitu tekanan lenyap bersama tumbangnya Orde Baru, Jakarta dan banyak kota di Indonesia didominasi oleh "warna merah".
Tak mengherankan jika perolehan suara PDI-P melambung menjadi 33,74 persen pada Pemilu 1999Saya kira, inilah puncak kejayaan Mega, trah Bung Karno itu.
Namun bersama era reformasi, berbagai tokoh munculAda Amien Rais, Akbar Tandjung hingga Susilo Bambang YudhoyonoMasyarakat pemilih semakin rasional dalam menentukan pilihannyaTerbukti jika suara PDIP melorot menjadi hanya 18,53 (2004) dan 14,03 persen (2009).
Mengapa semua itu terjadi? Alasan bahwa PDIP tidak kalah, tapi hanya kekurangan suara, tentu saja permainan semantik yang tak logisBahkan ketika Mega menjadi Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden, tak mengesankan bahwa program pemerin tahannya prorakyat.
BBM juga naik di masa pemerintahan Gus Dur dan MegaJangan-jangan ini menjadi penyebab mengapa Mega kalah pada Pemilu 2004 laluKita ingat, semula ia menentang program Bantuan Tunai Langsung (BTL) dalam kampanye Pemilu 2009, yang justru digadang-gadangkan oleh Yudhoyono.
Gaya kepemimpinan Megawati yang cenderung sentralis, dan justru pada dirinya, bukan pada DPP secara kollektif juga menyadarkan masyarakat bahwa demokrasi macam itu tak lagi zamannyaBahkan sampai ada mandat partai yang memberikan wewenang kepada Mega untuk menentukan langkah partai dalam hal-hal prinsipil.
Mandat macam itu juga muncul di Kongres Bali yang memberi wewenang penuh kepada Mega untuk menyusun komposisi dan personalia DPPMana ada demokrasi macam itu di partai yang benar-benar demokratis?
Kita tak mengerti apa pertimbangannya jika Mega masih bertahan di Kongres Bali, sementara perolehan suara PDIP dalam tiga Pemilu terakhir kian susut juga.
Bahwa jika segenap struktur organisasi PDIP dari desa, kecamatan, kabupaten-kota, provinsi dan nasional masih menyanyikan "koor" tetap memilih Mega – justru sebelum kongres - tak lain karena sudah terbiasa dengan gaya kepemimpinan yang sentralis ituMaaf, mungkin, warga PDIP malah sudah menikmatinya.
***
Toh, Mega sudah terpilihHarus diakui bahwa sikap Mega yang akhirnya menolak wacana berkoalisi dengan pemerintahan Yudhoyono patut dipujiKonon, pemikiran yang dilambungkan oleh suaminya, Taufik Kiemas ini disebut kubu pragmatisDengan kata lain, kubu ideologis lah yang menang.
Tapi apa sih yang dimaksud dengan kubu ideologis?
Sayang, teman saya itu bukan insider PDIPApalagi saya pun hanya seorang jurnalisNamun jika bercermin kepada Soekarno, seorang nasionalis tulen itu, kita heran justru di era Megawati, beberapa BUMN malah korban privatisasiSebutlah, Indosat, sebuah karya besar anak bangsa yang kini mayoritas sahamnya dikuasai oleh asing.
Bahkan pada Pemilu 2009 lalu, yang kencang mengibarkan ekonomi kerakyatan adalah Prabowo Subianto, tokoh Patai Gerindra yang menjadi calon Wakil Presiden mendampingi calon presiden MegawatiBukan Megawati.
Kita ingat Bung Karno malah menasionalisasi berbagai perusahaan asing, di awal kemerdekaan dan sekitar tahun 1957-1958 silamMengapa di era kepresidenan putrinya bahkan Indosat jatuh ke pangkuan asing?
Jika PDIP getol menyoal kasus Bank Century, sebetulnya lumrah sajaMaklum, PDIP adalah patai oposisiAgaknya, sekuntum kembang layak diberikan kepada PKS dan PPP yang kritis dalam kasus Century, walaupun kedua partai itu ikut dalam pemerintahan SBY-Boediono.
Kubu atau partai ideologis tak hanya berlaku dalam tema NKRI sebagai harga mati, sebuah sikap politik yang sangat nasionalisTetapi juga dalam isu-isu ekonomiDi bawah kepemimpinan Mega lima tahun ke depan, kita ingin mendengar bagaimana PDIP menerjemahkan nasionalisme di bidang perekonomian.
Jika Soekarno mengatakan bahwa kaum Marhaen adalah mereka yang dikorbankan oleh sistem pembangunan ala kapitalisme, kita ingin mendengar terjemahan baru dari Mega dan PDIP, yang diselaraskan dengan perkembangan jaman.
Nasionalisme Soekarno tentu relevan pada zamannya, setidaknya dalam melawan kolonial Belanda, kendatipun masih bergema hingga ia dijatuhkan pada 1966-1967.
Soekarno bahkan berani menyatakan Indonesia keluar dari PBB dan IMF, dua lembaga internasional yang dinilainya sangat kapitalistis dan hanya menguntungkan negara-negara maju.
Barangkali inilah tantangan terbesar bagi Megawati dan PDIP dalam mencari jatidirinya yang beda dengan partai dan tokoh politik lain di negeri iniHarus ada alasan yang rasional dan penuh gelora ideologi "nasionalisme baru" bagi rakyat untuk memilih PDIP pada Pemilu 2014 mendatang.
Tanpa itu, orang akan melirik partai lain, dan saya membayangkan masa senja pun tiba bagi partai banteng ini(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menjaga Sjahrir, Menjaga Realisme
Redaktur : Tim Redaksi