Hilda Sofion, seorang perempuan di Jakarta kehilangan tiga anggota keluarganya, yakni Kadri, ayahnya yang berusia 79 tahun; Lina, ibunya yang berusia 74 tahun; serta Abrams, adiknya yang berusia 41 tahun.
Ketiganya meninggal dalam waktu yang berdekatan pada bulan Februari 2021.
BACA JUGA: Gerhana Bulan Akan Terjadi Malam Ini di Australia Selama Sekitar 3,5 Jam
"Papi di bulan Januari terkena serangan jantung dan meninggal tanggal 5 Februari," kata Hilda kepada wartawan ABC Sastra Wijaya.
"Mami meninggal 15 Februari dan adik saya Abrams menyusul mereka tanggal 20 Februari," ujarnya, yang juga menceritakan ibu dan adiknya sebelum meninggal dinyatakan positif tertular COVID-19.
BACA JUGA: Australia Melakukan Persiapan Untuk Jadi Negara Bebas Kanker Leher Rahim di Tahun 2035
Hilda yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan jaringan supermarket besar di Indonesia tersebut mengatakan ia hanya bisa menabahkan diri untuk menerima keadaan.
"Setiap hari saya masih mengingat mereka, namun hidup berjalan terus. Ada banyak hal yang harus saya urusin setelah mereka meninggal."
BACA JUGA: Â Sektor Pendidikan Australia Berada di Persimpangan Jalan dalam Persaingan Global
"Kadang sepulang kerja saat menyetir saya menangis ketika mengingat mereka, namun kemudian saya mencoba menguatkan diri sendiri," kata Hilda yang masih melajang.
Tak lagi memiliki keluarga inti, Hilda mengaku mendapat bantuan dari kalangan gereja di dekat rumahnya untuk membantunya secara spiritual.
"Saya mendapat bimbingan dan dukungan dari suster dan pastor di gereja saya. Dari mana saya belajar untuk tenang dan berusaha bangkit dari kesedihan untuk mengurus berbagai hal yang perlu diurus karena kepergian mereka yang mendadak," kata Hilda. Berdampak pada kejiwaan
Di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Syukron Aziz kehilangan ayahnya yang bernama Ridwan.
Ayahnya yang bekerja sebagai pegawai PDAM meninggal di pertengahan Juli karena COVID-19.
"Kami tidak tahu dari mana dia mendapatkan virus, karena tidak ada orang-orang di sekitar kami yang terkena," ujar pria berusia 26 tahun tersebut.
"Dalam rentang seminggu bapak meninggal," kata Syukron kepada ABC Indonesia.
Syukron mengaku kepergian ayahnya yang dirasakannya mendadak sangat berpengaruh pada ibunya.
"Waktu bapak meninggal ibu saya berteriak-teriak dan kemudian sering kali melamun."
"Ibu kemudian harus dibawa ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan perawatan dan setelah diberi obat sekarang sudah mendingan," kata Syukron, yang bekerja sebagai guru sebuah sekolah madrasah.
Ia mengatakan saat ini kondisi ibunya sudah normal, tapi tidak bisa lepas dari obat yang diberikan oleh pihak rumah sakit.
"Itu yang jadi kehawatiran kami, bergantung dengan obat," kata Syukron.
Syukron juga sangat berharap mendapat bantuan dari pemerintah dan mengatakan sejauh ini belum mendapat kabar apa pun.
"Setelah bapak meninggal, dari kelurahan ada permintaan mengisi formulir dari Dinas Sosial. Namun sampai sekarang tidak ada yang menghubungi kami."
"Masalah seperti kejiwaan ibu saya itu yang membuat kami khawatir dan merasa kami memerlukan bantuan dalam soal ini." Kecemasan banyak ditemukan
Saat ini terdapat sejumlah permintaan konsultasi psikologi dari mereka yang anggota keluarga meninggal akibat COVID atau bahkan dari pasien COVID-19.
Seperti yang diceritakan Lya Fahmi, seorang psikolog klinis di salah satu puskesmas di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Di bulan Juni 2020, saya mulai intens melayani konseling online melalui aplikasi WhatsApp bagi masyarakat di wilayah kerja puskesmas yang sedang isolasi mandiri karena terpapar Covid-19," katanya kepada ABC.
"Kecemasan adalah isu utama yang dihadapi oleh pasien-pasien COVID-19 yang sedang menjalani isolasi mandiri," katanya.
"Isu-isu psikologis pasien tidak lagi sebatas kecemasan terkait kesehatan diri dan keluarga, tapi meluas pada isu kesedihan ditinggal mati, kecemasan finansial, dan rasa tidak nyaman antara anggota masyarakat.
Lya juga pernah terlibat sebagai petugas pelacak ketika kasus COVID sedang tinggi di bulan Juli lalu, tapi terus melakukan layanan konseling.
Ia menceritakan saat itu hampir seluruh dusun di wilayah kerja puskesmasnya masuk dalam zona merah dan ketika melakukan pelacakan dia melihat banyak warga yang saling curiga satu sama lain.
"Ada kemarahan dan rasa tidak suka pada anggota masyarakat lain yang dinilai tidak peduli dengan pandemi sehingga tidak mau melakukan penyesuaian perilaku."
"Di samping itu, masyarakat juga cenderung merasa tidak aman dan sensitif terhadap cara pandang lingkungannya setelah mereka terpapar Covid-19," ujarnya.
Saat ini kasus COVID di Indonesia dilaporkan mengalami penurunan. Tapi belajar dari negara-negara lain, seperti di Eropa, wabah baru bisa saja terjadi apalagi saat tingkat vaksinasi belum tinggi.
Tapi menurut Lya masyarakat di daerahnya seharusnya sudah lebih siap dan lebih baik jika ada wabah baru, setelah belajar dari gelombang COVID kedua sepanjang bulan Juni hingga Juli lalu.
"Yogyakarta kan sudah berpengalaman dengan gelombang kedua. Baru-baru ini ada kluster di Sedayu yang melebar ke 3 kabupaten lainnya," ujarnya.
"Respon Sleman menurutku sudah bagus ya, mereka tidak toleran dengan kasus asimtomatik. Pokoknya kalau ada kasus positif, bahkan gejala ringan atau tanpa gejala harus isolasi di penampungan tidak boleh di rumah," katanya.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakar Kesehatan Dunia Berbagi Saran soal Cara Hidup Bersama COVID-19