Sektor pendidikan tinggi Australia berada dalam masa kritis di tengah persaingan internasional untuk menarik mahasiswa internasional kembali setelah 'lockdown' COVID dicabut.

Zarana Patel tidak pernah menduga bahwa keputusannya untuk belajar di Australia akhirnya membuatnya harus berjuang selama tujuh tahun.

BACA JUGA: Pakar Kesehatan Dunia Berbagi Saran soal Cara Hidup Bersama COVID-19

Zarana yang berusia 26 tahun pertama kali tiba di Australia dari India sebagai mahasiswa di tahun 2014 dan lulus S1 di bidang akuntansi tiga tahun lalu.

Ia mengatakan walau dia puas dengan kuliah yang dijalaninya, dia menemukan kesulitan mendapatkan pekerjaan di bidangnya, karena status visa dan tidak punya pengalaman kerja.

BACA JUGA: Sam Harus Bekerja Selama 20 Jam Sehari Membersihkan Tempat Yang Terkena COVID di Melbourne

"Mahasiswa internasional sudah berusaha, kami mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan dari universitas, namun masih ditolak bekerja karena kami bukan warga negara atau PR," katanya kepada ABC.

"Apa pun persyaratan yang harus dipenuhi sudah saya penuhi namun pemerintah masih membuat aturan yang sulit mengenai syarat menjadi PR, jadi saya tidak melihat adanya harapan."

BACA JUGA: Migrasi ke Australia Segera Dimulai Kembali

Zarana merasa tidak dihargai di Australia sehingga dia kemudian memutuskan pindah ke Kanada untuk melanjutkan studi dan mencari masa depan yang lebih baik.

Sebuah survei yang dilakukan IDP Connect menunjukkan semakin banyak mahasiswa internasional yang lebih memilih Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat dibandingkan Australia.

Dalam dua tahun terakhir, minat untuk belajar ke Australia turun dari 17 persen menjadi 12 persen.

Di pasar India, minat ke Australia turun drastis dari tadinya 20 persen menjadi 9 persen dalam periode yang sama.

Dari 3.650 responden asal 55 negara, 39 persen memilih Kanada sebagai pilihan pertama untuk sekolah, disusul Amerika Serikat dan Inggris (masing-masing 17 persen), dan Australia 16 persen.

Survei menunjukkan bahwa kesempatan bekerja, insentif menjadi migran, dan belajar di kampus menjadi alasan utama bagi pengambilan keputusan. Mahasiswa mencari kesempatan di tempat lain

Sama seperti Zarana Patel, banyak mahasiswa internasional datang ke Australia bukan karena kualitas pendidikan saja, tapi juga karena peluang menjadi warga permanen.

Ketika pandemi COVID melanda, Australia menutup perbatasan internasional sehingga setidaknya 150 ribu mahasiswa asing tidak bisa kembali.

Banyak mahasiswa asing yang bertahan di Australia juga mengalami kesulitan karena mereka tidak berhak dapat tunjangan dari pemerintah , dan juga kehilangan pekerjaan dan tidak bisa kembali ke negara asal.

Ketika masih menjadi mahasiswa di universitas, Zarana bekerja sebagai pembersih di Sydney Barat untuk membiayai hidupnya dan membayar uang kuliah.

Dia juga harus mengeluarkan dana Rp80 juta untuk mengajukan permohonan menjadi PR termasuk membayar tes bahasa Inggris.

"Ada orang-orang yang saya tahu yang sudah berusaha selama 10-15 tahun, saya sudah di sini selama 7 tahun, dan saya sudah muak dan merasa tempat ini memang tidak mau menerima saya, jadi saya sekarang mencari kesempatan baru," katanya.

 

"Sistem pendidikan sama baiknya di Australia dan di Kanada. Tetapi menurut saya, kesempatan yang diberikan setelah lulus sekolah lebih sedikit di Australia dibandingkan di Kanada."

Dia mengatakan banyak rekan-rekannya sekarang sudah berubah pikiran dan pindah ke negara lain yang sudah membuka diri. Mereka sudah kuliah di kampus dan memiliki aturan yang lebih bersahabat.

Tahun ini jumlah mahasiswa internasional turun 17 persen menurut data terbaru yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Australia. Posisi Australia yang tidak menentu di kancah global

Menurunnya posisi Australia di tingkat global membuat khawatir agen pendidikan Vaibhav Patel.

Dia menjalankan bisnisnya di Sydney yang menarik para mahasiswa internasional, khususnya dari Asia Selatan seperti India, Pakistan, dan Bangladesh.

Bisnisnya sangat tergantung pada mahasiswa asing, dan sudah turun 80 persen sejak pandemi terjadi.

"Saya kira Australia pernah menduduki posisi teratas bagi mahasiswa asing untuk belajar namun sekarang posisinya berubah," katanya kepada ABC.

"Kekhawatiran utamanya adalah mahasiswa internasional akan semakin memilih negara  lain, bila Australia kehilangan posisinya di tingkat global."

Badan yang mengurusi bisnis pendidikan tinggi di Australia, Universities Australia mengatakan Australia masih menjadi pilihan menarik, tetapi harus bertindak cepat dalam bulan-bulan ke depan untuk mempertahankan pasarnya.

"Saya kira tidak tepat mengatakan adanya eksodus dari Australia, karena jumlah mahasiswa internasional masih sangat besar," kata CEO Universities Australia Catriona Jackson kepada ABC.

"Negara lain sudah melakukan berbagai hal lebih baik, mereka mereka melonggarkan persyaratan untuk bisa bekerja, dan membuka perbatasan.

"Bila kita tidak melakukan hal yang sama, bila mahasiswa kita tidak kembali dalam jumlah besar di semester pertama tahun depan, maka akan sulit bagi kita mempertahankan posisi." Rombongan pertama akan datang setelah menunggu lama

Menurut Vaibhav Patel, mudah dipahami mengapa mahasiswa asing memutuskan meninggalkan Australia atau mengubah bidang studi.

"Keadaannya sulit, karena kami tidak bisa memberikan pendapat jelas kepada klien mengenai apa yang akan terjadi mengingat kebijakan terus berubah tergantung angka kasus," katanya.

"Susah meyakinkan klien bahwa kami benar-benar melakukan sesuatu untuk mereka, karena pada akhirnya ada banyak hal yang berada di luar kekuasaan kami."

Selama setahun terakhir, telah muncul seruan agar ada izin khusus bagi mahasiswa internasional untuk kembali lagi ke Australia.

Sekarang setelah lockdown sudah dicabut hampir di seluruh Australia, keadaan akan berubah.

New South Wales dan Victoria sudah berjanji akan melakukan proyek percontohan bagi kembalinya mahasiswa asing bulan depan.

Sekitar 250 mahasiswa akan diizinkan masuk ke NSW setiap dua minggu mulai 6 Desember dan 120 mahasiswa ke Melbourne, juga mulai Desember.

Di kedua negara bagian tersebut mahasiswa asing tidak perlu menjalani karantina bila mereka sudah mendapatkan vaksinasi penuh. Universitas di kawasan regional paling terpengaruh

Pendapatan dari sektor pendidikan internasional telah menjadi bagian penting dari sistem pendidikan tinggi di Australia selama lebih dari 30 tahun terakhir.

Bagi beberapa universitas, 60 persen pendapatan mereka berasal dari mahasiswa asing.

Universities Australia mengatakan sektor ini akan mengumumkan berkurangnya pendapatan senilai sekitar A$2 miliar tahun ini, lebih tinggi dari angka tahun sebelumnya yaitu A$1,8 miliar.

Universitas di kota besar di Australia relatif stabil namun universitas di kawasan regional yang paling menderita.

"Di tahun 2019, pendapatan dari mahasiswa asing sekitar A$170 juta, tapi tahun ini kami perkirakan angkanya hanya sekitar A$80 juta," kata Wakil Rektor University of Wollongong Alex Frino kepada ABC.

"Kami sangat terpengaruh karena adanya pandemi dan penutupan perbatasan internasional.

"Apa yang kami alami hampir sama dengan banyak universitas regional lain, yang mungkin kehilangan sekitar 40-50 persen mahasiswa asing." kata Frino.

University of Wollongong terletak sekitar  84 km dari ibu kota NSW Sydney.

Sementara itu delapan universitas terbesar di Australia yang semuanya berlokasi di ibu kota negara bagian, termasuk University of Queensland dan University of Western Australia, hanya mengalami penurunan pendapatan sekitar 1 persen.

Di saat perbatasan internasional dibuka kembali, para agen pendidikan dan pihak universitas mengatakan mereka optimististis menyambut tahun ajaran 2022 dan siap merekrut mahasiswa baru.

"Tiket pesawat saya sudah dipesan dan saya akan melakukan perjalanan sesegera mungkin," kata Alex Frino.

"Mahasiswa asing menciptakan konektivitas global bagi para mahasiswa lokal, hal yang penting bagi karier dan masa depan mereka, dan juga memberi sumbangan besar bagi perekonomian lokal.

Dengan tingkat vaksinasi yang tinggi dan situasi COVID yang terkendali saat ini, beberapa mahasiswa sudah kembali belajar di kampus lagi.

"Seluruh kuliah sudah berlangsung di kelas dan tentu saja saya bisa memilih kalau mau online saja," kata mahasiswi asal Hong Kong Po Yan Wang, yang tiba di akhir tahun 2020 menggunakan pesawat charter pertama yang khusus membawa mahasiswa asing ketika itu.

"Saya suka berjejaring [dengan teman-teman] dan saya juga berkesempatan untuk ambil bagian dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh universitas.

"Ini tempat yang aman untuk belajar." katanya.

Ini memberi harapan baru bagi banyak pelajar yang akan datang.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Australia Diminta Lebih Tegas Tangani Pelanggaran HAM dalam Industri Panel Surya di Tiongkok

Berita Terkait