jpnn.com, JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil, yang beranggotakan Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Sawit Watch, WALHI, Yayasan Madani Berkelanjutan, dan Indonesia for Global Justice (IGJ), mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menangani kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Pasalnya, Korps Adhyaksa menerapkan terobosan dalam menyusun dakwaan hingga penuntutan.
BACA JUGA: Senator Dukung Kejagung Kejar Asset Recovery pada Kasus Korupsi
"Salah satu bentuk terobosan dalam dakwaan jaksa adalah penerapan unsur kerugian perekonomian negara yang jauh lebih luas dibanding kerugian keuangan negara," ucap perwakilan koalisi sipil dari Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra, dalam keterangannya, ditulis Rabu (20/12).
Dalam kasus ini, Kejagung sempat menetapkan 5 orang sebagai tersangka. Mereka adalah bekas Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana; Penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan Tim Asistensi Menko Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley MA; serta General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang.
BACA JUGA: Kejagung Sita Mobil Mewah dari Istri Tersangka Korupsi BTS Ini
Tiga perusahaan juga ditetapkan sebagai tersangka, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim mas Group. Langkah ini dilakukan kejagung sebagai tindak lanjut atas putusan pengadilan terhadap Indrasari dkk.
Lebih jauh, Syahrul menyampaikan, koalisi sipil memberikan beberapa rekomendasi dan saran kepada Kejagung dalam mengusut korupsi CPO yang melibatkan korporasi.
BACA JUGA: UU Perampasan Aset, Senjata untuk Kejagung agar Pengembalian Uang Negara Maksimal
Pertama, memberlakukan Pasal 20 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) karena mengadopsi teori pertanggungjawaban pidana korporasi vicarious liability.
Kedua, mengembangkan kasus ini menjadi korupsi kebijakan mengingat Peraturan Menteri Perdagangan tentang Domestic Market Obligation (Permendag DMO) berubah dalam hitungan hari.
Lalu, menggali lebih jauh tentang motif pemerintah mengubah kebijakan itu sehingga membuka ruang bagi korporasi untuk bermanuver dalam persetujuan ekspor.
Syahrul mengingatkan, kasus ini tidak terlepas dari kelangkaan minyak goreng akibat pelaku usaha mengutamakan profit lebih besar melalui ekspor.
Imbasnya, negara mengalami kerugian keuangan hingga Rp 6,47 triliun dan kerugian perekonomian, berdasarkan penghitungan ahli, menembus Rp 10,09 triliun.
"Karena saat ini Kejaksaan Agung menindak korporasi secara terpisah, jaksa penuntut umum harus memastikan pertanggungjawaban korporasi menyasar grup. Dalam konteks ini, melihat relasi perusahaan yang terlibat korupsi ekspor CPO dengan grup perusahaan sebagai single economic entity," tuturnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif