Masyarakat Gunungkidul Diajak Cerdas Memilih Pemimpin

Minggu, 20 Agustus 2017 – 02:03 WIB
Pilkada 2018. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, GUNUNG KIDUL - Meskipun suksesi masih setahun lagi gelagat politik sejumlah tokoh dan partai politik sudah mulai bermunculan. Forum Lintas Iman (FLI) Gunungkidul mengajak seluruh masyarakat semakin cerdas menemukan sosok pemimpin yang relevan untuk menjawab situasi dan keadaan akhir-akhir ini yang cukup mengancam nilai-nilai kerukunan.

Melalui diskusi Jumatan di Wonosari, Jumat (18/8), Forum Lintas Iman (FLI) Gunungkidul menghadirkan sejumlah tokoh dan jaringan kerukunan dari berbagai kelompok agama dan kepercayaan di Kabupaten Gunungkidul.

BACA JUGA: Pilgub Jawa Timur, PDI Perjuangan Dorong Calon Usulan NU

Forum Lintas Iman (FLI) Gunungkidul menggelar diskusi Jumatan

BACA JUGA: Semoga Masyarakat Proaktif Memahami Pilkada dan Pemilu

Sejumlah tokoh agama mengingatkan akan pentingnya gerakan mendorong rakyat untuk berpikir kritis terhadap rekam jejak tokoh-tokoh yang sudah rajin muncul di tengah masyarakat.

Tokoh muda dari kelompok muslim, Aminudin Aziz, mengatakan, teladan diberikan Nabi Muhammad dalam menjawab kepemimpinan yang relevan bagi bangsa Indonesia perlu merujuk adanya perjanjian Madinah. Perjanjian Madinah masa selepas para rasul hijrah dari Mekah menuju Madinah dibarengi dengan kesadaran meletakkan fondasi membangun kehidupan berkebangsaan yang toleran untuk mewujudkan masyarakat madani.

BACA JUGA: Elektabilitas Anak Buah Prabowo Bersaing Ketat dengan Ganjar

Aziz mengatakan, dalam piagam Madinah tersebut, menempatkan agama sebagai pusat inspirasi untuk hidup damai, bekerja sama dan saling membantu antar kelompok manusia. Agama dan kitab suci apapun dapat diletakkan sebagai sumber inspirasi bersama bukan sebagai aspirasi.

“Kalau dijadikan aspirasi jelas akan pasti ribut-ribut. Apalagi di masyarakat yang plural atau majemuk seperti negara kita ini,” kata Aziz seperti dilansir dalam keterangan pers diterima Sabtu (19/8).

Ia mengingatkan, sebenarnya Islam memiliki nilai ajaran toleran yang sampai hari ini terus dikembangkan. Menurutnya, paling mendasar dari sikap toleran Islam tersebut yakni enam rukun iman.

Menurut Aziz, rukun iman pertama percaya pada Allah, Malaikat dan kitab termasuk kitab sebelum Quran yakni taurat zabur dan Injil, iman kepada rasulnya yang kebetulan ada kesamaan dengan rasul Kristen, serta iman akan hari akhir atau akhir zaman. Yang keenam, iman kepada ketentuan Tuhan atau Qodo dan Qoda.

“Kalau ada calon pemimpin yang mengajak meninggalkan tatanan budaya masyarakat dan tidak menghargai budaya berarti calon tersebut tidak mengerti masyarakatnya tidak mengerti budaya yang lokal genus atau tidak dapat dihilangkan,” ujar ketua Lesbumi PCNU Gunungkidul ini.

Sementara itu, Romo Sapto Nugraha, Pr mewakili pandangan gereja Katolik, menyatakan, para pendiri bangsa Indonesia telah menanamkan keluhuran ruh yang tertuang dalam sasanti Bhinneka Tunggal Ika dijiwai ruh Pancasila karena melihat kenyataan Indonesia negara yang majemuk dan terdiri dari banyak suku, ras dan kepercayaan atau agama.

Untuk itulah, Romo Sapto menilai kepemimpinan yang relavan untuk kondisi saat ini merupakan pribadi yang benar-benar mampu menghargai perbedaan yang nyata serta pribadi yang memiliki sikap hidup inklusif dan toleran.

Ia benrpesan, masyarakat Gunungkidul mulai cerdas dan cermat menyikapi calon pemimpin yang mulai bermunnculan sekadar memoles citra demi menginginkan kekuasaan. Ia menyatakan, sosok kepemimpinan yang konsistensi dengan sikap kenegarawanannya menjadi pemimpin yang dibutuhkan baik tingkat pusat maupun daerah saat ini.

“Kita bersama harus mulai sadar negara ini dasarnya Pancasila bukan yang lain. Negara ini ingin menyejahterakan rakyatnya,” katanya.

“Kita semua harus belajar dan bisa menemukan pemimpin yang sudah terbukti kerjanya menyejahterakan rakyat. Tidak sekadar menemukan orang yang punya modal dengan cara kotor bagi-bagi amplop ingin berkuasa,” kata Romo Sapto.

Romo Sapto mengajak masyarakat kritis menguji kejujuran setiap calon pemimpin yang mulai tampil di Gunungkidul.

Dalam kesempatan itu, pegiat kerukunan umat Hindu, Bayu Pratama mengatakan kepemimpin yang relevan adalah mereka yang mampu melihat Indonesia sebagai negara besar bukan hanya potensi sumber daya alam saja, melainkan potensi-potensi sumber daya manusia dan keberagamannya.

Menurutnya, pemimpin masa depan hendaknya mampu menjawab kebutuhan mengelola keberagaman dan ragam potensinya. Bayu menjelaskan, pandangan iman akan Hindu, pemimpin yang dibutuhkan yang mampu mengaplikasikan nilai-nilai TAT TWAN ASI yakni Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku, selain Tri Hita Karana atau konsep ajaran untuk menjaga keselarasan dan hidup sesama dalam kemajemukan manusia dengan Tuhan dan alam semesta.

“Dengan dua konsep itu siapapun pemimpin akan menemukan keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ucapnya sembari menyinggung perlunya watak pemimpin setia mengimplementasikan nilai-nilai empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.

Sementara itu, pandangan gereja Kristen diungkapkan Pendeta GKJ Wonosari, Dwi Wahyu Prasetya. Dia menyatakan, dasar ajaran Kristen melihat pemimpin sebagai pelayan.

Menurutnya, pemimpin yang telah kehilangan sifat melayani, hanya gemar pencitraan, tidak merakyat bukanlah pemimpin yang relevan. Ia mengutip KItab Wahtu bahwa “Yesus mengatakan bahwa siapa yang mau menjadi pemimpin harus mau jadi pelayan. Tentunya pelayanan hanya untuk hal-hal yang baik dan positif.”

Pendeta yang gencar melestarikan gerakan sapa aruh dan gotong royong ini juga menyebut pemimpin yang remesep, remasuk dan rumangsa paling dibutuhkan rakyat saat ini.

Pandangan umat Budha tentang kepemimpinan relevan juga diungkapkan tokoh muda Bondet Wijaya. Ia mengingatkan, ajaran Budha memberikan kebebasan mutlak dan utuh kepada umat untuk menentukan segala hal. Tetapi, imbuh Bondet, kebebasan tersebut juga harus mencakup kebebasan diri dalam berkarya dan beribadah yang harus terlindungi negara.

Ia mengatakan, perlunya masyarakat mengasah kembali hati nurani dalam setiap mementum politik dan tidak ada tendensi dalam keikutsertaan menciptakan pemerintahan yang bersih, jujur, dan berorientasi mewujudkan pertumbuhan majunya bangsa.

Umat Budha tidak segan-segan berani mengatakan tidak untuk kepemimpinan yang sekadar menjadikan uang sebagai panglima politik untuk kepentingan meraup suara dan dukungan.

Diskusi Jumatan Forum Lintas Iman (FLI) menjadi kegiatan rutin komunitas pemuda dan pemuka lintas agama dan kepercayaan. Kelompok yang cukup terbuka untuk mmsyarakat pegiat kerukunan ini dibentuk 14 tahun silam karena persamaan pandangan perlunya terjalin kerja sama lintas kelompok agama dan kepercayaan mewujudan kerukunan di tengah masyarakat.

Selain menjadi ruang kegiatan seperti diskusi, sarasehan, pagelaran budaya, anjang sana lintas agama, FLI Gunungkidul juga mendampingi pemerintah dalam menangani gesekan antaragama yang muncul.

“Dari diskusi budaya dan kajian sosial FLI Gunungkidul dengan tema-tema tertentu, selanjutnya ditindaklanjuti sebagai gerakan bersama setiap aktivis di lingkungannya masing-masing,” pungkas FX Endro Guntoro.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Hasil Survei Median soal Bakal Calon Wali Kota Palembang


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler