jpnn.com, JAKARTA - Polri mendapat alokasi anggaran dari APBN sebesar Rp 94,6 triliun untuk 2018.
Namun, anggaran penanganan kasus yang dibatasi melalui sistem indeks membuat Polri kerap kali kehabisan anggaran sebelum kasus selesai.
BACA JUGA: Komarudin Minta TNI-Polri Tegas soal Kiriman Peluru ke Papua
Kasus penghinaan yang masuk kategori ringan, namun realitasnya kerap kali membutuhkan anggaran yang besar.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menjelaskan, anggaran penanganan kasus dengan sistem indeks membuat penyidik harus mengkategorikan kasus berdasarkan tingkat kesulitan, seperti sangat sulit, sulit, sedang dan ringan.
BACA JUGA: Jenderal Tito Akui Pelayanan Polri Masih Ada Rapor Merah
Anggaran semakin kecil untuk kasus yang dinilai tingkat kesulitannya makin rendah. ”Namun, realitasnya polisi menemui kondisi yang dilematis,” ujarnya, Rabu (3/1).
Misalnya, untuk kasus penghinaan yang biasanya masuk kategori sedang dan ringan. Kadang kala saksinya itu merupakan orang yang tinggal di luar negeri.
BACA JUGA: Masih Ada Publik Merasa Tak Aman di Era Pemerintahan Jokowi
Kondisi itu membuat penyidik tentu harus memeriksa di luar negeri. ”Anggarannya tidak mencukupi karena kategorinya sedang dan ringan,” ujarnya.
Bisa juga terdapat kasus besar yang mendapatkan sorotan masyarakat. Muncul tekanan dari publik untuk menyelesaikan kasus dengan cepat. Kasus masuk ke indeks kesulitan tinggi dengan anggaran Rp 70 juta.
Masalahnya untuk kasus itu menggerakkan 150 petugas hingga 160 petugas untuk mengungkapnya. Anggaran Rp 70 juta itu menjadi tidak cukup.
”Masyarakat lapor kehilangan ayam, tapi polisi jadi kehilangan kambing. Kadang-kadang malah kehilangan sapi,” paparnya.
Kondisi itulah yang memicu petugas untuk meminta-minta kepada pelapor, tersangka dan lainnya. Menambal kekurangan biaya proses penegakan hukum.
”Perbaikan sistem anggaran ini mencegah terjadinya pungli dalam reserse,” papar mantan Kapolda Metro Jaya tersebut.
Akhirnya, muncullah berbagai laporan dan pengaduan terkait kinerja kepolisian. Yang sesuai data Ombudsman dari 170 Polres itu 20 persennya mendapatkan raport merah.
”Sistem anggaran yang tepat untuk penegakan hukum itu adalah at cost atau dibayar sesuai kebutuhan,” jelasnya.
Menurutnya, sistem at cost ini di Indonesia diterapkan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk di luar negeri, Federal Bureau of Investigation (FBI) juga menggunakan sistem anggaran yang sama. ”Polri dengan sistem indeks, ya tidak mungkin bisa kerja maksimal,” terangnya.
Artinya, penegakan hukum yang dilakukan Polri biayanya dibayarkan tidak sesuai dengan kebutuhan. ”Saya sudah minta agar bisa at cost, ini membutuhkan dukungan semuanya,” paparnya.
Sementara Ketua Ombudsman Amzulian Rifai menjelaskan, saat merupakan era kepercayaan publik, ironisnya justru banyak lembaga negara yang kepercayaan publiknya rendah. ”Termasuk di Polri,” paparnya.
Maka dari itu, Ombudsman menyerahkan berbagai data pengaduan dan penilaian terhadap Polres. Hasil ini bisa menjadi salah satu pertimbangan untuk Kapolri dalam menilai kinerja jajarannya.
”Tadi, juga dilakukan video conference ke seluruh Kapolda dan Kapolres. Ada semangat perbaikan yang baik,” ujarnya. (idr)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Timing Kurang Pas, Pembentukan Densus Tipikor Polri Ditunda
Redaktur & Reporter : Soetomo