jpnn.com - Mustafa Tanoi merupakan nelayan yang matanya sudah rabun. Setiap hari, ia harus memutar otak memberi makan istri dan anak-anak yang masih kecil-kecil.
Belum lagi kebutuhan sekolah mereka. Tak ayal, meski matanya sudah rabun, Mustafa tetap memaksakan diri melaut demi keluarganya.
BACA JUGA: Kisah Madonna, Sarjana Mengajar 7 Mata Pelajaran di SMK
SAHRIL SAMAD, Labuha
Rumah di Desa Nondang, Kecamatan Bacan Barat, Halmahera Selatan, Malut, itu amat sangat sederhana. Berlantai tanah, berdinding separuh pelepah nipah-separuh papan.
BACA JUGA: Kisah Bupati Cantik Diadang Ombak, Terdampar, 7 Jam Hilang Kontak
Atapnya daun rumbia yang mulai bocor di sana sini. Di rumah sederhana itu, Mustafa Tanoi, 67, hidup bersama istrinya Marlina Kayun, 63, dan keenam anak mereka.
Mustafa hanyalah seorang nelayan miskin. Pendapatannya tak menentu. Sehari-hari, ia melaut menggunakan sampan mungil. Ikan-ikan yang didapat untuk makan keluarganya.
BACA JUGA: Heboh Siswi SMA Melahirkan di Semak, Pacar Lihat Video Persalinan di YouTube
Jika hasil tangkap berlebihan, ia menjualnya untuk tambahan uang sekolah anak. Dengan cara itulah keluarga ini menyambung hidup mereka sehari-hari.
Malangnya, Mustafa sendiri sudah tak dalam kondisi fisik yang prima. Sudah beberapa tahun belakangan ia mengalami rabun jauh.
Penglihatannya mulai terganggu dan membuatnya lebih banyak mengandalkan intuisi dalam melaut.
Si sulung Ali Mustafa yang baru berusia 12 tahun pun harus turun tangan membantu ayahnya melaut di sela-sela kegiatan sekolah.
Mustafa biasa melaut sejak pagi hingga sore. Kadang ia sampai harus pulang malam bila ikan sedang enggan mendekati umpannya.
Sang istri membantu menambah penghasilan dengan membantu tetangga kiri kanan, membakar sagu atau mencabut kacang tanah saat musim panen tiba.
Pria asal Papua ini tak punya banyak pilihan. Keenam anak dan istrinya butuh makan. Uang untuk belanja kebutuhan perut sering sekali kekurangan. Belum lagi uang sekolah anak-anak yang kerap menunggak.
Saat disambangi Komunitas Kasbi kemarin (27/8), Mustafa dan Marlina tak sanggup menahan jatuhnya airmata.
Apalagi saat komunitas anak muda ini menyampaikan niat hendak membantu memperbaiki rumah yang hanya memiliki satu kamar itu.
Mustafa mengaku, ia kerap sulit tidur di malam hari. Hati dan pikirannya selalu terbebani dengan pertanyaan besok bisa makan apa.
Ia tak punya pilihan lain selain melaut. Pasalnya, kebun untuk bercocok tanam pun tak punya. ”Kalau tidak melaut, kita makan apa? Sementara anak saya ada enam orang," ucapnya.
Mustafa berasal dari Papua. Ia meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke Maluku Utara belasan tahun silam.
Bertemu Marlina membuatnya memutuskan untuk menetap di Halsel dan membina rumah tangga.
Di balik beban yang selalu menghantui tidurnya, Mustafa selalu ingin meyakinkan keluarganya bahwa semuanya baik-baik saja. Kerap kali ia berkata, “Iya, nanti semua Ayah bereskan."
Meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari jalan untuk membereskan janji-janjinya.
"Saya meyakini bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba kecuali sebatas hamba tersebut mampu memikulnya. Itu yang tertanam dalam benak saya," ungkap Mustafa.
Berprasangka baik pada Yang Maha Kuasa-lah yang menguatkan Mustafa dan Marlina menghadapi kehidupan mereka.
Meski berat meniti hari-hari tanpa kepastian nasib, mereka yakin akan selalu ada jalan rezeki. Seperti kedatangan Komunitas Kasbi kemarin misalnya.
”Alhamdulillah, semoga ini memang jalan dari Allah untuk kami. Semoga semua kebaikan dibalas dengan kebaikan pula,” tandas Mustafa mensyukuri nikmat-Nya.(cr-07/kai)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Setiap Kali Bripda Linut Handoyo Datang, Anak-anak Sekolah Merubungnya
Redaktur & Reporter : Soetomo