Dahlan, Small is Beautiful

Jumat, 25 Desember 2009 – 21:09 WIB
MEMBACA unjuk rasa penolakan terhadap Dahlan Iskan yang dilantik sebagai Dirut PLN, Rabu 23 Desember 2009 silam, saya teringat kisah John Much dari JermanBedanya, jika Dahlan adalah wartawan maka John adalah nelayan

BACA JUGA: On Time Tidak On Time

Namun keduanya sama-sama berurusan dengan pemerintahan
Jika Dahlan menjadi “orang dalam”, sebaliknya John tetap menjadi warga dengan catatan pahit berhubungan dengan birokrasi pemerintahan.

Syahdan, suatu hari John membeli sebuah perahu penangkap ikan di Laut Utara pada 1991 lalu

BACA JUGA: Prita Sukses, Tiananmen Berdarah

Bukan hendak digunakannya untuk menangkap ikan
Melainkan untuk membeli izin penangkapan ikan yang dimiliki oleh perahu itu

BACA JUGA: Sok Herois Tapi Egois

Untuk meraih pengurangan pajak dari pemerintah, ia bermaksud menyerahkan perahu tersebut kepada pegelola taman pantai nasional sebagai atraksi wisatawan.

Ternyata John harus berurusan dengan banyak instansi dan lembaga pemerintahanMulai dari Kementerian Lingkungan Hidup, Kantor Industri Air dan Pertanahan, Kepala Pelabuhan, Kantor Perencanaan Kota, Mendagri, Kantor Hidrografi dan Perkapalan Federal, Dewan Kota, Kantor Konstruksi dan Taman NasionalApa daya waktu dan energi serta duit John banyak terkuras.

John lalu teringat pameo tentang kaum birokrat“Saya dari Pemerintah dan Ada di Sini untuk Menolong Anda.” Ternyata, begitulah ia diperlakukan, sebagaimana pernah ditulis oleh Tony Patterson dalam artikel “The Not So Everyday Tail of Fishing Folk” edisi The European, Februari 1993 silam.    

Dahlan sebaliknya malah didemonstrasi sejumlah aktivis Serikat Pekerja PLN dan mahasiswaAlasannya, karena Dahlan seorang outsider, kendatipun ia seorang wiraswastawan yang dalam sejarahnya merangkak dari bawah hingga ke posisinya sebagai pemimpin Jawa Pos Group yang menyebar mulai dari Aceh hingga ke Papua.

Agaknya waktulah kelak yang menjawab perjalanan Dahlan di PLNNamun kita teringat pakar manajemen dan marketing Rhenal Kasali yang menganjurkan supaya kaum birokrat harus berpikir bagai kaum enterpreneur di dunia swastaEfisien, efektif dan membuang sikap feodalistik dan bahkan tampil sebagai pelayan publik karena bekerja di lembaga publikApalagi BUMN adalah badan yang mencari profit dalam melayani publik.

Saya kira, kasus Dahlan Iskan harus dilihat dengan latar belakang macam ituApalagi, tak lagi rahasia, jika PLN yang kerap melakukan “penyalaan bergilir” (yang lain terkena giliran gelap)Di Medan dan Pekanbaru misalnya, warga sudah bosan mengeluh karena listrik PLN selalu byar-petBahkan juga di luar Jawa, dan sudah pula fenomenal di Jabodetabek.

Dengan kata lain, diperlukan problem solving (pemecahan masalah) yang strategis terhadap kekecewaan publik terhadap PLNJauh sebelum dilantik, Dahlan sudah memberikan solusi ituSeperti dikatakan oleh Meneg BUMN Mustafa Abubakar, bahwa Dahlan menargetkan penurunan listrik hilang dari pembangkit ke konsumen dari 10% menjadi 8,5% yang tercapai pada 2014

Dahlan secara radikal juga berjanji akan mengurangi 35 persen penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dan dialihkan ke gas di pembangkit, sehingga BUMN listrik tersebut dapat berhemat hingga Rp 15 triliunKonsep lainnya, adalah pengalihan utang PLN menjadi penyertaan modal negara yang berakibat meningkatnya kinerja keuangan BUMN listrik tersebut.

Paling menarik adalah janji Dahlan akan adanya cadangan-cadangan trafo dan kompresor untuk mengantisipasi gangguan yang terjadi dalam penyediaan pasokan listrikKalau ada komponen yang meledak, maka akan ada cadanganTidak serawan sekarangJika tak berhasil dalam jangka waktu satu tahun, bahkan Dahlan berjanji akan mengundurkan diri.

Alasan bahwa kapasitas dan kompetensi Dahlan diragukan sebagai Dirut PLN karena tak berpengalaman di bidang kelistrikan terdengar anehFungsi Dirut lebih fokus pada pekerjaan manajemen dan strategi korporatTak perlu harus ikut memanjat tiang-tiang listrik.

Tapi mungkin banyak yang kaget juga karena ternyata Dahlan sudah berkecimpung di dunia kelistrikan selama enam tahun terakhir iniIa mempunyai pembangkit listrik swasta berupa PLTU di Kalimantan TimurJika dianggap menimbulkan conflict of interest, Dahlan bahkan siap menjualnya, jika regulasi di PLN mewajibkannya.

Kecil Itu Indah
Saya teringat Schumacher yang terkenal dengan istilah small is beautiful itu ketika membaca rencana Dahlan di media bahwa ia akan membangun proyek-proyek mesin pembangkit listrik tidak dalam skala besarMelainkan membaginya menjadi pembangkit-pembangkit dalam skala kecil sehingga mencapai total kapasitas 1.500 Megawatt-2.000 Megawatt.

So pasti biayanya murah dan banyak investor atau kontraktor yang mampu mengerjakannyaBahkan tak perlu diimpor para investor dari luar negeri yang bermodal raksasaApalagi PLTA (pembangkit listrik tenaga air) sangat potensial di Indonesia, mengingat terlalu banyak sungai di negeri ini.

Entah bagaimana kelak Dahlan menatanyaSaya teringat Jawa Pos Group yang ia pimpin dan menyebar ala Schumacher di seluruh NusantaraDi saban kota provinsi, anak-anak Jawa Pos lahir dan berkembang, dan sudah merasuk ke kabupaten dan kota di seantero tanah air.

Di Sumatera bagian utara misalnya, anak perusahaan Jawa Pos, yakni Riau Pos yang berpusat di Pekanbaru, telah punya Koran di Medan, Pematangsiantar, Asahan, Sibolga dan PadangsidempuanRiau Pos juga punya anak perusahaan di Batam, Pekanbaru, Padang dan sebagainya.

Jawa Pos Group sebagai perusahaan media melibatkan banyak karyawan dan wartawan, juga selalu berurusan dengan cash flow baik untuk mencetak koran, gaji karyawan, hingga biaya operasional laiknya sebuah korporasi sehingga bisa melayani konsumen secara maksimalPelayanan itu berbuah menjadi oplah dan kue iklan yang menjadi pemasukan perusahaan.

Small is beautiful, itulah yang diamalkan Dahlan bersama para manajernyaTak heran jika di saban kota penting, suratkabar milik Jawa Pos Group dan anak-anak perusahaannya selalu memiliki mesin percetakan sehingga tidak tergantung kepada pihak lainMesin cetak ini juga melayani order pencetakan pihak lain.

Tak bisa dipungkiri bahwa perusahaan media adalah sebuah industriIa tak sekadar kesibukan jurnalistik yang cuma tulis-menulisSelain Jawa Pos Group, barangkali, bisa dilihat Kompas, Tempo dan Sindo pun menyebarkan anak-anak perusahaannya berupa koran lokal, yang jika jujur justru dirintis oleh Dahlan di negeri ini.

Teringat Dahlan, saya teringat pula Jusuf “JK” Kalla, mantan Wapres, seorang wiraswastawan yang terkenal dengan slogan “lebih cepat lebih baik" ituGaya JK sesungguhnya cocok berpasangan dengan Presiden Yudhoyono yang bertipe berpikir sistematis ituSayang, “takdir politik” mereka berseberangan.

Akhirul kalam, kehadiran Dahlan diyakini akan membawa atmosfer baru yang berpikir profitable di tubuh PLNMemang, seperti kata pakar manajemen, ide dan inovasi baru itu gampang dicari, jika anda mauYang sulit adalah membuang pikiran lama sehingga cenderung menolak pembaruanMungkin, fenomena psikologis itu yang bercokol di PLN, sehingga kaget ketika Dahlan yang outsider menjadi Dirut(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Disandera Prosedur Legal Formal


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler