Prita Sukses, Tiananmen Berdarah

Sabtu, 12 Desember 2009 – 11:52 WIB
LARILAHMenghindar saja

BACA JUGA: Sok Herois Tapi Egois

Tak berarti kehilangan muka
Lari identik dengan mengalah

BACA JUGA: Disandera Prosedur Legal Formal

Bukan kalah
Inilah sebuah taktik dan strategi ketika berhadapan dengan gelombang arus pendapat yang semakin kuat di masyarakat

BACA JUGA: Teater SBY Alot Tapi Pasti

Melawan arus itu susahSebaliknya, meluncur bersama arus sungai yang mengalir, alangkah efisien dan mulusJika di depan ada air terjun yang menunggu, ya, menepilah.

Kearifan ini kelihatannya yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menegaskan tetap mendukung gerakan Hari Antikorupsi InternasionalSebelum terbang ke Bali, malam harinya Presiden berpidato, dan ditayangkan televisi secara meluas, yang menyatakan dukungannya seputar perayaan massal di berbagai kota ituPadahal, sebelumnya ia mengingatkan tentang kemungkinan motif politik dari "kelompok tertentu" yang ingin menjatuhkannya sebagai presiden.

Terbukti perayaan di kawasan Monas dan Bunderan HI di Jakarta berlangsung relatif damai, meskipun ada aksi yang kurang elok di Makassar.

Fenomena arus pendapat umum kini kian menggejalaDimulai dengan dukungan publik yang menolak kriminalisasi terhadap Bibit & Chandra, hingga ke kisah Bank Century, maupun aksi solidaritas terdahap Prita Mulyasari dengan aksi "Koin untuk Prita", yang kini sudah berjumlah Rp 500 jutaPadahal denda yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap Prita hanya Rp 204 juta, dalam kasus apa yang dianggap sebagai pencemaran nama RS Omni Internasional.

Fenomena ini tak lepas dari peranan media cetak dan elektronik, bahkan juga internet dan FacebookBerbagai dukungan terhadap antitese itu sekaligus penolakan terhadap tese-nya, meluas berkat teknologi informasiTak perlu harus melalui demonstrasi besar, seperti yang terjadi pada awal Orde Baru, 1966, maupun awal Orde Reformasi 1998 silamHasilnya, efektif dan efisienTak ada jatuh korban.

Kita ingat perlawanan Angkatan 1966 mengorbankan mahasiswa Arief Rahman Hakim dan wartawan Harian KAMI, Zainal ZakseAngkatan 1998 mengorbankan jiwa sejumlah mahasiswa, baik dalam Tragedi Trisakti maupun Jembatan SemanggiBahkan juga ada huru-hara penjarahan yang mencoreng wajah republik, termasuk mereka yang hangus terpanggang di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta.

Kita lega, aksi 9 Desember, termasuk aksi memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember di Jakarta, tidak massif sampai mengerahkan 100.000-an massaSebab, saya kira, Yudhoyono benar ketika ia mengkhawatirkan kemungkinan buruk dalam sebuah aksi akbarContoh macam itu kerap terjadi di masa lalu.

Tampaknya aksi melalui teknologi informasi menjadi pilihan cerdasSetidaknya metode ini cocok untuk isu-isu perkotaan, atau pemerintahan secara nasional, karena umumnya kaum urbanis sudah melek teknologi informasiCara ini pun lebih kreatifOrang punya waktu untuk memikirkan aksinya sebelum mengoret-oretnya di internet atau Facebook.

Beda dengan demonstrasi di lapangan yang sangat fisikalTak mustahil pula terpancing berbagai provokasi, ketika akal sehat cenderung menurun di tengah-tengah lautan manusia yang berjibun.

Sri Mulyani Terluka
Seni tanpa aksi, jika boleh dikatakan demikian, karena hanya muncul di dunia maya dan tak long march di lapangan, naik bus ramai-ramai seraya berorasi dengan kibaran bendera berbagai kelompok, apalagi dimeriahkan dengan pembakaran ban, tampaknya lebih menarikTak terkecuali hasilnya juga lebih maksimal.

Diakui, demonstrasi di lapangan lebih gagah perkasaBisa memunculkan tokoh yang heroikTak mustahil merupakan bargaining dengan kekuasaan dan sejarahTokoh Angkatan 1966 dan 1998, terbukti kemudian masuk ke panggung kekuasaan, baik di eksekutif, legislatif, atau berbagai lembaga publikSeorang teman becanda, inilah selebritis politik yang dihasilkan zaman.

Tak ada yang salah dengan proses rekrutmen kader dan pemimpin bangsa ituYang kita evaluasi masa ini adalah jika proses itu menelan korban jiwa dan rasa aman yang terusik, sehingga menggejala ke moneter dan ekonomi pada umumnyaInilah yang kita gugat, seraya menawarkan aksi baru melalui dunia maya, tanpa aksi-aksi yang dramatis di lapangan.

Tak hendak membela Sri Mulyani dan BoedionoTetapi, menyaksikan gambar-gambar keduanya dibakar oleh para demonstran, rasanya sangat sepihakSri Mulyani bersedihIa merasa dihukum sebelum dihukum, seraya mengutip kisah Lothario dalam "Sandiwara yang Tak Diumumkan" karya Multatuli yang terkenal ituSemua alasannya ditepiskan, dan ia tetap dianggap bersalahDan bersalah.

Padahal, proses penanganan secara hukum oleh KPK bekerjasama dengan polisi dan kejaksaan masih berlangsungJuga proses politik di DPR melalui Pansus Angket CenturyMengapa kita semua tidak memilih menunggu saja, ketimbang menekan melalui aksi-aksi politik di jalanan?

Melukai Sri Mulyani - ah, saya hanya mengenal dia melalui televisi - tak mustahil melahirkan simpatiMegawati pernah mengalaminya di era Orde Baru, dan melahirkan dukungan yang luar biasa kepada Mega pada Pemilu 1999 silamBahkan, Yudhoyono pun keciprat simpati publik ketika "disakiti" Taufik Kiemas dan Megawati, sehingga ia memenangkan Pilpres 2004.

Misalkan, gerakan mahasiswa China di Lapangan Tiananmen, Beijing, pada musim semi 1989 silam tidak bertahan, tetapi kembali ke kampus, barangkali gerakan mereka akan mengubah China lebih cepatDengan sejuta simpatisan di lapangan, dan mereka segera kembali ke kampus, agaknya gerakan mereka sangat fenomenalApalagi seluruh dunia juga mendukung.

Tapi mereka ngotot memilih heroisme, bahkan ketika pemerintah mengumumkan kedaan daruratSehingga korban-korban pun berjatuhan.

Tentu saja, jarum jam sejarah tak bisa surut ke belakangTapi setidaknya berbagai referensi di masa lalu itu mendorong kita melakukan evaluasi.

Goodbye aksi-aksi di lapanganMari kita gunakan aksi dan perlawanan melalui dunia mayaLebih asyik, kreatif, lucu, dan hasilnya lebih maksimal tanpa jatuh korbanJika pun ada yang terkena kasus seperti Prita, kita bisa beramai-ramai melawannya melalui internet atau gerakan puluhan juta SMS melalui telepon genggam(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menguak Konspirasi di Istana


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler