jpnn.com - LAHIR dengan nama Abdul Ka’bah. Sapaan kawan-kawan sebaya; Atiq. Setelah masuk Islam, Nabi Muhammad memanggilnya Abdullah. Kemudian tenar dengan nama Abu Bakr Siddiq.
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Pemerintah Harus Intens Sidak ke Pasar Jelang Lebaran
“Mengenai gelar Abu Bakr yang dibawanya dalam hidup sehari-hari, tidak satu pun ditemukan sumber yang menyebutkan alasannya,” tulis Muhammad Husain Haekal, peneliti sejarah permulaan Islam paska Nabi Muhammad dalam buku Abu Bakr As-Siddiq: Sebuah Biografi.
Para penulis biografi Abu Bakr ada yang menyimpulkan bahwa julukan itu karena ia orang yang paling dini dalam Islam dibanding sahabat Muhammad yang lain. Bakr berarti dini; mula.
BACA JUGA: Abu Bakr bin Siapa?
Ibnu Hisyam, penulis Sirah—biografi pertama Nabi Muhammad—menuliskan Abu Bakr sebagai berikut…
Abu Bakr adalah lelaki yang akrab dengan rakyat. Disukai karena serba mudah. Ia dari keluarga Kuraisy yang paling dekat dan paling banyak mengetahui seluk beluk kabilah itu, yang baik dan yang jahat.
BACA JUGA: Awal Islam, Sesama Pembaca Quran Pernah Saling Melaknat
Ia seorang pedagang dengan perangai yang sudah cukup terkenal. Karena suatu masalah, pemuka-pemuka masyarakat sering datang menemuinya. Mungkin karena pengetahuannya, karena perdagangannya, atau mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak.
Aisyah, anak perempuan Abu Bakr dari perkawinannya dengan Umm Rauman bint Amir bin Uwaimir, menggambarkan ciri-ciri ayahnya; berperawakan kurus. Putih. Sepasang bahu kecil. Muka lancip. Mata cekung. Dahi agak menonjol. Urat-urat tangan tampak jelas.
“Begitu damai perangainya. Sangat lemah lembut. Sikapnya tenang sekali…dibawa oleh sikapnya yang selalu tenang, pandangannya jernih, pikirannya tajam. Banyak kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak diikutinya…”
Sebagaimana dikutip dari Haekal, Aisyah menceritakan, Abu Bakr tidak minum minuman keras, baik setelah pun sebelum zaman Islam. Padahal masa itu, penduduk Mekah umumnya sedang hanyut dalam khamar dan mabuk-mabukan.
Abu Bakr yang dua tahun lebih muda dari Nabi Muhammad, terkenal sebagai ahli genealogi. Paham silsilah, pandai sejarah. Bicaranya sedap. Lihai pula bergaul.
Persahabatannya dengan Nabi Muhammad sudah terjalin jauh sebelum era kerasulan.
Meski tak banyak sumber sejarah menyebut, boleh jadi persahabatan itu terjalin karena Abu Bakr tinggal sekampung dengan Khadijah bint Khuwailid—di kampung tempat saudagar-saudagar terkemuka yang membawa perdagangan dari Mekah ke Syam.
Hari ini, negeri Syam antara lain meliputi Suriah, Palestina, Libanon dan Yordan.
Sebagaimana diketahui umum, Muhammad muda bekerja membawa barang dagangan Khadijah—seorang janda kaya—dan kemudian tinggal serumah setelah menikah.
Aisyah mengenang, “yang kuketahui kedua orang tuaku sudah memuluk agama ini, dan setiap kali lewat di depan rumah kami, Rasulullah selalu singgah ke tempat kami, pagi atau sore.”
Pada zamannya, Abu Bakr dikenal sebagai satu di antara pemikir di kota Mekah yang memandang penyembahan berhala—wajib pula membayar--suatu kebodohan dan kepalsuan belaka.
Adegan tentang praktek berhala di Mekah pada masa itu, digambarkan dengan cukup baik dalam film Bilal.
Ketika orang-orang tidak percaya dan menganggap Muhammad hanya omong kosong saat menceritakan mengenai gua Hira dan wahyu pertama yang diterimanya, Abu Bakr langsung percaya.
Rasulullah berkata, “tak seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu Bakr bin Abi Quhafah. Ia tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu ketika kusampaikan padanya.”
Jejak Abu Bakr—saudagar berpengaruh dan punya pergaulan luas—lah yang kemudian diikuti Usman bin Affan, Abdur Rahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah Sa’d bin Abi Waqqas dan Zubair bin Awwam.
Sesudah mereka, atas ajakan Abu Bakr, banyak penduduk Mekah yang menerima Islam.
Ini sebetulnya beresiko. Mengingat sebagai saudagar, dia bisa kehilangan banyak relasi karena “garis” yang dipilihnya.
Sebelum menganut agama baru ini, tulis Haekal. Harta Abu Bakr tak kurang dari empat puluh ribu dirham yang disimpan dari hasil perdagangan. Dalam Islam, meski tetap berdagang, setelah hijrah ke Madinah, sepuluh tahun kemudian, “hartanya itu hanya tinggal lima ribu dirham…”
Penyebabnya…--bersambung (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ada Sosok-sosok ini Di Balik Pengumpulan Ayat Al Quran
Redaktur & Reporter : Wenri