jpnn.com - Barangkali ini lah ujian paling berat bagi Tjipto Yhuwono, kepala SDN Lowokwaru 3, Malang, yang sedang dinonaktifkan dari jabatannya itu.
Dia menghadapi tekanan besar setelah diduga menyetrum empat orang anak didiknya, 25 April lalu.
BACA JUGA: Mendikbud: Guru Harus Jadi Contoh Keberagaman
Bahkan, sejak Selasa lalu (2/5), Tjipto harus menjalani perawatan di rumah sakit karena serangan jantung.
DAVIQ UMAR AL FARUQ
BACA JUGA: Pembayaran TPG PNSD 2017 Ngadat, Ini Pemicunya
Pemberitaan soal Tjipto, baik itu di media cetak, media online, bahkan di media sosial lebih banyak mengulas sisi negatif dari kasus dugaan penyetruman terhadap empat siswa SDN Lowokwaru 3.
Padahal, alat setrum yang ia gunakan adalah alat yang biasa digunakan untuk terapi kesehatan.
BACA JUGA: Sudah Dibekuk Semua, Dua Ditembak Kakinya
Tak ada niat dari Tjipto mencelakai anak didiknya. Dia hanya berusaha mengingatkan siswanya yang berbuat gaduh saat shalat Dhuha berjamaah.
Niat baik Tjipto itulah yang dipercaya oleh rekan sejawatnya, keluarga, juga anak didiknya di SDN Lowokwaru 3.
Kalau Tjipto bukan orang baik, tidak mungkin gelombang penjenguk terus berdatangan ke tempat di mana dia dirawat. Kemarin saja (6/5), antara pukul 10.00 sampai 11.00, ada 20-an orang yang menjenguk Tjipto.
Di antara para penjenguk itu, ada dua siswi SDN Lowokwaru 3, Fildza Ikramina dan Atifah Fasha. Keduanya datang membawa rangkaian bunga mawar merah. Di dalam rangkaian bunga itu terselip kertas dengan beberapa tulisan.
Salah satunya tertulis begini, “Untuk Pak Tjip Tercinta. Pak Tjip Terima kasih atas semua jasanya. Semoga cepat sembuh, doa kan kami bisa meraih nilai tinggi dan SMP yang bagus ya pak. Sampai jumpa di sekolah lagi ya pak”.
Lalu, ada juga tulisan “We Always Support and Love You Pak Tjip. Semoga Pak Tjip cepat sembuh, tetap semangat dan diberi kekuatan. Amin. Dari kami yang selalu menyayangimu. Siswa-siswi kelas 6D”.
Fildza dan Atifah bersama-sama masuk ke dalam ruangan, melihat kondisi Tjipto. Keduanya berada di sana selama lima menit.
Ketika keluar dari ruangan, dua gadis kecil itu menangis sesenggukan. Pemandangan itu membuat beberapa guru perempuan mendekat dan langsung memeluk Fildza dan Atifah.
“Tenang, Pak Tjip pasti cepat sembuh,” ujar salah seorang guru, berusaha menenangkan Fildza dan Atifah.
Jawa Pos Radar Malang sebenarnya sempat berusaha masuk untuk melihat kondisi Tjipto. Sayang, pihak keluarga tidak memperkenankan media untuk masuk.
“Maaf beliau tidak bisa diganggu. Sedang butuh ketenangan. Kalau sudah sembuh mungkin bisa bertemu,” kata salah seorang keluarga yang enggan namanya ditulis di media.
Meski tak bisa bertemu langsung Tjipto hari itu, Radar Malang berusaha untuk menggali informasi terkait siapa sebenarnya sosok yang dinonaktifkan dari jabatannya sebagai kepala SDN Lowokwaru 3, pada Kamis lalu (4/5) itu. Banyaknya orang yang menjenguk memantik rasa penasaran wartawan koran ini.
Seperti disampaikan oleh Denny Yanuar, mahasiswa Universitas Brawijaya (UB). Denny, pernah menjadi anak didik Tjipto semasa masih bertugas di SMP Negeri 11 Malang.
“Pak Tjip itu dulu wali kelas saya waktu kelas IX SMP. Waktu saya dengar beliau kena kasus itu, jujur saya kaget,” ujar dia.
Dia mengingat Tjipto sebagai sosok yang tegas. Tapi di balik ketegasannya itu, Tjipto adalah sosok yang ngemong.
“Saya ingat, kalau saya pernah tidak naik kelas. Dan beliau lah yang selalu memberi saya semangat,” katanya.
Denny mengaku, kali terakhir ia bertemu dengan Tjipto pada Desember tahun lalu. “Ternyata, beliau masih ingat dengan saya. Sebagai seorang guru, saya akui beliau itu sangat kompeten,” kata warga Kecamatan Blimbing ini.
Terbukti, selama menjadi kepala sekolah, Tjipto sukses membawa SDN Lowokwaru 3 meraih sejumlah prestasi. Di antaranya di bidang olahraga.
Salah satu siswa SDN Lowokwaru 3, Ananda Muhammad Faiz berhasil menyabet gelar juara 2 untuk kategori peroragan kelas 4-6 pada Kejurnas Karate di GOR Ken Arok, Desember 2016 lalu.
Di tahun yang sama, sejumlah siswa SDN Lowokwaru juga memenangi lomba panahan di Kota Malang.
Tak hanya prestasi, Tjipto juga membuat kebijakan khusus untuk membentuk karakter anak didiknya. Di antaranya dengan mewajibkan siswa membaca asmaul husna selama 15 menit, sebelum jam belajar dimulai.
Kemudian, pada peringatan HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2016 lalu, Tjipto juga mengajak orang tua siswa untuk ikut upacara pengibaran bendera. Tujuannya, sekolah ingin melibatkan orangtua dalam upaya membentuk karakter siswa.
Tapi, ibarat pepatah ‘Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga’, kebaikan-kebaikan yang dilakukan Tjipto seolah tidak artinya ketika ia dilaporkan melakukan tindak kekerasan kepada siswa.
Ketika diwawancara Senin lalu (1/5), atau sehari sebelum masuk ke rumah sakit, Tjipto terlihat pasrah.
Tjipto menegaskan bahwa dirinya tidak punya niatan untuk mencederai anak didiknya. “Tidak ada unsur sentimen kepada siswa pada kejadian itu. Murni hanya terapi dan untuk kebaikan siswa. Namun memang kesalahan saya yang tidak konfirmasi kepada wali murid terlebih dahulu,” jelasnya, seperti diberitakan Radar Malang (Jawa Pos Group).
Tapi, semua sudah kadung terjadi. Untungnya, kasus ini kemungkinan besar tidak akan sampai berlarut-larut. Apalagi, pihak pelapor sudah menyatakan tidak akan melanjutkan perkara ini, bahkan sudah membuat surat pernyataan tidak akan melakukan tuntutan.
Simpati dan dukungan kepada Tjipto pun terus mengalir. Bahkan, Jumat lalu (5/5), Wali Kota Malang Moch Anton mengumpulkan semua kepala SD, baik negeri maupun swasta se-Kota Malang di SMKN 2 Malang. Dia mengatakan, kejadian seperti yang dialami Tjipto bisa menimpa siapa saja.
“Malaikat tidak bisa salah, setan tidak pernah benar. Tapi manusia kadang salah kadang benar. Untuk itu, kami berharap, bagaimana kita semua saling mengingatkan. Bukan menyalahkan,” ujar dia. (*/muf)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemkab Malang Siap Launching Branding Pariwisata di Kokas
Redaktur & Reporter : Soetomo