jpnn.com - Kini semua serbamudah dan murah dengan digital. Namun, menikmati musik lewat kaset, CD, dan piringan hitam menghadirkan sensasi tersendiri. Itulah yang kemudian melahirkan Record Store Day, bazar music recording di Jakarta.
Laporan Ariski Prasetyo Hadi, Jakarta
BACA JUGA: Markoem, Si Perajin Biola Handmade
ALUNAN musik indie bergema di gedung Bara Futsal, Jakarta Selatan, Minggu pekan lalu (19/4). Band indie papan atas, White Shoes and The Couples Company, tampil menghipnotis ratusan pengunjung Record Store Day (RSD). Grup itu menyanyikan lagu andalan mereka, Senandung Maaf.
Selain live music, banyak suguhan acara di RSD. Ada stan-stan yang menjual pernak-pernik yang berhubungan dengan musik, mulai kaus, topi, jaket, pin, sampai stiker. Anak muda yang kreatif bisa ikut lomba membuat poster dari guntingan gambar-gambar di majalah. Bagi yang ingin menunjukkan kebolehan dalam desain kaus, panitia juga menyediakan wadah.
BACA JUGA: Tentang sebuah Pondok Pesantren yang Serius Kembangkan Kerajinan Batu Akik
Di antara sekian banyak stan, ada tiga produk yang jadi jujukan pengunjung. Yaitu, stan kaset, piringan hitam (PH), dan compact disc (CD). Maklum, kaset dan PH kini termasuk barang yang sulit ditemukan lagi. Tidak banyak toko musik yang masih menjual dua kemasan recording lagu-lagu itu. Kebanyakan toko menjual dalam bentuk CD.
Ya, di RSD, pengunjung bisa bernostalgia dengan lagu-lagu lama dalam kaset dan PH. Banyak pilihan memorabilia, mulai band paling tersohor di Indonesia seperti Koes Plus sampai band kenamaan luar negeri seperti Queen, Beatles, dan Metallica. Kondisinya masih ’’utuh’’, mulai cover album hingga suara yang dihasilkan. Masih seperti pada masa kejayaan kaset dan PH era 70-an sampai 90-an.
BACA JUGA: Kisah Wong Solo yang Sudah 50 Tahun di Rumania
Kini semua berubah. Kaset dan CD tergusur kemajuan teknologi. Penikmat yang ingin mendengarkan musik tidak perlu repot-repot membeli PH atau kaset, bahkan CD sekalipun. Cukup dengan men-download di internet, dalam sekejap, lagu yang diinginkan bisa disimpan di perangkat gadget atau komputer, bahkan dengan gratis. Memang, era digital membuat semua jadi lebih mudah dan murah.
Namun, tidak sedikit orang yang tidak senang dengan berbagai kemudahan itu. Bagi mereka, menikmati lagu mesti melalui ’’ritual’’ memasang PH atau kaset lebih dahulu. Dengan cara begitu, ada keasyikan tersendiri dalam mendengarkan musik.
Misalnya, yang dirasakan Mayo Romandho, salah seorang penggagas RSD. Pria kelahiran Jakarta itu memberikan wadah bagi orang-orang yang ingin menikmati musik dengan ’’ritual’’ menyetel kaset atau memutar PH.
’’Kami ingin penikmat musik bisa menikmati musik yang sesungguhnya lewat PH atau kaset,’’ ujar Mayo saat ditemui Jawa Pos di keriuhan RSD.
Dia mengakui, kemajuan teknologi memang sangat berpengaruh pada performance band dan pekerja musik saat ini. Mereka tidak lagi disibukkan membuat album musik secara fisik. Ketika ada album baru, cukup dilempar di internet. Konsumen akan berlomba men-download lagu tersebut. Alhasil, karya mereka jadi tidak maksimal. ’’Untuk apa capek-capek membuat lagu bagus kalau hanya begitu? Nggak asyik,’’ ucap Mayo.
Konsekuensi lain kemajuan teknologi adalah semakin maraknya pembajakan. Orang semakin mudah meng-copy sebuah lagu. Dari CD dikopi ke komputer, lalu di-burning ke CD kosong. Sangat mudah.
Kondisi seperti itu membuat gairah untuk menciptakan lagu atau musik yang bagus menurun. Akibatnya, kualitas lagu yang dihasilkan dalam beberapa tahun terakhir dinilai menurun. Paling awal dirasakan di Amerika Serikat, negara tempat munculnya gerakan Record Store Day.
RSD lahir pada 2007. Saat itu industri musik di Negeri Paman Sam sedang berada pada titik nadir. Penjualan kaset, CD, serta PH merosot drastis. Alhasil, banyak toko musik gulung tikar, bangkrut. Penyebabnya, banyaknya situs yang menawarkan free download MP3.
Melihat kondisi itu, para musisi dan penikmat musik Amerika Serikat berkumpul. Mereka bersepakat untuk kembali menggelorakan kecintaannya pada rilisan fisik musik berupa kaset, CD, dan vinyl atau PH. Caranya, membuat bazar musik rekaman yang antara lain menjual peranti-peranti untuk kenikmatan mendengarkan musik itu.
Kondisi di AS merembet di negara-negara lain, termasuk di Indonesia. Maraknya penggunaan internet membuat para musisi kini jadi malas membuat rilisan fisik. Mereka lebih suka meluncurkan lagu di situs lagu berbayar atau nada sambung pribadi (NSP). ”Sekarang tidak ada kebanggaan lagi yang diperoleh para musisi,” ujar Mayo.
Alumnus Jurusan Manajemen Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, itu mengaku, awalnya dirinya juga berpandangan sama dengan orang kebanyakan. Ikut mainstream. Ketika ingin mendengarkan lagu baru, dia langsung mencari tempat yang menyediakan internet gratis.
Tapi, ada kejadian unik yang mengubah pandangan Mayo. Suatu hari dia bermaksud pergi ke tempat biasa dia mengunduh musik. Nah, ketika akan berangkat, ternyata hard disk 2 tera miliknya yang berisi full lagu-lagu hasil download rusak terkena virus. Berbagai cara sudah dilakukan untuk mengembalikan lagi peranti penyimpan data elektronik itu seperti semula. Tapi, tetap tidak berhasil.
Sejak saat itu Mayo mulai berpikir untuk mengubah pandangannya tentang kenikmatan mendengarkan musik. Yakni, mengoleksi bentuk fisik kemasan rekaman seperti CD, kaset, serta PH yang tak bisa diserang virus. Selain itu, kualitas suara yang dihasilkan perangkat-perangkat itu jauh lebih bagus daripada hasil download.
Berbekal keinginan kuat itu, Mayo mulai mengumpulkan uang untuk membeli kaset dan PH. Namun, dia sulit menemukan toko yang menjual perangkat mendengarkan musik itu. ”Terpaksa saya harus beli di luar negeri,” paparnya.
Cita-cita pria yang hobi nge-banditu tidak sebatas mengumpulkan rilisan fisik musik. Dia juga ingin membuka toko musik yang menjual vinyl dan merchandise musik. Memang keinginan Mayo itu terbilang aneh. Sebab, saat ini sudah jarang ada toko musik di Indonesia. Namun, impiannya tidak bisa dibendung. Dia akan tetap mendirikan toko musik agar penikmat musik di Indonesia tidak perlu ke luar negeri untuk mencari PH.
Tekad tersebut terbayar lunas. Pada 2011 Mayo meresmikan toko musiknya di daerah Senayan, Jakarta. ”Toko musik saya bernama Monka Magic,” tuturnya.
Perjuangan Mayo belum usai. Toko musiknya tak ramai dikunjungi orang. Pria 29 tahun itu mengungkapkan, orang enggan datang ke tokonya karena menganggap PH dan kaset sudah jadul. Praktis, pada awal-awal berdirinya Monka Magic, Mayo merugi.
Penggemar penyanyi Chrisye itu sempat frustrasi. Dia bahkan berniat menutup toko musik yang didirikan dari kantong pribadi itu. Namun, Mayo tersadar ketika membaca sebuah majalah musik yang menceritakan gerakan Record Store Day di Amerika Serikat yang ingin mengembalikan kebanggaan pada kaset, CD, dan PH. Dia ingin menerapkannya di Indonesia.
Tanpa pikir panjang, Mayo membuat RSD yang pertama pada 2012. Tempatnya di toko kasetnya. Mengambil konsep cintai rilisan fisik musik, Mayo berupaya menggaet hati penikmat musik, khususnya anak-anak muda.
Tetapi, usaha itu tidak semudah membalik telapak tangan. Gerakan yang di Amerika Serikat sukses ternyata berkebalikan di Indonesia. Target Mayo meleset. Yang datang justru orang-orang tua yang ingin mengoleksi piringan hitam. ”Pengunjung anak muda sedikit yang datang,” ungkapnya.
Meski belum berhasil, dia tidak putus asa. Tahun berikutnya dia kembali membuat RSD. Masih tetap berlokasi di tokonya, kali ini Mayo mengajak toko musik indie Hey Folks. Pengunjung mulai banyak. Di antaranya, para penggemar musik indie.
Peluang itu berhasil ditangkap Mayo. Tahun berikutnya dia memfasilitasi band indie untuk tampil di RSD. Bukan hanya itu, musisi-musisi baru itu diberi kesempatan untuk me-launching albumnya di acara tersebut. ”Ternyata cara itu mampu mengundang banyak pengunjung yang datang,” jelasnya.
Gerakan cinta rilisan fisik musik itu pun semakin masif. PH kembali diburu para penggemar, anak-anak muda hingga orang-orang tua. Itu tidak disia-siakan Mayo. Tiap tahun Mayo menggelar RSD. ”Kini pencinta rilisan fisik di Indonesia sudah jauh lebih banyak,” ujar kolektor 9 ribu PH itu.
Mayo mengatakan, kaset, CD, dan PH kini menjadi gaya hidup baru. Pembeli tidak hanya ingin mendengarkan musik di dalamnya. Namun, mereka juga ingin melihat cover-nya. Semakin bagus sampulnya, semakin banyak yang suka dan mengoleksinya. Menurut dia, cover di CD, kaset, serta PH merupakan bentuk interaksi antara pembuat musik dan pembeli.
Keistimewaan lain dari rilisan fisik musik adalah kualitas suaranya yang jernih dan awet. Mayo mengatakan, suara yang keluar dari piringan hitam dan kaset berbeda dengan lagu yang di-download di internet. Memang orang awam belum bisa membedakan kualitas suara yang dihasilkan. Namun, penikmat musik sejati bisa mengetahui perbedaannya.
Memang masih ada tantangan lain. Yaitu, lambatnya industri musik Indonesia merespons kegemaran orang untuk membeli PH atau kaset. Baru satu dua produser musik yang menangkap peluang itu. Dengan demikian, pengadaannya harus diimpor. Selain itu, industri pembuat peranti musik belum siap. Saat ini masih sedikit pabrik yang membuat turntable atau alat pemutar piringan hitam. ”Tape untuk memutar kaset sekarang sudah mulai langka,” tuturnya.
Namun, dia optimistis, rilisan fisik akan terus berkembang di Indonesia. Saat ini komunitas pencinta kaset, CD, serta PH mulai bermunculan. Sebaliknya, berdasar survei majalah-majalah musik, orang yang men-download musik kini mulai berkurang. ”Dari tahun 2007–2014, jumlahnya terus berkurang,” ungkap Mayo.
Bagaimana caranya untuk meningkatkan kecintaan pada rilisan fisik? Penggemar band Pink Floyd itu mengatakan, meskipun berkurang, download musik masih menjadi ancaman. Untuk itu, dia meminta musisi untuk merilis album secara fisik.
Hal tersebut sudah mulai direspons. Kini orang tidak bisa sembarangan men-donwload musik. ”Karena ada kode download-nya. Kode itu bisa didapat jika mereka terlebih dulu membeli PH,” ucapnya.
Mayo berharap RSD bisa terus diadakan setiap tahun. Dengan begitu, semakin banyak orang Indonesia yang mencintai rilisan fisik musik dan kualitas musik Indonesia berkembang. ”Mendengarkan musik lewat kaset, CD, serta PH merupakan cara menikmati seni yang sesungguhnya,” ungkap dia. (*/c5/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kerisauan M. Haitami, sang Penjaga Tradisi Ukiran Dayak di Kalimantan Tengah
Redaktur : Tim Redaksi