Mayoritas Parlemen Tolak Pendapat SBY

RUU Keistimewaan Jogja

Selasa, 30 November 2010 – 07:17 WIB

JAKARTA - Pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait Rancangan Undang Undang Keistimewaan Jogjakarta terus mengundang reaksi negatif dari DPRSBY menilai sudah tidak perlu lagi ada sistem monarki di negara demokrasi, namun kalangan parlemen menilai posisi historis Jogjakarta harus tetap dibedakan dibandingkan provinsi lainnya.

"Konstitusi mengakui kekhasan daerah seperti Jakarta, Papua, dan Aceh," kata Arif Wibowo, anggota Komisi II DPR di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (29/11).
 
Menurut Arif, sistem monarki yang terjadi di Jogjakarta merupakan bagian dari latar belakang sejarah

BACA JUGA: Jakgung Janjikan Awasi Jaksa Nakal

Apalagi, sistem itu merupakan praktek pemerintahan sehari-hari di Jogjakarta
Posisi Sultan sudah mengakar di mata rakyat Jogjakarta

BACA JUGA: KPK Bidik Atasan Gayus

"Kalau melakukan pemilihan, berarti ada dualisme kekuasaan," kata Arif mengingatkan.

Dalam posisi tersebut, pemerintah tidak seharusnya memaksakan konsep demokrasi
Pemerintah harus arif dan bijaksana mengakui original inten dari posisi Jogjakarta

BACA JUGA: SBY Panen Kritik Soal RUUK DIY

"Kalau pemerintah mengakui (penetapan langsung), justru pemerintah akan lebih berwibawa," jelas politisi PDIP itu.

Perihal kekhawatiran jika posisi Sultan kalah jika dilakukan pemilu, Arif menilai pendapat itu tidak berdasarPosisi Jogja tidak sesuai dengan iklim demokrasiAkan timbul gejolak jika memaksakan demokrasi di Jogja"Ini bukan menang atau kalah, yang dikhawatirkan adalah rekayasa politik, dualisme kepemimpinan," kata Arif.
Arif menilai, jika posisi ini terkait konflik antara SBY dengan Sultan, seharusnya tidak perlu dibawa ke ranah strategisPernyataan bahwa Jogjakarta bersistem monarki terlalu berlebihan"Jangan dikatakan monarkiKita ini tetap demokrasiKecuali rakyat Jogja tidak setuju penetapan, baru kita cari yang cocok," ujarnya.

Anggota Komisi II DPR yang juga Sekjen Golkar Idrus Marham menilai, keberadaan kesultanan merupakan latar belakang historisMenafikkan kesultanan sama saja menafikkan perjalanan sejarah bangsa"Dalam sejarah bangsa ada demokasi, di demokrasi eksistensi kesultanan diakui," kata Idrus secara terpisah.
Keberadaan sultan, merupakan realitas politik, budaya dan sosial JogjakartaGolkar setuju jika Jogjakarta ditempatkan dalam tataran ideal demokrasi, namun tidak menafikkan posisi kesultanan saat ini"Ini yang perlu dicari formulanyaIdeal tapi tidak melupakan historis," tandasnya.
 
Ketua DPP PPP Lukman Hakim Syaifuddin juga menegaskan penentuan Gubernur Jogjakarta sebaiknya tetap mempertahankan mekanisme penetapanSelain itu menjadi kehendak mayoritas warga Jogjakarta, UUD 1945 juga menyatakan pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan "satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
 
"Gaya monarki Jogjakarta bukanlah politis, tapi sebatas kultural," kata Wakil Ketua MPR RI ituDia berharap sejarah integrasi kesultanan dan pakualaman ke NKRI tetap dihormati"Sebaiknya kita tidak menggarul yang tidak gatalItu hanya menimbulkan iritasi yang tak perlu," saran Lukman.

Anggota Komisi II DPR dari Demokrat Muslim menilai, posisi untuk memasukkan demokrasi di RUU Keistimewaan Jogja punya alasan mendasarMeski posisi Jogja istimewa, harus ada unsur demokrasi demi menjamin keterwakilan rakyat"Aceh juga istimewa, tapi tidak ada masalah (digelar pemilu) disana," kata Muslim.
 
Jika alasannya aspirasi rakyat Jogja menghendaki penetapan, Muslim menilai aspirasi itu belum dilihat secara menyeluruhDia menilai, seharusnya harus ada kesamaan proses demokrasi di seluruh daerah di Indonesia"Jadi jangan hanya kepentingan politik," tandasnya(bay/pri)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Honorer Penuhi Syarat Malah tak Diusulkan BKD


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler