jpnn.com - LUPAKAN dulu isu perombakan kabinet. Mari sejenak menengok aktivitas menteri era Orde Baru. Untuk sekadar menyapa: Apa kabar, Mbah Menteri?
’’Menurut petunjuk Bapak Presiden…’’
BACA JUGA: Gadis Cantik Berhijab Ini Juara Membaca Kitab Kuning
Pembaca yang tumbuh dewasa pada era 80-an hingga 90-an tentu akrab dengan kalimat tersebut. Hanya seorang yang masyhur dengan kalimat khas itu. Harmoko. Dialah menteri penerangan tiga periode (Kabinet Pembangunan IV–VI).
Jumat (22/4) Jawa Pos menemuinya di kantor redaksi Pos Kota, surat kabar harian yang didirikan Harmoko bersama sejumlah koleganya pada 1970. ’’Alhamdulillah, baik,’’ ucap Harmoko, lantas tersenyum dan membalas uluran tangan untuk bersalaman saat menerima Jawa Pos di ruangannya.
BACA JUGA: Kisah Mengharukan, Dari Menandu Pasien Hingga Dihadang Babi Hutan
Usianya kini 77 tahun. Saat menyambut Jawa Pos, Harmoko duduk di kursi rodanya. Mengenakan kemeja biru berbahan tenun tradisional dan (tentu saja tak lupa) peci hitam. Sesekali tangan kanan mantan ketua MPR/DPR itu gemetar.
Meski demikian, semangat Harmoko tampak belum pudar. Meski mulai terbata dalam berucap, dia berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan. Sesekali obrolan diselingi tawa lepas Harmoko. Dengan napas tersengal.
BACA JUGA: Beginilah Keseruan Hari Pertama Wonderful Indonesia di Thailand
Setelah purnatugas sebagai ketua MPR/DPR, Harmoko aktif menulis. Saat ini dia rutin menulis Kopi Pagi di Pos Kota. Kolom itu terbit tiap Senin dan Kamis. Topiknya seputar isu terkini.
Di luar itu, Harmoko menjalani hydrotherapy di Hotel Borobudur serta fisioterapi di RS Bunda Jakarta. ’’Saya juga keliling ke pesantren-pesantren,’’ tutur pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, tersebut dengan perlahan.
Harmoko memang memiliki empat pesantren. Yakni, Fajar Dunia di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat; Lailatul Qodar di Sukoharjo, Jawa Tengah; Hanacaraka di Wonogiri, Jawa Tengah; dan Al Barokah di Nganjuk, Jawa Timur.
Saat terapi, tidak jarang Harmoko bertemu dengan kolega-koleganya sesama menteri pada eranya. Mulai mantan Menteri Kehakiman Oetojo Oesman, mantan Menpora Abdul Gafur, mantan Menristek Rahardi Ramelan, dan mantan Menteri Perumahan Rakyat Akbar Tandjung serta Presiden Ketiga B.J. Habibie.
Saat disinggung tentang apa saja yang dilakukannya saat bertemu mereka, Harmoko hanya tertawa. ’’Kami nyanyi-nyanyi,’’ ucap ayah tiga anak itu. Pertemuan tersebut biasanya juga diselingi diskusi. Hasilnya dituangkan dalam Kopi Pagi.
Tentang kalimat khasnya, menurut Harmoko, hal itu dipilih karena yang dia sampaikan memang hal-hal yang disampaikan Presiden Soeharto.
’’Jadi, itu memang petunjuk presiden, saya sampaikan ke publik,’’ lanjut kakek enam cucu itu. Menteri, tutur Harmoko, bertugas melaksanakan kebijakan presiden. Tidak boleh semaunya sendiri.
Harmoko ketika itu memang layaknya juru bicara pemerintah. Dia ditugasi menyampaikan program-program pemerintah kepada rakyat. Hingga akhirnya, Harmoko pun meluncurkan program Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa).
Kalimat khas itu pun dengan mudah menjadi ciri Harmoko. Di luar itu, muncul berbagai pelesetan namanya di masyarakat seiring statusnya sebagai menteri penerangan. Yang sinis dan paling terkenal tentu ’’Hari-hari omong kosong’’.
Nama Harmoko juga menjadi populer di kalangan sopir dan pengguna angkutan umum di Jakarta. Apa lagi kalau bukan oplet jurusan Harmoko alias Harmoni–Kota.
Sopir-sopir oplet yang beroperasi di jurusan tersebut cukup berteriak ke calon penumpang, Harmoko…! Harmoko…! Harmoko…!
Dia menuturkan, pada era Presiden Soeharto, kabinet juga mengalami dinamika. Tidak jarang terjadi perdebatan seru antarmenteri soal rencana kebijakan. Harmoko mencontohkan, dia beberapa kali ’’ribut’’ dengan menteri-menteri yang lain saat membahas rencana kenaikan harga BBM.
Harmoko kukuh mempertahankan pendapat bahwa harga BBM tidak perlu dinaikkan karena memberatkan masyarakat.
Sementara itu, menteri lain punya argumentasi kuat pula mengapa harga BBM harus naik. Ujungnya, Presiden Soeharto menengahi. ’’Lihat maunya rakyat bagaimana,’’ ujar Harmoko menirukan ucapan Soeharto kala itu.
Soeharto menjadi faktor kunci yang membuat kabinet begitu adem-ayem. Setidaknya yang terlihat di depan publik. Padahal, lanjut Harmoko, diskusi dan perdebatan tidak jarang terjadi.
Hanya, perdebatan itu berlangsung tertutup di ruang sidang kabinet. Begitu keluar, menteri bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan sepakat bulat.
Kini pada usianya yang tergolong senior, Harmoko gemar berwisata kuliner. Selepas terapi, dia selalu mencari kuliner di pasar-pasar. Dalam sehari, bisa 3–4 menu dia cicipi.
Tentu porsinya sedikit. Apa makanan favorit Harmoko? ’’Pecel Madiun,’’ ucapnya, lalu terkekeh. Dia juga beberapa kali ke Surabaya untuk mencicipi sate sumsum Ondomohen.
Tidak jarang, masyarakat begitu antusias saat tahu yang datang adalah Harmoko. Harmoko punya pesan khusus bagi masyarakat Indonesia. Dia berharap masyarakat saat ini dan ke depan mengembangkan pemikiran-pemikiran yang positif, kreatif, serta inovatif. Juga, harus semakin melek teknologi.
Bagaimana dengan harapan untuk pemerintah? Harmoko tersenyum seraya menggeleng. ’’Saya tidak mau ikut campur,’’ tegas kakek yang berulang tahun tiap 7 Februari itu.
Kini Harmoko sibuk menulis. Sejumlah edisi Kopi Pagi beberapa tahun belakangan sudah dibukukan menjadi tiga buku. Yakni, Tantangan Pemerintahan 2014–2019, Siapa Presiden 2014?, dan Waspada Neoimperialisme. ’’Saya ingin terus menulis sampai mati,’’ tegasnya. (byu/bay/nap/c5/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... HEBAT...Rela Mengajar Tanpa Digaji, Sudah 11 Tahun
Redaktur : Tim Redaksi