Mbah Uti Punya 7 Cucu, Kades Perempuan Tertua di Kabupaten Kediri

Senin, 01 April 2019 – 00:06 WIB
Sudjiati berada di depan kantornya, Desa Plemahan, Kecamatan Plemahan, Kediri. Foto: ANDHIKA ATTAR/Radar Kediri

jpnn.com - Sudjiati usianya sudah menginjak umur 64 tahun. Dia memenangkan pemilihan kades pada usia 58 tahun. Nenek tujuh cucu ini membuktikan bahwa usia bukanlah halangan untuk terus beraktivitas.

ANDHIKA ATTAR - Kediri

BACA JUGA: Kemendes Bareng Kepala Desa Studi Banding ke Tiongkok

Di balik meja kerjanya, Sudjiati terlihat sedang memeriksa beberapa dokumen. Setelah membaca dengan teliti, ia lalu menandatanganinya. Tak jarang beberapa perangkat desa masuk ke ruang kerjanya. Mereka tampak berkoordinasi terkait beberapa urusan yang ada di desa.

Sebagai kepala desa (kades) Plemahan di Kecamatan Plemahan, aktivitas Sudjiati memang cukup padat. Tak jarang telepon genggam di sebelah kanannya berdering. Ia pun dengan sigap langsung mengeceknya. Sesekali sebuah panggilan suara. Seringnya hanya pesan singkat.

BACA JUGA: Tim Prabowo Khawatir Mobilisasi Kepala Desa Merusak Harmoni

Sudjiati mengaku mendapat dorongan untuk macung sebagai kades dari warga di sana. Akhirnya ia pun memutuskan untuk maju mengikuti pemilihan pemimpin desa tersebut. Pilihannya tersebut tidak lah sia-sia.

Sudjiati menjadi Kades Plemahan saat pemilihan pada tahun 2013 silam. Itu berarti pada saat pemilihan tersebut, usianya sudah menginjak 58 tahun.

BACA JUGA: Penjelasan Kemendagri soal Rencana Apel Kades Bareng Jokowi di GBK

BACA JUGA: Driver Ojek Online Bisa Kantongi Rp 9 Juta per Bulan, Itu Dulu...

Sudjiati tercatat sebagai kades perempuan tertua di Kabupaten Kediri. Dengan umurnya tersebut, banyak yang menganggapnya sebagi figur seorang ibu. Seseorang yang mengayomi.

Sudjiati sendiri memiliki sebutan akrab dari beberapa rekan kerjanya. Baik itu rekan kades, perangkat desa atau pamong bahkan camat.

“Saya sering dipanggil Mbah Uti (nenek, Red) oleh kades-kades lainnya. Bahkan ada juga camat memanggil saya dengan sebutan tersebut,” ungkap kades kelahiran 1955 ini sembari tersenyum.

Awalnya hanya satu kades yang memanggilnya dengan sebutan itu. Sudjiati ingat betul bahwa sebutan tersebut kali pertama datang dari kades Puhjarak, Plemahan.

Selayaknya bola salju yang menggelinding, panggilan itu pun semakin banyak digunakan kades lain. Hingga akhirnya, saat ada agenda rapat atau perkumpulan kades, seringkali rekannya memanggilnya Mbah Uti. Baik saat perkumpulan di tingkat kecamatan maupun kabupaten.

Lambat laun panggilan itu semakin melekat pada dirinya. Sudjiati pun menjadi terbiasa. Ia menganggap bahwa panggilan tersebut merupakan sebuah hal yang lumrah. Makanya, kades perempuan ini tidak merasa keberatan dengan panggilan tersebut.

Sudjiati justru mengaku senang dengan panggilan Mbah Uti itu. Ia memaknainya sebagai hal yang positif. Di luar hal itu, pada umurnya yang terbilang telah lanjut usia (lansia) itu, ia merasa, sudah sepantasnya dipanggil dengan sebutan nenek.

“Lah, memang sudah pantes kok. Cucu saja sudah ada tujuh orang. Mereka (cucu, Red) juga memanggil saya Mbah Uti. Jadi saya sudah terbiasa dengan sebutan tersebut,” papar kades kelahiran Trenggalek ini.

Sudjiati memang tidak pernah menganggap umur sebagai sebuah penghalang. Apalagi untuk urusan beraktivitas dan bekerja. Ia justru merasa aneh jika harus berdiam diri tanpa melakukan sebuah aktivitas.

Kegiatan Sudjiati tidak hanya sekadar menjadi kades saja. Sepulangnya beraktivitas di desa, ia mempunyai kesibukan lainnya. Di rumahnya, ia memiliki sebuah usaha jual-beli sepeda motor bekas. Praktis masih ada yang harus dikerjakannya sepulang menangani urusan pemerintahan desa dari kantor desa.

Meskipun dalam usaha tersebut Sudjiati memiliki karyawan, namun dirinya tidak begitu saja melepaskan tanggung jawab. Tetap saja untuk urusan transaksi dan pengambilan keputusan ada di tangannya.

Bahkan telepon seluler (ponsel) miliknya seakan tak bosannya berdering. Selalu ada saja panggilan, entah itu dari kerabat, rekan kerja, warga atau pembeli yang bertanya harga. Ia pun tidak mempermasalahkannya. “Ya semua sudah menjadi tugas. Saya jalani saja,” katanya.

Seabrek kegiatan pun dilakoni Sudjiati dengan semangat. Semua dianggapnya sebagai berkah. “Kalau lelah pasti, namanya juga manusia. Tapi selama masih dibutuhkan dan saya sanggup, kenapa tidak?” urainya kepada Jawa Pos Radar Kediri dengan bersahaja.

Ibu empat orang anak ini mempunyai cara jitu untuk menghilangkan penatnya. Saban hari Sabtu, ia sudah pasti tidak bisa diganggu. Sebab, Sudjiati sudah memiliki agenda wajib yang selalu dikerjakannya.

“Hari Sabtu adalah hari cucu. Itu sudah menjadi hal yang wajib. Tidak bisa lagi ditawar-tawar,” tuturnya sedikit bercanda.

Namun begitu, Sudjiati tidak berkelakar jika tiap Sabtu pasti menghabiskan waktu dengan para cucunya. Entah itu ia yang berkunjung ke rumah sang anak atau sebaliknya.

BACA JUGA: Silakan Cek, Apakah Harga Tiket Pesawat Sudah Patuhi Aturan Baru

Jika sudah berkumpul dengan cucunya, ia pun merasa penatnya tiba-tiba hilang. Rasa lelahnya tergantikan dengan celoteh riang. Sebuah obat sederhana yang mahal harganya.

Dengan kesibukannya yang padat tersebut, siapa sangka Sudjiati sudah berumur 64 tahun. Mbah Uti membuktikan, umur hanyalah deretan angka. Ia percaya bahwa batasan adalah diri sendiri yang menciptakan.(ndr)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Respons Fadli Zon tentang Rencana Kades Berkumpul di GBK Bareng Jokowi


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler