jpnn.com - Pasca kasus Rawagede mencuat, sejumlah media Belanda kini banyak memburu fakta pembantaian serupa yang terjadi di daerah lain di Indonesia. Salah satu yang getol melakukan itu ialah TV NCRV. Bersama televisi itu Jawa Pos melakukan ekspedisi ke sejumlah daerah untuk mengungkap adanya fakta kekejaman perang.
GUNAWAN SUTANTO, Jogjakarta
BACA JUGA: Jangankan Perhargaan, BLSM pun Terlewatkan
TIGA orang bule terlibat pembicaraan serius di sebuah lobby hotel di kawasan Gejayan, Jogjakarta. Satu diantara bule itu ialah Max van der Werff. Dia merupakan seorang peneliti independen yang pernah di wawancara koran ini 20 Oktober lalu.
Max kali ini datang lagi ke Indonesia. Dia datang untuk memandu dua kru televisi nasional di Belanda Nederlandse Christelijke Radio Vereniging (NCRV) Piet de Blaauw dan Harry Van de Westelaken. Piet mengenalkan diri sebagai seorang verslaggever (reporter) untuk acara bernama Altijd Wat dan Harry sebagai kameraman.
BACA JUGA: Pembakaran Rumah Kampung Pemasang Ranjau
Pembicaraan ketiganya ternyata untuk menyusun jadwal agar liputan bisa dilakukan efektif dalam beberapa hari. Di sela-sela pembicaran tersebut tiba-tiba Piet menanyakan kenapa koran ini juga tertarik melakukan penelusuran mengungkap fakta-fakta pembantaian yang terjadi selama agresi militer.
Pernyataan Piet itu diungkapkan mungkin karena dia melihat tidak banyak media di Indonesia memberikan porsi yang besar terhadap kejadian tersebut. ’’Di Belanda hal-hal semacam ini menjadi berita besar, terlebih setelah terjadinya kasus Rawagede,’’ ujar sudah menjadi reporter sejak 14 tahun silam itu.
BACA JUGA: Jembatan Kali Progo dan Kemarahan Pada Sang Kolonel
Seperti diketahui, di kampung Rawagede, Rawamerta, Karawang itu terjadi pembantaian massal terhadap penduduk sipil. Dalamkejadian itu ada 35 penduduk kampung tersebut dibunuh tanpa alasan yang jelas. Oleh sebuah lembaga di Belanda yang bernama KUKB (Komite Utang Kehormatan Belanda) peristiwa itu akhirnya diperkarakan.
Pengadilan Den Haag pun akhirnya memutuskan Belanda bersalah. Pemerintah Belanda dinyatakan harus bertanggungjawab terhadap para janda-janda yang suaminya dibunuh. Selain itu negeri di barat laut Eropa juga harus melakukan permintaan maaf. Dan itu sudah dilakukan pada September 2011 silam.
Piet sendiri mengaku bukan seketika itu tertarik dengan sejarah perang di Indonesia. Pria yang sudah melakukan berbagai peliputan konflik di sejumlah negara itu mengaku sudah sejak enam tahun silam mempelajari tentang perang di Indonesia.
’’Apa yang saya rasakan sama dengan para peneliti dan jurnalis di sana. Bahkan pasti ada kejadian lain di luar Rawagede. Itulah yang membuat saya tertarik untuk menelusurinya,’’ paparnya. Perbincangan antara koran ini dengan kru televisi itu kemudian banyak berlanjut keesokan harinya saat perjalanan menuju ke tempat-tempat pembantaian.
Salah satu tempat yang kami telusuri ialah Kebumen dan Temanggung. Dalam perjalanan ke kota-kota itu, Piet dan Harry banyak berbagi cerita. Mulai dari membahas hal-hal serius sampai bercanda yang juga ada kaitannya dengan sejarah Indonesia.
’’Saya di mobil ini serasa minoritas. Saya murni berasal dari Belanda. Kalian itu separuh Indonesia karena memiliki hubungan darah dengan Indonesia,’’ gurau Piet siang itu. Ternyata gurauan itu merujuk pada nenek moyang kedua londo tersebut.
Max seperti yang pernah dikisahkan Jawa Pos merupakan keturunan Belanda-Indonesia. Kakeknya merupakan anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger/Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang ditugaskan di Indonesia.
Saat bertugas di Indonesia itu, kakeknya menikah dengan warga Indonesia dan lahirlah ayah Max. Itulah kenapa Piet mengatakan Max setengah Indonesia, karena ayahnya lahir di sini. Hal yang sama juga terjadi pada Harry. Mbahnya merupakan tentara KNIL yang menikah dengan warga lokal keturunan Tionghoa. Nah ayah Harry lahir di Kebumen.
’’Keluarga saya dulu ada yang tinggal di Banjarmasin dan Jawa. Ibu saya bahkan masih bisa memasak makanan Jawa, salah satunya pepes,’’ kelakar pria plontos itu. Atas dasar ikatan emosional itu jugalah yang membuat Harry tertarik mengikuti Piet.
’’Saya sebenarnya pernah ke Indonesia tapi hanya untuk liburan,’’ paparnya. Sementara Piet sendiri sudah tiga kali datang ke Indonesia dengan misi yang sama. Pertama kali dia datang untuk meliput ke Rawagede usai putusan pengadilan Den Haag keluar.
Sementara kedatangannya yang kedua dilakukan ke sejumlah daerah di Sulawesi Utara untuk membuat dokumenter pembantaian Westerling. Karya Piet itulah yang sempat dijadikan bahan KUKB untuk melayangkan gugatan ke Pemerintah Belanda. Gugatan itu sendiri akhirnya kembali dimenangkan KUKB.
Piet mengatakan dalam liputan tentang sejarah Belanda, dia kebanyakan yang mengusulkan pada pimpinannya. Dari situ lantas Piet yang ditugaskan bersama seorang kameraman ke Indonesia. ’’Idenya dari sama, didiskusikan, diterima dan dibiayai untuk berangkat,’’ ujar lulusan School voor Journalistiek, Utrecht itu.
Secara pribadi Piet mengaku meski tidak memiliki ikatan darah dengan Indonesia, namun kejadian-kejadian itu tetap mengusiknya. ’’Atas nama keadilan, saya merasa perlu dilakukan investigasi untuk melihat dari sisi korban dan saksi yang masih hidup,’’ ungkapnya.
Selain itu, sebagai orang yang cinta akan sejarah, dia merasa ada kewajiban moral untuk menyampaikan kebenaran. ’’Tentunya melalui liputan yang saya buat,’’ ungkapnya. Dia mengaku sangat malu ketika mengetahui fakta yang terjadi saat liputan di Sulawesi terkait pembantaian Westerling.
’’Yang membuat saya malu, dulu ketika saya kecil banyak mendengar cerita tentang kejahatan Jerman terhadap Belanda. Tapi ternyata di negeri lain bangsa saya melakukan hal serupa,’’ ungkapnya. Piet mengatakan meskipun berita itu tidak mengenakan namun Pemerintah Belanda tidak pernah melarang ataupun melakukan tindakan perlawanan apapun.
’’Di sana kebebasan press benar-benar dijalankan. Selama yang disampaikan didasarkan atas kebenaran dan fakta yang kuat tidak akan terjadi masalah,’’ jelasnya. Media-media beraliran kanan dan kiri memberikan porsi yang sama terhadap kasus ini.
Dulu memang berita-berita tentang kekejaman Belanda di Indonesia sangat mengusik para veteran. ’’Ketika itu mereka masih punya tenaga jadi mereka bisa melakukan tindakan penolakan, tapi mereka kini sudah terlalu tua sehingga itu tidak terjadi lagi,’’ paparnya. Menurut dia penolakan itu pada zaman dulu sampai pada tingkat ancaman pembunuhan.
Penolakan itu menurut Piet terjadi dengan menekan pemerintah agar tidak membiarkan keluarnya berita-berita tentang kekejaman perang. Menurut Piet, Belanda sebenarnya sadar akan tindakan keliru yang pernah dilakukan di Indonesia. Namun Koninkrijk der Nederlanden (Kerajaan Negeri-negeri Hilir) masih sulit meminta maaf karena masih adanya sejumlah veteran perang.
’’Dan tekanan dari veteran itu yang menurut saya harus dilawan. Sebagai negara yang menganut demokrasi, pemerintah harus berani melakukan permintaan maaf,’’ terang pria kelahiran 3 Mei itu.
Piet lantas mengingat kejadian akan tekanan veteran yang begitu kuat ketika Ratu Belanda diundang Pemerintah Indonesia pada 17 Agustus 1995. Ketika itu veteran menekan Ratu Belanda agar tidak datang. Namun akhirnya Ratu datang namun pada 20 Agustus sehingga tidak ada sambutan apapun dari Pemerintah Belanda. ’’Itu dianggap hal yang sangat memalukan bagi warga Belanda,’’ papar pria yang beberapa kali melakukan peliputan di Afganistan itu.
Pasca kejadian Rawagede, di Belanda kerap diadakan diskusi terbuka terkait kasus-kasus pembantaian warga sipil selama Belanda berkuasa di Indonesia. Dan data-data yang diyakini sangat akurat di dikusi itu makin menyudutkan para veteran. Sebab sebagian masyarakat akhirnya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan dilakukan para veteran.
’’Tapi tidak semua veteran melakukan penolakan terhadap hal itu. Ada beberapa diantara mereka yang mendukung karena mereka merasa di usia senja ingin berdamai dengan Tuhan,’’ ungkap Piet.
Herry setuju bahwa tindakan pemerintah seperti bersedianya meminta maaf atas kejadian Rawagede itu dipengaruhi oleh pemberitaan-pemberitaan media. Oleh karena itu dia berharap pemerintah melakukan hal yang sama pada kejadian di daerah-daerah lain.
Proses pendokumentasian yang dilakukan Piet dan Harry memang terlihat begitu serius. Misalnya untuk menggambarkan enviroment desa yang mereka datangi. Keduanya harus beberapa kali meminta supir kendaraan yang mereka sewa untuk bolak-balik karena harus mengulang pengambilan gambar.
Begitu pula ketika dia harus mewawancara saksi yang rata-rata sudah berusia senja. Saking semangatnya, Piet dan Harry bahkan sampai lupa makan siang. Mereka baru ingat saat dalam perjalanan pulang dan hari sudah menjelang malam.
Saat datang ke Indonesia, Piet sebenarnya juga baru saja mengalami kecelakaan. Dia baru saja melakukan operasi untuk jari di tangan kanannya dan tangannya masih harus disanggah. Namun saat syuting, penyanggah itu dilepas karena dia harus in frame. (*/gun)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hujan Canon di Dapur Umum Kebumen
Redaktur : Tim Redaksi