jpnn.com - Banyak pujangga hebat yang mengawali kariernya sebagai jurnalis. George Orwell penulis novel ‘’Nineteen Eighty Four’’ yang masyhur adalah wartawan perang yang ikut tentara Inggris dalam misi di Perang Dunia II di Asia.
Pujangga Amerika Serikat Ernest Hemingway (1899-1961) penulis novel ‘’The Old Man and The Sea’’ juga mengawali kariernya sebagai jurnalis. Karya jurnalistik mereka berbobot tinggi karena kekuatan deskripsi yang mendetail.
BACA JUGA: Konon Peta Media Massa Indonesia Berubah Signifikan
Suatu ketika Hemingway diundang ke konferensi pers Benito Mussolini. Para wartawan dibawa masuk ke kantor diktator Italia tersebut. Mereka mendapati Mussolini sedang asyik membaca sebuah buku.
Tatkala wartawan lainnya berdiri dan menunggu terpaku, Hemingway justru berjingkat mendekati. Ia hendak melihat buku apa yang sedang dibaca Sang Diktator. “Kamus Perancis-Inggris, yang dipegang terbalik,” demikian tulis Hemingway dalam koran keesokan harinya.
BACA JUGA: Kemenkominfo Ingatkan Hindari Komentar Negatif di Media Sosial, Bahaya!
Itulah pentingnya kuriositas, rasa ingin tahu, yang harus dimiliki seorang wartawan. Terhadap hal kecil pun kuriositas harus dihidupkan, karena kalau tidak tertarik terhadap hal-hal kecil akan sulit tertarik kepada masalah yang besar.
Beberapa hari terakhir terjadi perbincangan hangat mengenai peran media dalam pusaran berita.
BACA JUGA: Ahli Pers Minta Media Jangan Giring Opini Publik untuk Menghakimi
Ketika muncul kasus ACT, Aksi Cepat Tanggap, yang dibongkar oleh Majalah Tempo, media seluruh Indonesia berlomba-lomba naik gelombang air laut.
Tempo sebenarnya tidak membongkar kasus itu, para eksekutif ACT sendiri yang datang dan saling membongkar rahasia kepada Tempo.
Ketika kemudian kasusnya terbongkar ke publik dan operasional ACT dibekukan dan eksekutifnya terancam dipidanakan, muncul tudingan bahwa Tempo telah melakukan trial by the press, penghakiman oleh pers.
Hubungan love and hate antara media dan pembacanya selalu mengalami pasang surut. Ketika media dianggap bisa memenuhi kebutuhannya maka akan dicintai, dan sebaliknya ketika tidak sesuai dengan harapannya maka akan serta merta dicaci maki.
Para pemimpin ACT yang berseteru yang saling membongkar rahasia. Ketika kemudian terungkap malapraktik pengelolaan keuangan dalam organisasi amal itu, maka Tempo menjadi sasaran kemarahan sekalangan orang.
Seseorang yang memakai psedu-name ‘’Jilbab Hitam’’ menulis di media sosial mengungkap praktik gelap di redaksi Tempo yang menyangkut ‘’jual beli berita’’ di level atas redaksi Tempo.
Kemudian muncul kasus pembunuhan ‘’Brigadir J’’ yang membuat heboh. Media kecolongan total, dan tidak bisa mengendus kasus ini sampai 3 hari setelah kejadian. Itu pun setelah polisi mengeluarkan rilis dengan versinya sendiri.
Baru setelah keluarga korban mengunggah konten ke media sosial yang mengungkap sejumlah kejanggalan, media-media mainstream beramai-ramai mengeksposnya.
Simpang siur terjadi karena ada upaya ‘’cover-up’’ menutup-nutupi kejadian yang sesungguhnya. Sebagaimana biasa, makin sebuah kasus ditutupi makin liar spekulasi yang berkembang.
Berbagai sumber yang tidak kredibel bermunculan. Dewan Pers berupaya memberi guidance supaya pemberitaan muncul dari narasumber yang kredibel. Akan tetapi, Dewan Pers malah mengarahkan media supaya mengambil narasumber resmi dari polisi. Setelah ramai mendapat protes, Dewan Pers menarik pernyataannya.
Dalam kasus Brigadir J, media mainstream dianggap gagal mengungkap peristiwa yang sesungguhnya.
Tradisi investigasi yang menjadi puncak capaian jurnalistik belum menjadi tradisi di Indonesia. Inilah yang membuat audiens berpaling kepada media sosial sebagai sumber informasi.
Media sosial, tidak pelak, telah menjadi pesaing utama yang menggerus kepercayaan publik terhadap media mainstream.
Wartawan senior Knight Ridder, Hal Jurgenmeyer mengatakan bahwa persaingan media sekarang sudah melebar jauh dari sekadar persaingan informasi.
“We were not in the news business, not even in the information business. We were in the influence business.” Jurgenmeyer berpendapat bahwa kita tidak lagi berada dalam bisnis pemberitaan, tidak juga dalam bisnis informasi. Kita semua berenang dalam pusaran bisnis pengaruh.
Media memiliki dua jenis pengaruh. Pertama, pengaruh sosial yang tidak bisa diperjualbelikan. Kedua, pengaruh komersial atas keputusan konsumen untuk membeli sebundel koran.
Pengaruh sosial berbanding lurus dengan pengaruh komersial. Bukankah media yang berpengaruh memiliki pembaca setia. Sehingga ini otomatis menarik para pemasang iklan yang menghasilkan iklan.
Jurnalisme yang berkualitas akan menarik pemasang iklan. Begitu tesis sederhana Jurgenmeyr. Akan tetapi, kenyataannya tidak seindah bayangan. Di era digital sekarang ini, iklan tidak dihasilkan oleh karya jurnalistik yang cemerlang, tetapi ditentukan oleh mekanisme mesin algoritma.
Mesin ini punya logika sendiri yang tidak selalu berkesesuaian dengan standar jurnalisme.
Idealnya media jangan sekadar menjadi buckrakers atau pengeruk uang, tetapi juga harus menjadi muckrakers, pembongkar penyelewengan.
Akan tetapi, kondisi persaingan yang menggorok leher membuat media tidak sempat lagi memikirkan kualitas, karena untuk menjaga supaya bertahan hidup saja media sudah sangat bergantung kepada platform digital.
Melalui platform digital ini media mengandalkan pendapatan jumlah pembaca dan mengandalkan perolehan iklan.
Media tidak sekadar menjadi buckrakers alias pengeruk uang. Media juga mesti memiliki idealisme sebagai pembongkar penyelewengan. Sebagai pilar keempat demokrasi, media harus menegakkan keadilan.
Joseph Pulitzer mengatakan bahwa ketakutan seseorang akan dibongkar oleh sebuah media massa, telah mencegah berbagai kejahatan koruptif dan tindakan amoral lainnya.
Penyelidikan independen oleh pers dilakukan dengan cara menginvestigasi kegiatan pejabat, korporasi, dan lembaga publik lainnya, sehingga media dapat memberi informasi kepada masyarakat demi transformasi sosial.
Genre ini disebut watchdog journalism yang sangat idealistis meskipun dalam praktiknya semakin sulit diterapkan.
Di kutub lain, ada juga jurnalisme sampah, junk journalism, yang mengeksploitasi berita-berita murah tetapi sangat disukai oleh algoritma sehingga menghasilkan trafik yang tinggi.
Energi jurnalis lebih banyak dicurahkan untuk mencari dan menjaga trafik ketimbang lainnya. Seorang jurnalis senior dengan pahit berkata, kalau saja 1/10 energi yang dikeluarkan untuk mengintai kehidupan pribadi dimanfaatkan untuk memantau kekuasaan yang nyata, kita akan luar biasa menjadi lebih baik
Media sedang berada di persimpangan jalan. Era media cetak sudah mendekati ujungnya, sementara media digital masih berjuang mencari bentuknya. Banyak ramalan menyebutkan, media cetak akan musnah dan menjadi sejarah. Philip Meyer, penulis buku “The Vanishing Newspaper”, meramalkan koran terakhir terbit pada April 2040. Media cetak akan segera punah.
Penelitian AC Nielsen menyebutkan oplah media cetak turun sementara konsumsi media digital justru naik. Oplah koran turun 4 persen, majalah 24 persen, tabloid 12 persen.
Sementara, penonton televisi naik 2 persen dan pengakses internet naik 17 persen. Selanjutnya, dari sisi karakteristiknya, media cetak dinilai sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan masyarakat yang serba cepat. Distribusi media cetak terkendala faktor geografi, sementara internet meruntuhkan batas-batas tradisional itu.
Meyer mempernalkan ‘’the influence theory’’ atau teori pengaruh yang menyatakan bahwa koran adalah “berjualan pengaruh,” bukan berita atau informasi bisnis. Ia bergantung pada sebuah bisnis yang menghubungkan antara kualitas hasil jurnalistik yang akan meningkatkan meningkatkan pengaruh sosial, yang pada gilirannya mengatur sirkulasi dan profitabilitas.
Ada ilustrasi yang diceritakan Meyer mengenai kelompok media Knight Ridder yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat.
Pada 1986, kelompok media ini memenangkan 7 penghargaan Pulitzer yang menjadi simbol puncak prestasi junalistik Amerika. Dengan menyabet 7 kemenangan itu Knight Ridder melonjak reputasinya sebagai media yang berkualitas.
Akan tetapi, para eksekutif media itu terkejut karena bersamaan dengan itu harga saham kelompok media itu malah merosot tajam. Usut punya usut ternyata para pemegang saham malah khawatir jika media itu terlalu fokus pada kualitas akan menyedot banyak biaya dan menurunkan profit.
Itulah dilema yang dihadapi media cetak dan media digital secara simultan. Kehadiran media sosial akan menjadi ancaman paling serius. Media cetak sudah hampir pasti punah, dan nasib media digital pun ada di ujung tanduk. (*)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror