Meiliana Divonis 18 Bulan, Hendardi: Bentuk Peradilan Sesat

Kamis, 23 Agustus 2018 – 20:10 WIB
Ketua Setara Institute, Hendardi. FOTO: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan vonis satu tahun enam bulan atau 18 bulan penjara kepada Ibu Meiliana karena berpendapat tentang volume suara azan, merupakan bentuk peradilan sesat yang digelar di Pengadilan Negeri Medan. Menurutnya, pengadilan memaksakan diri memutus perkara yang tidak bisa dikualifikasi sebagai peristiwa hukum. Pengadilan bukan bekerja di atas mandat menegakkan keadilan sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, tetapi bekerja di bawah tekanan massa.

“Peradilan atas Meiliana adalah bentuk trial by the mob yang merusak integritas lembaga peradilan,” kata Hendardi dalam siaran persnya, Kamis (23/8). 

BACA JUGA: PSI Doakan Meiliana Terbebas dari Vonis Penistaan Agama

Hendardi menilai proses hukum atas Meiliana merupakan akumulasi penyimpangan kerja aparat penegak hukum dari mulai kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sekaligus menggambarkan lemahnya institusi peradilan atas tekanan massa kelompok intoleran. Kinerja ini pula menggambarkan bahwa intoleransi, cara pikir dan cara kerja diskriminatif melekat dalam institusi-institusi peradilan di Indonesia.

“Intoleransi bukan hanya tumbuh di tengah masyarakat tetapi juga merasuk ke banyak kepala aparat penegak hukum dan para penyelenggara negara,” ujarnya. 

BACA JUGA: Yakinlah, Mayoritas Ahoker Bisa Terima Duet Jokowi - Maruf

Lebih lanjut, dia mengatakan perkembangbiakan intoleransi di Tanah Air terjadi sejak 2004 saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin dan membiarkan aspirasi intoleransi itu hingga 10 tahun masa kepemimpinannya berakhir. Sementara, selama hampir 4 tahun masa kerja pemerintahan Joko Widodo juga nyaris tidak mengambil tindakan nyata mengatasi intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

“Alih-alih mengambil tindakan nyata menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan, Jokowi sebatas membubarkan organisasi semacam Hizbut Tahrir Indonesia, lebih karena alasan keberadaannya yang mengancam secara politik, tetapi tidak genuine untuk membela kebebasan beragama/berkeyakinan,” kata Hendardi. 

BACA JUGA: Pesan Politik Elektoral Tetap Terselip Dalam Pidato Jokowi

Dalam pengamatan SETARA Institute, menurut Hendardi, sedari hulu, proses hukum atas Meiliana berjalan di luar koridor rule of law dan fair trail. Proses hukum penodaan agama dalam perkara ini sejak awal dipicu oleh sentimen SARA atas dirinya.

Pegiat Hak Asasi Manusia ini mengatakan pasca-perusakan Vihara dan Klenteng oleh kerumunan massa (mob), dengan desakan ormas dan kelompok-kelompok intoleran, MUI Sumatera Utara mengeluarkan fatwa bahwa Meiliana melakukan penistaan agama. Serupa dengan pola kasus Ahok dan sebagian besar kasus penodaan agama, kombinasi tekanan massa, kelompok intoleran, dan fatwa MUI menjadi determinan bagi penetapannya sebagai tersangka oleh kepolisian, dan kemudian ditahan sejak Mei 2018.

Selama proses peradilan, persidangan selalu diwarnai tekanan psikologis terhadap hakim, jaksa, terdakwa serta penasehat hukumnya, dengan kehadiran anggota ormas seperti Front Umat Islam (FUI) dan kelompok-kelompok intoleran.   

BACA JUGA: Penyelesaian Kasus Meiliana Bisa Lewat Musyawarah Mufakat

Dalam konteks yang lebih makro, SETARA Institute menilai bahwa berbagai ketidakadilan dan ketidaktepatan penerapan hukum dalam kasus-kasus penodaan agama di Indonesia mengindikasikan bahwa reformasi hukum penodaan (blasphemy law) harus segera dilakukan. Sebagaimana amanat Mahkamah Konstitusi, revisi atas UU Nomor 1/PNPS/1945 harus segera dilakukan oleh pemerintah dan DPR dengan berorientasi pada pemberantasan ujaran kebencian (hate speech) serta pemidanaan hasutan (incitement) dan pidana kebencian (hate crime). 

Dalam waktu yang segera, menurut Hendardi, Komisi Yudisial bisa melakukan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan dan un professional conduct dari hakim-hakim yang menangani kasusi Meiliana. Sementara institusi penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan memastikan hal serupa tidak berulang dan menyusun panduan penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan bidang keagamaan, sehingga aparat di berbagai tingkatan memiliki panduan dalam bekerja.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Setara: Maruf Amin Aktor Kunci Fatwa Intoleran MUI


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler