Foto Mecca Laalaa Hadid terpampang di tengah ruangan National Archives of Australia di Canberra, ACT, Australia, tempat pameran bertajuk “Faith Fashion Fushion” digelar sejak akhir Mei 2016.

Dalam foto itu, dia berdiri di atas pasir dengan busana renang tertutup atau biasa disebut burkini berwarna merah dan kuning, sementara sejumlah laki-laki dan perempuan berdiri berjejer di belakangnya dengan kostum sewarna.

BACA JUGA: Pohon Berbunga, Jumlah Kelelawar Jadi Bertambah

Saat itu, bersama para remaja keturunan kulit putih, dan Timur Tengah, yang sebagian besar berprofesi sebagai penjaga pantai, Mecca sedang terlibat dalam kampanye “On The Same Wave” yang dilakukan sebagai respons atas kerusuhan di Cronulla pada tahun 2005.

Mecca dipilih sebagai profil perempuan Muslim yang diangkat dalam pameran yang digelar dari akhir Mei hingga awal September lalu itu karena sosoknya yang inspiratif, baik sebagai pejuang kemanusiaan maupun sebagai perempuan Muslim.

BACA JUGA: Pesan Anti Obesitas Picu Gangguan Makan pada Remaja di Australia

Dari keterangan yang terpampang di pameran itu, Mecca dikenal sebagai Health Promotion Officer di Live Life Well @ Schools dan proyek Munch and Move, bagian dari program NSW Healthy Children Initiative.

“Dikenal karena jiwa petualangannya, Mecca menjadi perempuan muslim pertama yang terlatih sebagai petugas penjaga pantai pada tahun 2006 dan dalam prosesnya terlibat membangun pemahaman antara komunitas setelah kerusuhan Cronulla pada tahun 2005,” demikian tertulis.

BACA JUGA: Gempa 6,3 SR Terjadi di Bawah Laut Pulau Macquarie

Foto dan profil Mecca Laalaa Hadid dalam pameran bertajuk “Faith Fashion Fushion”. (Foto: KOMPAS.com/Caroline Damanik)

Selama bertugas dan berkampanye, fotonya saat mengenakan burkini dimuat di berbagai media dan mencuri perhatian dunia. Di tengah profesinya yang biasanya didominasi para petugas dengan pakaian pantai ala bikini, dia menghidupi imannya dengan menggunakan pakaian renang yang santun.

Kurator Glynis Jones yang menggelar pameran ini mengatakan, burkini menjadi salah satu contoh kemajuan dalam tren busana Muslim, atau biasa disebut busana santun, yang sedang berkembang di Australia. Dari orang-orang seperti Mecca, Glynis lalu tertarik karena melihat bahwa ajaran agama berpengaruh pada aspek kehidupan perempuan Muslim, termasuk soal berbusana.

Dia lalu melihat dan mengenal banyak desainer yang mulai mendesain untuk para perempuan Muslim meski karya-karyanya belum mudah ditemukan di pusat perbelanjaan.

“Salah satu tren fesyen yang sedang berkembang pesat di Australia adalah tren busana santun. Saya mengenal banyak wanita Muslim di Australia tapi tidak banyak menemukan pakaian untuk mereka (perempuan Muslim) di toko. Jadi ini tempatnya bagi mereka,” ungkap Glynis.

Dia mengatakan, ketika mengumpulkan hasil karya para desainer itu, dirinya takjub karena cakupannya luas, mulai dari pakaian yang kasual, funky, gaun malam, hingga busana kerja. Glynis Jones, kurator pameran “Faith Fashion Fushion”. (Foto: KOMPAS.com/Caroline Damanik)

Glynis pun tersadar bahwa para desainer ini adalah potensi yang besar dan karya-karyanya bakal diterima oleh pasar dunia. Lagipula, menurut dia, dalam perkembangannya, tren busana santun tidak hanya menyasar perempuan Muslim, tetapi juga perempuan dari kepercayaan lain yang ingin leluasa bergerak di pantai atau kolam renang.

Meski cakupannya masih belum luas, lanjut Glynis, tetapi sudah ada kelompok desainer di Sydney dan Melbourne yang sukses menjalankan bisnis busana santun, terutama melalui online. Menurut dia, penjualan pada desainer ini meningkat dengan sukses pada beberapa tahun terakhir.

Selain itu, Glynis menilai, gayung pun bersambut. Pemerintah Australia menunjukkan dukungan kepada para desainer dan bisnis fesyen ini karena tidak hanya terkait dengan hitungan angka penjualan tetapi juga semangat toleransi di Australia.

"Saya pikir pemerintah Australia telah melihat pentingnya industri fesyen (busana santun) ini di Australia. Saya bisa melihatnya sebagai potensi karena ini menyasar pasar global. Pemerintah Australia telah mendukung sejumlah perancang busana Muslim untuk memamerkan karya mereka di luar negeri, seperti di Indonesia,” ungkapnya.

Selain Mecca, ada pula profil perempuan lain yang diangkat dalam pameran ini, seperti Susan Carland, dosen di Monash University, serta Amna Karra-Hassan dan Lael Kassem, pemain perempuan di klub profesional football di Australia.

Dalam pameran ini juga ditampilkan profil Delina Darusman-Gala. Delina dikenal sebagai fashion blogger Muslim pertama di Australia yang juga sukses menjalankan bisnis fesyen secara online. Pameran bertajuk “Faith Fashion Fushion” yang mengusung tren busana santun untuk perempuan Muslim di National Archives of Australia di Canberra, ACT, Australia, pada akhir Mei 2016. (Foto: KOMPAS.com/Caroline Damanik)

Dalam postingannya di media sosial, dia kerap memberikan inspirasi dan tips untuk memadumadankan busana dan aksesori tetapi tetap terlihat santun sebagai perempuan Muslim. Dari aktivitasnya itu, Delina berhasil membangun komunitas fesyen online untuk kalangan perempuan Muslim.

Berbagai profil perempuan Muslim di Australia dan busana santun karya para desainer yang dipajang di pameran ini meraih perhatian para pengunjung, termasuk para wisatawan asal Indonesia.

"Ini satu hal yang menurut saya luar biasa ya apalagi buat generasi-generasi di bawah saya lah ya yang mereka masih kelihatan takut ada rasialis mengenai jilbab (di Australia). Anak saya sempat takut. Tapi begitu dijelaskan di sini keberagaman agama di sini bagus, jadi enggak usah khawatir menggunakan jilbab dan ini harus terus digalakkan,” kata Nita Gilik, warga BSD.

Menurut Nita, seseorang yang berbusana santun bukan berarti tidak bisa modis. Dengan tetap berpegang pada aturan agama, padu padan bisa membuat perempuan muslim juga tampak modis.

“Jangan sampai membentuk terlalu ketat untuk remaja. Berpakaian Muslim masih bisa modis, bisa menampilkan yang beda, tetapi tetap sesuai dengan kaidah yang diajarkan,” tutupnya.

Sementara itu, Laura Anderson, Chairman of the Melbourne Fashion Festival, menambahkan bahwa budaya multikulural sangat memengaruhi tren fesyen di Australia belakangan ini, termasuk dari negara-negara Asia Tenggara dan Timur Tengah. Ini disebabkan makin tingginya permintaan konsumen yang memang membutuhkan busana-busana santun.

“Perpaduan fussion of culture, gaya hidup dan sejarah dituangkan dalam tekstil modern,” ungkapnya saat ditemui di Melbourne, awal Juni 2016.

Lihat Artikelnya di Australia Plus

BACA ARTIKEL LAINNYA... Berkelana Keliling Dunia Dengan Mencukur Bulu Alpaca

Berita Terkait