Advokat Peradi RBA TM Mangunsong:

DPR, Kemdagri dan Bawaslu Lawan Akal Sehat

Sabtu, 26 Mei 2018 – 11:43 WIB
Ketua Peradi RBA Cabang Jakarta Pusat, TM Mangunsong. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Cabang Jakarta Pusat, TM Mangunsong menilai Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melawan akal sehat karena menolak usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang mantan terpidana korupsi maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) di Pemilu 2019.

Peradi menganggap DPR, pemerintah dan Bawaslu tidak sensitif terhadap fakta bahwa korupsi telah menyengsarakan rakyat.

BACA JUGA: Tuntut Ganti Rugi, Heryanto Tanaka Somasi ke PT IPPT

“Kami dukung langkah KPU melarang eks koruptor nyaleg. Mereka yang mendukung caleg eks koruptor berarti melawan akal sehat," ungkap Ketua Peradi RBA Cabang Jakarta Pusat, TM Mangunsong dalam keterangan persnya diterima Sabtu (26/5/2018).

Korupsi, menurut TM Mangunsong, adalah extraordinary crime atau kejahatan luar biasa sehingga untuk memberantasnya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa pula.

BACA JUGA: Kompak, Dua Kubu Peradi Bentuk Dewan Kehormatan Bersama

“Usulan KPU yang melarang eks koruptor nyaleg adalah terobosan luar biasa, yang perlu diapresiasi, dan bagian dari melawan korupsi dengan cara luar biasa pula,” tegas TM Mangunsong, yang juga Managing Partner Law Firm TM Mangunsong & Partner.

Bahkan TM Mangunsong menyatakan bila perlu ada sanksi yang lebih tegas lagi kepada eks koruptor berupa pemiskinan dan saksi sosial lain yang membuat malu para koruptor tersebut, di samping mencabut hak politik mereka.

BACA JUGA: Sah, Peradi Angkat Sultan Yogya Jadi Anggota Kehormatan

Mangunsong menegaskan korupsi harus diperangi dengan segala cara, jangan malah diberi ruang kepada koruptor.

“Hal itu jelas tidak memberi edukasi yang baik bagi masyarakat untuk malu melakukan korupsi," tukasnya.

Oleh karena itu, Mangunsong sangat menyayangkan DPR, pemerintah dan Bawaslu yang tidak peka bahwa korupsi adalah musuh bersama atau common enemy, sehingga untuk melawannya pun harus melibatkan semua komponen bangsa, salah satunya KPU.

“Ini untuk menciptakan detterent effect (efek jera), jangan sampai mereka yang pernah korupsi diberi panggung lagi untuk kemungkinan melakukan korupsi lagi. Juga untuk menciptakan terapi kejut (shock teraphy) bagi calon koruptor lainnya, supaya terbayang bahwa jika melakukan korupsi maka ke depan tak bisa ikut pemilu lagi,” jelasnya.

DPR, pemerintah dan Bawaslu, menurut Mangunsong, tak perlu mempertanyakan dasar hukum pelarangan eks-koruptor nyaleg, karena dasar hukumnya ya Peraturan KPU itu sendiri, dan bila mau dasar hukum yang lebih tinggi lagi, ialah Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

“Berdasarkan UU Pemilu, pelarangan caleg bekas napi koruptor bisa dilakukan lewat PKPU,” jelasnya.

KPU mencantumkan larangan bagi eks-narapidana korupsi nyaleg, baik untuk DPR RI maupun DPRD dalam Pemilu 2019, dalam Rancangan PKPU tentang Kampanye, khususnya Pasal 8 ayat (1) huruf j.

"Dalam UU Pemilu, pasal yang mengatur syarat untuk nyaleg ‘kan salah satunya bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lalu, apa rinciannya? Tidak melakukan tindakan tercela. Apa rinciannya? Salah satunya ya tidak melakukan korupsi itu," lanjut dia.

“Masih banyak putra-putri bangsa yang patut jadi wakil rakyat, mengapa harus eks koruptor?" tambahnya.

Ia mengakui, Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu menyebutkan seorang caleg yang akan maju tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan merupakan mantan terpidana.

“Pasal ini ambigu dengan pasal lainnya, sehingga pasal yang memuat frasa ‘bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa’ harus dikedepankan, dan pasal yang memuat frasa ‘kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan merupakan mantan terpidana’ harus dikesampingkan. Ini kalau kita mau menjadikan korupsi sebagai musuh bersama, karena telah menyengsarakan rakyat,” paparnya.

Mangunsong pun mengutip data, sejak berlakunya era otonomi daerah tahun 2004 hingga kini, jumlah kepala daerah yang ditangkap karena korupsi lebih dari 365 orang, sedangkan jumlah anggota DPR RI dan DPRD yang terlibat korupsi lebih dari 3.600 orang.

“Tahun 2017 saja, kerugian negata akibat korupsi mencapai Rp 6,5 triliun,” cetusnya mengutip data Indonesia Corruption Watch (ICW).

Terlepas apakah pada akhirnya DPR, pemerintah dan Bawaslu menyetujui larangan eks-koruptor nyaleg atau menolak, baik Mangunsong menyarankan KPU tetap keukeuh pada keputusannya.

“Kalau mereka akan menggugat, silakan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi. Kami para advokat siap mendampingi KPU di MK,” tandas Mangunsong.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Peradi Perkuat Komitmen Bantu Warga Miskin Lewat Pro Bono


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler