Memahami Gagasan Pedro Arrupe Tentang Pendidikan Solidaritas

Oleh Odemus Bei Witono - Direktur Perkumpulan Strada, Pemerhati Pendidikan

Sabtu, 11 Maret 2023 – 06:00 WIB
Direktur Perkumpulan Strada sekaligus Pemerhati Pendidikan Odemus Bei Witono. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Berkaca pada pemikiran filosofis mazhab Frankfurt, seperti Horkheimer (1895-1973), Marcuse (1898-1979), dan Adorno (1903-1969) yang memberikan sinyal ancaman modernisme melalui paradigma kerja, relasi subjek-objek yang membuat manusia teralienasi dengan diri sendiri.

Sekolah dalam bingkai modernisme, ibarat pabrik pencetak manusia terampil sesuai kebutuhan industri atau permintaan pasar.

BACA JUGA: Signifikansi Manajemen Pendidikan

Mengerikan sekali kalau orang bersekolah hanya diformat demi menghasilkan produk unggul yang secara sistemik dapat mengubah perilaku peserta didik menjadi hebat tetapi kehilangan nurani dalam solidaritas terhadap sesama.

Dalam hubungan subjek-objek, murid diperlakukan seperti kertas kosong yang diisi pengetahuan sesuai pesanan pasar.

BACA JUGA: Masyarakat Plural Sebuah Kenyataan

Semua mata ajar diarahkan pada peningkatan kecerdasan murid semata. Mereka diajar supaya dapat masuk universitas bergengsi atau langsung bekerja, dengan alasan kinerja, produktivitas, dan profit meningkat.

Dimensi personalia diubah menjadi sumber daya manusia, bahkan dianggap kapital atau modal usaha. Tidak heran perdagangan manusia dengan gaya baru menjamur di mana-mana. Sepintas kelihatan manusiawi, tetapi sebaliknya justru terjadi penindasan.

BACA JUGA: Begini Cara Kemendikbudristek Dorong Optimalisasi Teknologi Pendidikan

Dalam iklim yang dipengaruhi modernisme, orang dewasa yang bekerja diperlakukan seperti barang dikalkulasi; diberi nomor induk dan diawasi kinerja mereka secara ketat. Jika tidak menghasilkan produk baik, dan berkualitas bagi perusahaan atau organisasi terancam dipecat dari pekerjaan.

Persoalan modernisme, dehumanisasi, dan kehancuran martabat manusia sebagai person yang layak diperhitungkan perlu diatasi, dan dibuatkan sistem pendidikan yang lebih humanis religius.

Salah satu tokoh penggerak pembaharuan pendidikan, adalah Pedro Arrupe (+1991). Mungkin banyak orang awam yang masih asing dengan nama tokoh pembaharu tersebut.

Arrupe adalah seorang Jesuit Spanyol kelahiran Bilbao, 14 November 1907. Setelah melalui proses formasi panjang, Arrupe diutus sebagai pendamping para Novis Jesuit di Hiroshima Jepang.

Tanggal 6 Agustus 1945, ketika bom atom diledakkan, Arrupe berada di sana dalam suasana mencekam. Hatinya menjerit sedih, dan memberontak. Rasa empati begitu kuat dirasakan.

Dia bersama rekan-rekan awam, dan Jesuit tergerak menolong korban yang menderita di sana. Ada 150 korban yang ditolong, dan diselamatkan.

Pengalaman Arrupe tentang penderitaan bukanlah pengalaman tunggal. Pengalaman yang potensial dialami juga oleh banyak orang. Pelajaran yang dipetik Arrupe dari penderitaan mirip perspektif dua orang teolog, Sobrino dan Hauerwas (dalam Menkhaus (2013).

Kedua teolog tersebut menawarkan cara untuk mengartikulasikan pengalaman penderitaan Arrupe ke dalam penerapan konkrit, yaitu melalui jalan solidaritas. Penderitaan yang direfleksikan menjadi dasar cara bertindak menjadi peduli, dan solider terhadap sesama yang menderita.

Arrupe -- yang dipengaruhi jalan solidaritas --, dalam perjalanan waktu menjadi provinsial Serikat Jesus, Provinsi Jepang pada tahun 1959, dan akhirnya terpilih sebagai pimpinan umum, dalam Kongregasi Jenderal (KJ) ke-31, 1965.

Arrupe yang sejak muda dekat dengan aneka penderitaan, setelah menjadi pimpinan umum, tetap memperhatikan dimensi solidaritas dalam kerasulan Jesuit.

Dalam refleksi, Arrupe tergerak untuk berempati peduli terhadap sesama, teristimewa yang menderita, termarjinalkan, dan tertindas.

Pandangan Arrupe tentang pendidikan tidak terlalu banyak, sedikit saja tetapi sangat berbobot.

Dia dipengaruhi pandangan Loyola mengenai esensi pendidikan. Dalam Otobiografi, Ignatius (ed. Ganss, 1991) berpendapat bahwa Tuhan memperlakukan dirinya seperti seorang guru terhadap murid.

Dengan demikian peran pendidik sangat penting dalam membimbing generasi muda menjadi pribadi cerdas, peduli, bertanggung jawab, dan berjiwa melayani seperti yang dihendaki Allah.

Arrupe di hadapan alumni kolese/sekolah Jesuit, pada tanggal 31 Juli 1973 mengatakan dalam sebuah pidato, “Manusia bagi sesama” yang oleh Kolvenbach disempurnakan menjadi “Manusia bagi dan bersama sesama”.

Banyak yang memuji pidato ini sebagai titik dasar untuk pergeseran pendidikan Jesuit ke fokus yang lebih besar, yaitu pada pendidikan iman, dan keadilan.

Pendidikan yang memperhatikan dimensi manusia bagi dan bersama sesama merupakan bentuk perlawanan terhadap proses dehumanisasi yang makin menguat di banyak lini kehidupan modern, dan kontemporer.

Arrupe dalam banyak kesempatan resmi, menyuarakan pentingnya solidaritas dan keadilan. Orang perlu belajar solidaritas melalui penderitaan, penyesuaian budaya dan doa syukur yang mendasarkan hidup manusia pada keyakinan ilahi.

Sindhunata (2022) menegaskan, bahwa gagasan Arrupe penting dan mendesak untuk diperkenalkan. Semangat solidaritas -- dalam bentuk compassion kepada sesama yang menderita –perlu disosialisasikan di sekolah tempat para murid belajar.

Arrupe, pada waktu itu mendorong kolese/sekolah Jesuit di seluruh dunia untuk meningkatkan upaya mengembangkan dan meningkatkan kualitas solidaritas manusia bagi dan bersama sesama. Istilah compassion, men and women for and with others kemudian menjadi karakteristik kolese yang dipahami, dihayati, dan dihidupi.

Sebagai catatan akhir, warisan Arrupe yang menonjol terkait gagasan solidaritas manusia bagi dan bersama sesama; berkomitmen pada martabat manusia, dan kebaikan bersama. Arrupe mendorong adanya kolaborasi dalam bentuk integrasi Jesuit dan rekan awam ke dalam karya misi pelayanan iman dan promosi keadilan.

Arrupe memahami tanda-tanda zaman. Para penerus gagasan Arrupe dapat mengembangkan dimensi solidaritas terhadap sesama.

Dalam analisis Menkhaus (2013) tantangan menerapkan solidaritas ke dalam pendidikan Jesuit tidak berakhir di Arrupe, tetapi diserahkan kepada para penerus selanjutnya.

Solidaritas yang ditawarkan Arrupe merupakan sendi pendidikan yang mengubah profil lulusan dehumanis menjadi humanis religius, dan peka terhadap kebutuhan sesama yang menderita, termarjinalkan, dan tertindas.

Semoga sekolah-sekolah di Indonesia mampu mengembangkan semangat solidaritas yang adil, dan beradab bagi sesama.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler