jpnn.com, JAKARTA - Presiden RI Joko Widodo berkali-kali mengingatkan atau berpesan pada kalangan penyelenggara Pendidikan untuk memperhatikan Pendidikan Vokasi, yakni Pendidikan yang mengajarkan pada subjek didik tentang keahlian (kemahiran) terapan.
Pesan Presiden tentang Pendidikan Vokasi itu berkaitan dengan kondisi kualitas sumber daya manusia Indonesia yang membutuhkan perhatian khusus, karena secara umum SDM bangsa ini belum banyak yang punya keahlian terapan. Padahal keahlian inilah yang dibutuhkan untuk menjawab “kompetisi kompetensi” di era global ini.
BACA JUGA: Pemerintah Didorong Membangun Sekolah Vokasi di Natuna
Presiden punya idealitas tinggi dengan memercayakan dunia Pendidikan Vokasi sebagai bagian penting dalam mengantarkan bangsa ini mencapai kemajuan atau tidak kalah dengan sumberdaya manusia dari bangsa-bangsa lain di muka bumi ini.
Amanat pada dunia Pendidikan itu di antaranya bisa terwujud jika kalangan penyelenggara Pendidikan memahami atau menyadari bahwa setiap subjek didik mempunyai hak untuk dibentuk atau menerima transformasi keahlian terapan.
BACA JUGA: Menristekdikti: Pendidikan Vokasi Tertinggal karena Masyarakat Fokus Gelar
Keahlian terapan itu sudah digariskan dalam Pasal 3 UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ketentuan dalam UU Pendidikan itu jelas, bahwa salah satu fungsi setiap penyelenggaraan Pendidikan adalah “mengembangkan kemampuan”. Keahlian terapan merupakan wujud kemampuan yang bisa dimiliki atau dikuasai oleh setiap subjek didik. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan dengan benar akan menentukan berhasil tidaknya penguasaan keahlian terapan.
BACA JUGA: Menristekdikti Jagokan Lulusan Vokasi Ketimbang Pendidikan Akademi
Penyelenggaraan yang benar itu di antaranya adanya dukungan ketersediaan Institusi atau Lembaga Pendidikan yang menjembataninya. Ketersediaan ini juga akan menjadi bukti bahwa hak Pendidikan subjek (anak) didik bisa terwadahi.
Saat Lembaga Pendidikan yang mengkhususkan misinya pada pembentukan keahlian terapan tersedia, maka ini hal ini menunjukkan bahwa impian menjadi bangsa yang mempunyai SDM unggul tidaklah sia-sia.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang didirikan oleh pemerintah, yang jumlahnya sekarang sangat banyak (sebanding dengan sekolah umum seperti SMA/MA) setidaknya menandakan keseriusan pemerintah untuk memberikan basis keilmuan terapan pada subjek didik, sehingga jika nantinya meneruskan ke jenjang lebih tinggi tetap berlanjut sebagai bukti “progresifitas” keahlian terapannya.
Jenjang lanjutan dari SMK untuk sampai ke ranah “progresifitas” keahlian terapan dalam bentuk Pendidikan lanjutan diantaranya adalah jalur Politeknik, karena Politeknik ini mengajarkan atau membentuk subjek didik menjadi SDM unggul (berkompetensi) atau yang berkemahiran terapan.
Sayangnya, di jalur Politeknik itu, ketersediaan Lembaga Pendidikannya belum/tidak memadai dan masih banyaknya penyelenggara Pendidikan Politeknik sendiri yang “belum serius” mengembangkan secara kuantitas (daya tampung) maupun dalam menciptakan (membentuk) keragaman spesifikasi keahlian yang sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan bangsa di era globalisasi ini.
Dengan kondisi SDM dari subjek didik yang belum terwadahi oleh Lembaga Pendidikan berbasis kemahiran terapan seperti Politeknik. Maka hal ini dapat dikategorikan sebagai kurang memperhatikan hak Pendidikan masyarakat, dan bentuk ketidaksiapan atau ketidakseriusan dalam menyiapkan SDM yang unggul secara kualitas dan banyak secara kuantitas.
Dalam konstitusi kita (baca: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) di antaranya sudah disebutkan, bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Dalam pasal 28 C UUD 45 misalnya disebutkan:" setiap orang berhak mengembangkan diri melalui kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”.
Kosa kata "setiap" secara hermeneutik menunjukkan pada pemaknaan non-diskriminasi, baik atas nama gender, etnis, budaya, agama, politik, maupun strata sosial-ekonomi. Dalam idealitas ini, hak egalitarianisme dalam kesempatan memperoleh pendidikan menjadi milik setiap warga masyarakat dari level apapun. Secara konstitusionalitas ini, setiap subyek didik mempunyai hak Pendidikan untuk melanjutkan atau mengembangkan Pendidikannya, di antaranya melalui jalur Politeknik.
Ketentuan yang direpresentasi lewat kata “setiap” dalam konstitusi tersebut sejalan dengan norma yuridis lain yang digariskan dalam pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Kata “demokratis dan berkeadilan” dalam ranah yuridis (UU Sisdiknas) tersebut, ditafsirkan oleh Minhanul Arifin (2011) sebagai prinsip penyelenggaraan Pendidikan atau pembelajaran berbasis egaliterisasi (kesamaan derajat/hak) dan kemanusiaan, yang menempatkan “setiap” anak bangsa mempunyai hak yang sama dan berkeadaban untuk menikmati Pendidikan, khususnya yang sejalan (sejalur) dengan pengembangan bakat atau keahlian terapan.
Hal itu menunjukkan, bahwa penyelenggaraan Pendidikan tinggi (Politeknik) menjadi hak setiap subjek didik yang sudah menyelesaikan pendidikannya di tingkat kejuruan, sehingga hal ini membutuhkan perhatian serius.
Memperbanyak pengadaan penyelenggaraan Politeknik dan peningkatan daya tampung (bagi Politeknik yang sudah berdiri) merupakan bagian dari realisasi membaca (memaknai) Pesan Presiden yang meminta keseriusan dalam memperhatikan Pendidikan Vokasi.
Tanpa ada perhatian atau “keberanian” melakukan sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan hak subjek didik dan jawaban terhadap “kompetisi kompetensi” di era global ini, maka jangan berharap bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju dan mencapai zaman keemasan (golden era).
Kejeniusan terdiri atas satu persen inspirasi dan sembilan puluh sembilan persen kerja keras”, demikian pernyataan Thomas Edison, yang menempatkan kejeniusan bukan hanya di tataran kecemerlangan inspirasi atau keluarnya ide-ide besar, tetapi terletak pada aktifitas yang dilakukan manusia, dalam hal ini kalangan penyelenggara Pendidikan yang berkomitmen dan berkinerja serius terhadap terwujudnya hak-hak subjek didik, di antaranya hak mengembangkan bakat atau keahlian terapan.
Penulis adalah Dosen Polteknik Negeri Malang menjadi :
1. Direktur Politeknik Negeri Malang 2009-2017.
2. Ketua Senat Politeknik Negeri Malang 2018 – 2022.
3. Wakil Direktur PEDP Kemendikbud 2018 – Sekarang.
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh