jpnn.com - KETELADANAN masih menjadi persoalan serius bangsa ini. Figur yang dulu kita harapkan sebagai tonggak pembangun prinsip-prinsip keteladanan perlahan mulai kehilangan pamornya. Itu karena sebagian dari mereka sudah bergeser pada garis yang semestinya. Ayah yang dulu kita harapkan sebagai figur teladan di dalam rumah tangga, beberapa diantaranya malah menjadi masalah.
Kita kerap disuguhkan berita tentang seorang ayah yang menghamili anak kandungnya sendiri. Ibu yang dengan kelembutannya diharap bisa melahirkan generasi penebar cinta kepada sesama, justru tak sedikit yang meruntuhkan sendi-sendi cinta itu sendiri.
BACA JUGA: Waktunya Lebih Dekat dengan Alquran
Tak hanya di rumah, di sekolah yang sejatinya menjadi perangkat mesin pencetak generasi emas, malah kita menjumpai guru yang merampas masa depan muridnya. Seakan tak mau kalah tenar, pemimpin dan pejabat publik yang seharusnya menjadi pengayom dan pembimbing masyarakat, malah disibukkan dengan kasus demoralisasi yang tak kunjung henti. Lantas kepada siapa lagi mahkota keteladanan itu kita berikan saat ini?
Berbicara tentang keteladanaan, Allah SWT sebenarnya sudah memberikan cermin besar kehidupan kepada kita lewat Rasul dan kekasih-Nya. Penegasan itu pun telah Dia firmankan dalam surat Al-Ahzab ayat 21. "Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan datangnya hari kiamat dan yang lebih banyak mengingat Allah."
BACA JUGA: Manfaatkan Kekuatan Doa di Bulan Pengampunan
Ya, memang pada akhirnya kita harus kembali kepada yang ada dalam perangkat agama kita. Salah satunya melalui kepribadian Rasulullah SAW. Karena memang apa yang kita harapkan saat ini sebagai jembatan keteladan Rasulullah SAW tidak bisa lagi menyimpan harapan.
Jadi pilihannya saat ini hanya satu yaitu langsung belajar kepada sumber keteladanan itu sendiri. Apalagi, dari jauh-jauh hari sebelum persoalan krisis keteladanan melanda, firman Allah SWT telah lama berbicara kepada kita bahwa Rasulullah SAW lah menjadi kita tempat bercermin. Dalam segala hal.
BACA JUGA: Ramadan Menuntut Kita untuk Peka Terhadap Lingkungan
Dari persoalan kecil hingga tema-tema besar yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan. Diriwayatkan dari Al-Aswad bin Yazid ia berkata: "Aku pernah bertanya kepada Aisyah ra: "Apakah yang biasa dilakukan Rasulullah SAW di rumah? Aisyah ra menjawab: "Beliau biasa membantu keluarga, apabila mendengar seruan azan, beliau segera keluar (untuk menunaikan shalat berjamaah di masjid)," Hadits Riwayat Imam Muslim.
Mencontoh Rasulullah SAW tidak harus untuk urusan-urusan serius dan persoalan besar saja. Tapi urusan terkecil pun menjadi tema yang tidak boleh kita kesampingan. Mulai dari cara Rasulullah SAW bergaul dengan anak kecil, hingga cara memperlakukan orang yang lanjut usia. Jika kita ingin melihat cara Rasulullah SAW mencetak pemimpin kelas dunia, maka ada wajah-wajah hebat sekelas Umar bin Khattab dan Usman bin Affan.
Mereka adalah bukti kongkret dari hasil keteladanan Rasulullah SAW. Bahkan, jika kita ingin menyaksikan bagaimana keteladan Rasulullah SAW menjelma pada anak-anak muda, maka contoh nyata adalah Mush'ab bin Umar. Pemuda Quraisy yang terkenal kaya dan tampan tiba-tiba menjadi pengikut setia ajaran Allah SWT. Semua itu terpotret dengan jelas dalam sirah nabawiyah.
Persoalannya sekarang adalah, sejauh mana pengetahuan kita tentang Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya yang mulia itu? Sudah sejauh mana pemahaman kita tentang biografi Rasulullah SAW bersama para sahabatnya? Pasti masih minim.
Karena kita memang lebih bersemangat belajar tentang tokoh dan idola lain di luar nama Muhammad bin Abdulullah. Lantas bagaimana mungkin kita bisa bercermin pada sosok Rasulullah SAW dan sahabatnya jika kita sendiri tidak tahu dengan sepak terjang mereka. Oleh karenanya syarat utamanya adalah membaca dan belajar tentang mereka.
Bulan ramadan seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk kita menggali ilmu dari sumber keteladanan itu. Menuntut diri kita sendiri untuk lebih melek lagi dengan ajaran yang kita anut.
Selain karena di dalam ramadan banyak pengajian-pengajian agama yang membahas tentang kepribadian Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Juga karena di dalam bulan ramadan biasanya semangat relegius kita meningkat dari sebelumnya. Oleh karena itu, mumpung kadar semangat itu meninggi kita harus memanfaatkannya dengan semaksimal mungkin.
Usai sholat dan baca Alquran, misalnya, kita sempatnya waktu minimal sepuluh menit untuk membaca siroh dan sejarah Rasulullah SAW. Apalagi, saat ini sudah semakin banyak buku-buku yang bercerita tentang sejarah dan jejak Rasulullah SAW. Bahkan, untuk anak-anak pun sudah tersedia komik yang bercerita tentang kehidupan Rasulullah SAW.
Sangat tidak sulit ketika kita memang punya semangat yang besar untuk mengenal lebih dekat dengan Rasulullah SAW. Dengan demikian, obat dari krisis keteladanan itu bisa terurai dengan cepat dan tentu dengan hasil yang menjanjikan. Ketika ini bisa kita maksimalkan, maka ramadan ini benar-benar berhasil mencetak kita menjadi manusia yang sesungguhnya.
Hati kita tidak hanya dipenuhi dengan keimanan lewat ibadah-ibadah ritual ramadan, tapi juga disesaki dengan ilmu tentang Rasulullah SAW.
Kita mesti ingat bahwa tujuan akhir dari bulan ramadan itu adalah laallakum tattaqun (agar manusia takwa). Ketika kita berbicara tentang takwa, maka bukan hanya soal hubungan kita dengan Tuhan, tapi juga soal hubungan dengan keluarga dan sesama. Oleh karenanya keteladanan menjadi harga mati yang harus didalami dan tuntaskan di ramadan ini. Apalagi, Allah SWT selalu menyelipkan rahmat-Nya jika kita memburu kebaikan di bulan ini.
Kita berharap saat 1 Syawal nanti menjadi manusia-manusia fitrah. Kekurangan kita sebelumnya dalam membangun fondasi keteladan terselesaikan dengan hasil membanggakan. Semakin banyak manusia yang berikhtiar meniru Rasulullah SAW, maka aroma keteladanan akan semakin semerbak di bumi Indonesia ini. (adv/*)
Oleh:
Adhyaksa Dault
Ketua Kwartir Nasional Pramuka
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menjadi Anak Didik Ramadhan yang Sukses
Redaktur : Tim Redaksi