Membangun Peradaban Cinta Lingkungan

Oleh: Fransiscus Go, Pemerhati Pendidikan & Ketenagakerjaan

Rabu, 24 April 2024 – 15:10 WIB
Pemerhati Pendidikan & Ketenagakerjaan Fransiscus Go. Foto: dok pribadi for JPNN.com

jpnn.com - BAHWA sesungguhnya kita adalah satu kesatuan. Kita satu dan tidak (bisa) terpisahkan dari alam semesta. Udara yang dihirup dan asupan yang dimakan berasal dari alam.

Tubuh kita pun sungguh organik dan alami sifatnya. Jika alam rusak, kita juga rusak, demikian pula sebaliknya. Kita satu dengan alam.

BACA JUGA: Peran Generasi Muda dalam Mengatasi Krisis Pangan

Masalah iklim dan alam muncul karena aksi manusia yang kurang ekologis. Kesadaran akan kebersihan masih jauh dari dan perilaku mencemarkan masih bercokol dalam hidup bangsa kita.

Orang membuang sampah sembarangan, menggunduli hutan, menciptakan udara, darat dan laut yang tercemar. Alam yang rusak menunjukkan mental manusia yang juga rusak. Ada hal yang harus diubah dan diperbaiki.

BACA JUGA: Membangun Pendidikan Indonesia dari Timur

Krisis pangan merupakan hasil dari dua krisis, yaitu krisis alam dan krisis manusia sendiri. Alam selalu punya cara untuk menyeimbangkan dirinya (detoks), sementara manusia selalu mencari alasan sebagai pembenaran situasinya.

Manusia mengalami krisis ketika sudah jauh dari alam dan tidak menghargai alam. Ini perihal pola pikir dan pola hidup.

BACA JUGA: Mengentaskan Kemiskinan Melalui Pendidikan

Fenomena alam menunjukkan bagaimana alam bereaksi atas perlakuan manusia. Maka tanda-tanda alam adalah tanda-tanda tentang manusia juga. Alam bersahabat berarti manusia juga bersahabat, alam marah berarti manusianya serakah.

Keterkaitan ini penting sebab tidak ada seorang pun ingin merusak dan melukai dirinya sendiri. Hanya manusia kerap “bunuh diri” dengan melukai alam semesta.

Konsepnya ialah bahwa alam itu diri kita, dalam skala yang lebih luas. Menghargai dan menghormati alam berarti menghargai dan menghormati diri sendiri. Konsepsi ini adalah dasar berpijak untuk berperilaku ekologis.

Seruannya jelas, “kasihilah alam seperti mengasihi diri sendiri”. Ini akan mendatangkan kebiasaan yang baik dalam kehidupan. Baru berikutnya langkah-langkah konkret bisa dilakukan, yaitu menjaga kebersihan dan keasrian lingkungan dari skala terkecil rumah tangga hingga ke skala yang lebih luas. Namun pertama dan utama, terpenting, ialah mindset/pola pikir ekologis di atas.

Mengelola alam adalah panggilan manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa mengolah alam. Tetapi sistem dan cara pengolahan bagaimana menjadi penting.

Manusia mengolah alam tidak sungguh-sungguh, artinya belum serius dan belum ekologis. Potret kemiskinan di daerah Indonesia, utamanya wilayah timur merupakan hasil tata kelola alam yang belum optimal.

Masih banyak lahan kosong yang dibiarkan tidur, tidak ditanami dan tidak dikelola untuk kesejahteraan. Pemerintah berupaya membuat food estate agar lahan yang luas dan tidur tersebut bisa menghasilkan.

Menghasilkan nilai ekomonis tidak berarti tidak ekologis, melainkan mentalitas dan praksis di lapangan. Bagaimana menggapai kesejahteraan tanpa merusak alam? Modal awal ialah membangun peradaban cinta lingkungan hidup. ***

Penulis: Fransiscus Go
Pemerhati Pendidikan & Ketenagakerjaan


Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler