jpnn.com, JAKARTA - Keputusan Presiden Joko Widodo menurunkan tarif tol untuk transportasi logistik sebesar 20-30 persen dinilai sangat tepat.
Menuurt founder Indosterling Capital William Henley, tingginya tarif tol menjadi salah satu komponen yang memberatkan beban operasional perusahaan, tidak terkecuali para pengemudi kendaraan angkutan barang.
BACA JUGA: Warga Kota Bekasi Protes Rencana BPTJ
Pertanyaannya, seberapa efektif penurunan tarif tol bagi ongkos logistik di tanah air secara keseluruhan?
William berkaca pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
BACA JUGA: Jokowi Minta Tarif Tol Angkutan Logistik Segera Diturunkan
Dalam UU itu, tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.
Tol juga memiliki arti sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol.
BACA JUGA: Membedah Potensi Untung dan Rugi dari Pelemahan Rupiah
Masih menurut UU Nomor 38 Tahun 2004, sambung William, tol memiliki sejumlah tujuan dan manfaat. Terkait dengan logistik, tol bertujuan meningkatkan pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, dari sisi manfaat, mobilitas dan aksesibilitas orang maupun barang menjadi lebih baik.
“Pengguna tol juga akan mendapatkan keuntungan berupa penghematan biaya operasi kendaraan (BOK) dan waktu dibanding apabila melewati jalan yang bukan tol,” kata William, Senin (2/4).
Dia menambahkan, studi yang dilakukan berbagai kalangan juga menunjukkan bahwa tol merupakan bagian penting dalam infrastruktur logistik sebuah negara.
Akan tetapi, studi yang dilakukan The Institute of Southeast Asian Studies Singapura dan dirilis Oktober 2016 menunjukkan kenyataan pahit.
Kualitas infrastruktur jalan, termasuk tol, di Indonesia hanya berada pada skala empat dari 1-7.
“Itu artinya kualitas infrastruktur jalan masih jauh dari kata ekstensif dan efisien. Akibatnya, ongkos logistik di dalam negeri pun terpengaruh,” imbuh William.
Dia menambahkan, riset Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia yang dirilis pada tahun lalu menunjukkan ongkos logistik Indonesia mencapai 23,5 persen.
Nilai ini masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand yang sebesar 13,2 persen, Malaysia (13 persen), dan Singapura (8,1 persen).
Karena itu, penurunan tarif tol untuk transportasi logistik pun disambut baik sejumlah kalangan.
“Namun, langkah tersebut tak akan berdampak signifikan terhadap turunnya ongkos logistik. Mengapa? Banyak faktor yang bisa ditunjuk,” ujar William.
Salah satunya dari sisi efektivitas jalan tol terhadap ongkos logistik semakin berkurang. Bukan semata-mata karena tarif yang mahal.
Indikator lain dapat dilihat dari tingkat kemacetan yang semakin parah. Misalnya di ruas jalan tol yang menghubungkan Jakarta-Cikampek.
Badan Pengatur Jalan Tol mencatat V/C Ratio (rasio volume kendaraan yang masuk berbanding kapasitas jalan yang tersedia) sudah berada di angka satu. Sementara itu, BPJT menyebut angka ideal V/C Ratio, yaitu 0,8, agar kecepatan kendaraan sesuai standar pelayanan minimal.
“Ini patut disayangkan. Apalagi, jalan tol Jakarta-Cikampek merupakan urat nadi utama perekonomian Indonesia. Jika melihat data volume kendaraan 2015, rata-rata perjalanan kendaraan dari dan menuju Jakarta melalui tol tersebut sekitar 590 ribu kendaraan per hari,” kata William.
Berbagai rekayasa yang dilakukan oleh aparat lintas gabungan dari Kementerian Perhubungan maupun Polri, termasuk sistem ganjil-genap, perlahan mulai berdampak positif.
Akan tetapi, diperlukan rekayasa-rekayasa dalam bentuk lain sehingga penurunan kemacetan menjadi lebih terasa.
Kemacetan yang semakin parah tentu membuat mobilitas angkutan semakin terbatas.
Dalam kondisi lancar, sebuah kendaraan bisa melayani pengangkutan barang sebanyak tiga atau empat kali, misalnya.
Kemacetan membuat jumlah perjalanan berkurang hingga hanya dua atau bahkan satu kali. Sangat merugikan.
“Efektivitas penurunan tarif tol untuk transportasi logistik juga berpotensi terasa hambar mengingat masalah klasik dalam sektor ini. Ya, pungutan liar alias pungli. Seolah sudah menjadi kebiasaan uang terima kasih atau uang dalam bentuk apapun harus disiapkan pengemudi angkutan barang,” kata William.
Tanpa uang pelicin, sambung William, perjalanan pun dipersulit. Ujung-ujungnya, barang yang hendak diantarkan pun terlambat tiba.
Maka, mau tidak mau, dana lebih harus disiapkan pengusaha transportasi logistik. Mereka tentu tidak ingin mengambil risiko yang bisa berpengaruh kepada keberlanjutan bisnisnya.
Asosiasi Perusahaan Jasa Ekspres Indonesia mencatat ongkos logistik mencakup 24 persen dari biaya barang.
Namun, biaya ini jadi lebih tinggi karena perilaku oknum-oknum di lapangan yang membebani ongkos pengiriman.
Asosiasi juga mengklaim pungli membuat pengiriman barang dari Tiongkok ke Jakarta lebih murah dari pada dari ibu kota ke Padang.
Dalam menyelesaikan permasalahan pungli, Presiden Joko Widodo sudah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Pungutan Liar atau Saber Pungli pada Oktober 2016.
Sebagai ketua adalah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto. Polri menjadi ujung tombak dari Saber Pungli.
Dari data statistik, selama setahun saja, Polri sudah melakukan 1.075 operasi tangkap tangan dari skala kecil hingga skala besar.
Jika didetailkan, sebagian besar sudah dilimpahkan ke kejaksaan untuk kemudian diproses di pengadilan. Vonis demi vonis kepada pelaku pun sudah dijatuhkan.
“Namun, kerja-kerja Saber Pungli seolah tak berarti selama pungli sudah mendarah daging. Diperlukan upaya yang lebih tegas kepada oknum pelaku pungli. Sanksi pemecatan hingga tuntutan hukuman dengan masa hukuman yang lama bisa jadi pertimbangan,” jelas William.
Dia menuturkan, ikhtiar pemerintah untuk mendongkrak kinerja sektor logistik, termasuk dengan menurunkan tarif tol, patut diapresiasi.
Namun, semua ini tak akan bermakna apa-apa selama tidak diikuti langkah-langkah lain.
Pemberantasan pungli harus jadi fokus utama ke depan. Kinerja Saber Pungli harus semakin ditingkatkan. Jangan hanya semangat di awal.
“Apabila semua sesuai rencana, maka diharapkan ongkos logistik di tanah air terus turun. Efek selanjutnya adalah investasi bisa mengalir deras ke dalam negeri di tengah situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian. Peningkatan investasi tentu dapat membuat kinerja perekonomian Indonesia semakin lebih baik,” tegas William. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gubernur Baru BI Harus Lebih Berpihak pada UMKM
Redaktur & Reporter : Ragil