jpnn.com, JAKARTA - Perekonomian Indonesia mengalami guncangan seiring pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat atau USD sejak pekan pertama Februari 2018.
Berdasar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, rupiah berada di level Rp 13.602 pada awal Februari lalu.
BACA JUGA: Kecewa Berat, Jokowi: Maret Ini Akan Saya Ubrak-Abrik
Itu merupakan nilai terendah rupiah sejak Juni 2016. Setelah itu, rupiah terus melemah.
Titik terlemah tercatat pada 1 Maret 2018, yaitu Rp 13.793 per USD.
BACA JUGA: Pariwisata Bisa Memperkuat Rupiah Secara Permanen
Jika disimak dari berbagai analisis, faktor utama pendorong pelemahan rupiah tidak dapat dilepaskan dari situasi di AS.
Pernyataan Gubernur Baru Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome H. Powell amat dinantikan pelaku pasar.
BACA JUGA: UKM Didorong Berani Tembus Pasar Mancanegara
Pada penampilan debutnya di hadapan publik dalam pertemuan dengan The House Financial Services Committee, Kongres AS, 27 Februari 2018, Powell menyatakan ekonomi negara semakin membaik.
Oleh karena itu, The Fed membuka kemungkinan menaikkan suku bunga acuan (The Fed Funds Rate/FFR) lebih cepat dari perkiraan awal.
Tujuannya adalah menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan potensi "ekonomi yang terlalu panas" (overheating).
Sebab, kebijakan fiskal menjadi stimulan melalui pemangkasan tarif pajak dan peningkatan belanja negara.
Dua hari kemudian, tepatnya 1 Maret 2018, Powell menyampaikan The Fed belum ada bukti menunjukkan AS mengalami overheating.
“Pernyataan-pernyataan Powell membuat pasar keuangan menebak-nebak. Apakah The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak lebih dari tiga kali demi mengatasi overheating ekonomi AS? Atau penaikan hanya tiga kali seperti perkiraan semula? Semua baru akan diputuskan dalam Federal Open Market Committe (FOMC) pada 20-21 Maret waktu AS,” kata Founder Indosterling Capital William Henley, Senin (12/3).
Dia menambahkan, pada era globalisasi, perekonomian antarnegara semakin terkoneksi satu sama lain.
Kemajuan teknologi, tidak terkecuali teknologi informasi, membuat perubahan sekecil apa pun di sebuah negara bisa berdampak besar.
Hal ini termasuk situasi di AS yang juga memengaruhi kondisi di Indonesia. Nilai USD yang begitu kuat telah terlihat pada pelemahan nilai rupiah.
Menurut William, banyak dampak yang telah dan akan dirasakan seiring melemahnya rupiah.
“Mulai aliran modal asing yang hengkang dari Indonesia, pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah dan perusahaan semakin besar, serta kenaikan harga bahan bakar minyak nonsubsidi yang sudah dieksekusi PT Pertamina (Persero),” tambah William.
Dengan semakin situasi yang makin borderless seperti sekarang, tentunya pelemahan rupiah ini akan sangat berpengaruh terhadap ekspor maupun impor dalam negeri.
Dari sisi ekspor, melemahnya rupiah akan membuat nilai ekspor meningkat. Kenaikan dapat terjadi pada sektor-sektor tertentu seperti tekstil dan produk tekstil, komoditas (batu bara, minyak kelapa sawit mentah, karet), dan lain-lain.
“Namun, patut dicatat pula tidak semua produk ekspor Indonesia murni berbahan baku lokal. Sejumlah industri seperti tekstil dan produk tekstil menggunakan bahan impor seperti bahan kimia. Maka, alih-alih memperoleh untung, sebagian industri dalam negeri justru berpotensi buntung,” kata William.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu kembali mempercepat program hilirisasi. Tujuannya agar ketergantungan terhadap bahan baku impor semakin minim.
Sebab, sudah jadi pengetahuan bersama, banyak produk Indonesia di sektor agro maupun nonagro yang diekspor dalam keadaan mentah.
“Produk-produk ini kemudian diolah di negara-negara tertentu menjadi produk semijadi, lalu kemudian diimpor ke Indonesia sebagai bahan baku/bahan penolong,” tutur William.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari 2018, nilai impor semua golongan penggunaan barang, termasuk bahan baku/bahan penolong mencapai USD 11,29 miliar.
Jumlah itu mengalami peningkatan sebesar 24,76 persen dibandingkan Januari 2017.
Komponen ini menembus 74,58 persen dari total impor sepanjang Januari 2018. Bahan baku/bahan penolong yang banyak diimpor antara lain kain katun.
Sementara dari sisi impor, melemahnya rupiah bisa memicu inflasi. Istilah yang lazim di kalangan ekonom adalah imported inflation.
Imported inflation merupakan inflasi yang disebabkan kenaikan harga-harga komoditas di luar negeri, terutama negara yang memiliki hubungan dagang dengan negara yang bersangkutan.
“Contoh sederhana dapat ditemui pada tahu maupun tempe. Ketidakmampuan produksi kedelai dalam negeri menopang kebutuhan produksi tahu dan tempe membuat impor jadi andalan. Pemenuhan bahan baku selama ini berasal dari AS,” tegas William.
Dia menambahkan, pelemahan rupiah dapat membuat harga tahu maupun tempe mengalami peningkatan seiring meningkatnya biaya produksi. Semua ini dapat memicu terjadinya inflasi tinggi.
Oleh karena itu, pemerintah bersama stakeholder lain seperti Bank Indonesia dan pemerintah daerah, harus terus memperkuat kerja sama penanganan inflasi.
Tim Pengendali Inflasi Daerah yang sudah ada harus memitigasi situasi sekarang karena melemahnya rupiah masih sulit diperkirakan kapan akan berakhir.
“Untuk itulah, gonjang perekonomian karena pelemahan rupiah akibat dari ketidakpastian di AS harus dicermati dengan saksama oleh pemerintah. Jangan ada ego sektoral dalam menyikapinya. Semua pihak harus bahu membahu demi mengarungi badai yang mengadang,” kata William.
Jikapun ada dampak, sambung William, jangan sampai membuat kapal ekonomi Indonesia karam.
Sebab, apabila itu terjadi, perekonomian masyarakat jadi taruhan sekaligus juga menjadi pertaruhan terhadap reputasi pemerintahan Joko Widodo yang telah dibangun selama empat tahun terakhir.
“Situasi kelam akibat krisis 1997-1998 yang diawali anjloknya rupiah tentunya tidak kita inginkan lagi. Keberhasilan melayari badai krisis 2008 dapat dijadikan pelajaran. Pemerintah harus sigap merespons pelemahan ini di saat negeri ini sedang memasuki tahun politik,” tegas William. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... IHSG Rebound, Rupiah Kembali Melemah
Redaktur & Reporter : Ragil