Menakar Parliamentary Threshold

Kamis, 04 Mei 2017 – 05:30 WIB
Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - Salah satu isu yang memperoleh perhatian utama dalam pembahasan RUU Pemilu kali ini adalah mengenai ambang batas perwakilan di parlemen, atau parliamentary threshold.

Hal ini berkaitan dengan munculnya usulan untuk menaikkan besaran angka penerapannya di DPR RI, dan penerapannya pada kursi perwakilan daerah, DPRD.

BACA JUGA: Mendesain Pembiayaan Pemilu Efektif

Seperti halnya perubahan UU pemilu sebelumnya, parliamentary threshold selalu menjadi bagian dari pembahasan utama, bahkan seringkali menjadi pembahasan paling ujung penetapannya.

Konsep parliamentary threshold diperkenalkan pertama kali di Indonesia pada saat pembahasan UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu. Sejak awal pengenalan konsep parliamentary threshold ini memang cukup mendominasi.

BACA JUGA: Presidential Threshold, Masihkah Relevan?

Setidaknya ada dua persoalan berkaitan dengan isu ini yang menjadi sorotan; pertama, besaran angka ambang batas keterwakilan ini bagi kursi DPR. Kedua, upaya penerapan hasil ambang batas di DPR untuk diberlakukan secara nasional kepada kursi parlemen daerah, DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/ kota.

Perdebatan pertama tentang besaran ambang batas perwakilan menjadi sedemikian dominan mengingat hal ini dilihat sebagai penentu hidup-matinya sebuah partai. Karenanya partai-partai kelas menengah ke bawah cenderung menginginkan angka rendah; dan sebaliknya partai-partai papan atas menginginkan angka tinggi.

BACA JUGA: Menata Setara Nilai Kursi Parlemen

Partai-partai kecil berkeras tidak menaikkan besaran ambang batas, karena mereka khawatir partainya tidak mencapai angka tersebut sehingga kelak tidak memiliki kursi lagi di DPR.

Sementara partai-partai besar bersikukuh menaikkan besaran ambang batas secara sigini kan karena mereka yakin suaranya mencukupi sehingga dapat menyingkirkan partai-partai kecil untuk mengambil kursi yang ditinggalkannya.

Pada pembahasan Revisi RUU no 10 tahun 2008, lima fraksi (Fraksi Hanura, Fraksi Gerindra, Fraksi PKB, Fraksi PPP dan Fraksi PAN) sepakat mempertahankan angka 2,5% suara nasional, sebagaimana diatur Pasal 202 UU No. 10/2008. Fraksi PKS ingin menaikkan menjadi 3% sampai 4%, Fraksi PD mengusulkan 4%, sedang Fraksi PDIP dan Fraksi Partai Golkar mematok 5%.

Hal kedua adalah penerapan ambang batas perwakilan di DPR RI untuk pemilu DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Konsep yang berkembang saat itu adalah: ambang batas perwakilan pemilu DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota ditentukan oleh ambang batas pemilu nasional.

Itu artinya, ambang batas pemilu DPR diberlakukan terhadap pemilu DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Ilustrasi konsep ini dapat digambarkan sebagai berikut: misalkan saja, pada Pemilu 2014 terdapat 7 partai yang lolos ambang batas pemilu DPR (yang berarti hanya 7 partai yang berada di DPR), maka 7 partai itu pula yang menguasai kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota se-Indonesia.

Cara inilah yang dipandang paling efektif oleh DPR saat itu sebagai metode penyederhanaan partai. Karena dengan tidak lagi memiliki kursi di parlemen, baik pusat maupun daerah, sebuah partai akan sulit untuk bertahan pada pemilu putaran berikutnya.

Upaya penyederhanaan partai melalui penerapan ambang batas yang demikian tadi oleh sebagian kalangan dipandang tidak logis dan bertentangan dengan undang-undang Dasar. Karenanya, berikutnya Perludem dkk melakukan judicial review terhadap Undang-undang No 8 Tahun 2012.

Logika yang dibangun oleh Perludem diantaranya, Jika dilihat dari sisi praktek pemberian suara, ketika memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota di bilik suara, pemilih menggunakan surat suara berbeda, yang kemudian dimasukkan ke dalam kota suara berbeda pula, surat suara pemilu DPR dimasukkan ke kotak suara warna kuning, surat suara pemilu DPRD provinsi dimasukkan ke kotak suara warna biru, surat suara pemilu DPRD kabupaten/kota dimasukkan ke kotak suara warna putih.

Bagaimana mungkin pemberian suara ke dalam surat suara berbeda dan dimasukkan dalam kotak suara berbeda, tetapi hasilnya disamakan?

Metode menentukan ambang batas pemilu DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dengan penentuan ambang batas pemilu DPR tersebut dipandang melanggar prinsip pemilu demokratis, yakni menjaga keaslian suara pemilih dalam menentukan wakil-wakilnya.

Karenanya, secara hukum, hal ini juga melanggar konstitusi dan jelas merugikan hak-hak konstitusional warga negara. Mahkamah Konstitusi pada akhirnya mengabulkan permohonan Perludem dkk ini dengan mengeluarkan Putusan No 51/PUU-X/2012 yang prinsipnya membatalkan konsep pemberlakuan parliamentary threshold nasional untuk DPRD Propinsi maupun Kabupaten/ kota berdasarkan threshold DPR RI.

Pada pembahasan RUU pemilu kali ini, perdebatan tentang angka ambang batas parliamentary threshold juga kembali mengemuka; dan polarisasi di tingkat fraksi-fraksi di dalam Pansus juga hampir sama, yakni antara partai-partai menengah kecil dan partai papan atas.

Angkanya pun cukup fantastis, karena bahkan dua partai besar pemenang pemilu mengusulkan angka parliamentary threshold mencapai 10%. Dalam sejarahnya, memang tidak pernah ada batasan yang baku dalam menentukan angka ambang batas ini di berbagai belahan Negara di dunia, namun demikian kecenderungan untuk meningkatkan angka ambang batas pada pemilu sebelumnya, yakni 3,5%, hampir menjadi kesepakatan bersama.

Hal ini tidak terlepas dari kesepakatan DPR pada periode sebelumnya yang membahas UU No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu, bahwa perlunya menaikkan angka ambang batas secara gradual setiap pemilu, dari 3,5% ke 4%, hingga nantinya sampai dengan 5%.

Secara teoritis, penerapan ambang batas dimaksudkan untuk tercapainya dua hal: pertama, mengurangi jumlah partai politik yang masuk parlemen; kedua, menyaring partai politik peserta pemilu berikutnya. Penerapan ambang batas ini memang mempersempit peluang partai-partai kecil atau partai-partai baru untuk meraih kursi parlemen.

Namun fungsinya dibutuhkan guna menyingkirkan partai-partai yang gagal mendapatkan dukungan pemilih. Sebab, banyaknya partai politik peserta pemilu, tidak hanya membingungkan pemilih dalam memberikan suara, tetapi juga menelan banyak dana.

Sementara itu, berkurangnya jumlah partai politik di parlemen diharapkan dapat mengurangi fragmentasi politik sehingga berdampak positif terhadap pengambilan keputusan di parlemen.

Namun demikian, perlu menjadi perhatian pula bahwa dalam menentukan besar kecilnya angka ambang batas perwakilan, para pembuat undang-undang hendaknya mengingat salah satu prinsip sistem pemilu proporsional, yakni membagi jumlah kursi kepada partai politik secara proporsional sesuai dengan perolehan suara masing-masing partai politik.

Dalam hal ini, semakin kecil perbedaan persentase raihan kursi partai politik dengan persentase perolehan suara, maka praktek sistem pemilu proporsional itu semakin sempurna. Di sinilah ketentuan ambang batas berpengaruh terhadap tingkat proporsionalitas hasil pemilu, karena besaran ambang batas mempengaruhi jumlah suara yang tidak terkonversi menjadi kursi.

Dalam sistem pemilu proporsional suara yang tidak ter- konversi menjadi kursi atau suara terbuang dikenal sebagai wasted votes, sedangkan dalam sistem pemilu mayoritarian, sering disebut sebagai spoiler votes.

Suara terbuang adalah total jumlah suara sah pemilih yang diberikan kepada partai politik, dan dalam proses penghitungan perolehan suara-kursi tidak menerima satu pun kursi perwakilan. Suara terbuang itu jelas mempengaruhi proporsionalitas penghitungan perolehan suara-kursi.

Jika persentase raihan suara tidak sama dengan persentase perolehan kursi, maka terjadi disproporsionalitas. Banyaknya suara terbuang tentu berdampak nyata terhadap meningkatnya disproporsionalitias hasil pemilu. Karenanya dibutuhkan kearifan dalam menentukan ambang batas parliamentary threshold ini.

Pada sisi yang lain, upaya untuk membatasi jumlah partai politik dengan penerapan ambang batas parlemen ini tidak sejalan dengan dibukanya kran munculnya partai-partai politik baru. Mudahnya persyaratan mendirikan partai baru, serta verifikasi pendirian partai politik yang mudah, telah memumculkan partai baru seperti jamur di musim penghujan.

Tidak heran jika setiap pemilu selalu hadir partai baru, yang sebetulnya berisikan aktor-aktor politik lama dari partai lama yang tidak mampu mencapai angka parliamentary threshold. Dalam bahasa lain, muncul baju baru pelaku lama, atau muka baru wajah lama.

Dalam pandangan penulis, agar pengaturan di dalam Undang-undang Pemilu ini nantinya selaras antara bagian satu dengan bagian lainnya, maka dengan kerangka besar konsolidasi demokrasi, seluruh bagian dari undang-undang ini sudah harus satu irama untuk mencapai penyederhanaan (baca: pembatasan) partai politik dalam rangka mencapai efektifitas pengambilan keputusan di dalam parlemen dan menciptakan stabilitas politik di masa-masa yang akan datang.

*) Ketua Pansus RUU Pemilu DPR

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mekanisme Pemilihan Anggota DPD Bakal Diubah, Begini Tahapannya


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler