Mendesain Pembiayaan Pemilu Efektif

Rabu, 03 Mei 2017 – 05:30 WIB
Lukman Edy. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - Ada dua istilah yang belakangan berkembang dikalangan politisi, berkaitan dengan pembiayaan, yakni “biaya politik” dan “money politic”.

Biaya politik (political cost) diterjemahkan sebagai kegiatan pendanaan yang berkaitan dengan operasional kegiatan-kegiatan politik, mulai biaya perjalanan, biaya sosialisasi, biaya pendidikan kader, biaya kampanye, hingga biaya saksi pemilu di TPS dan biaya lain terkait dengan kerja-kerja politik.

BACA JUGA: Presidential Threshold, Masihkah Relevan?

Sedangkan money politic dipahami sebagai “uang sogok”, “uang riswah”, “uang pelicin” dan pengertian lain yang berkonotasi untuk membeli suara atau kegiatan lain pendanaan politik terhadap kegiatan politik tidak resmi dan cara-cara menang “di bawah tangan”.

Sama-sama uang dan dana yang dikeluarkan, tetapi berbeda dalam pengertian dan konsekuensi. Bila yang pertama, biaya politik, dipandang boleh, halal, dan sah di muka hukum; sementara yang kedua, money politic dipandang sebagai perbuatan melawan hukum, tindak pidana pemilu yang bahkan dapat mengancam keabsahan kepesertaan pemilu baik individu maupun partai politik. Dalam konteks tulisan ini, penulis akan membahas terminology pertama sebagai pokok bahasan.

BACA JUGA: Menata Setara Nilai Kursi Parlemen

Persoalan biaya politik di dalam pengaturan politik selalu mempunyai dua sisi yang berlawanan. Satu sisi semua orang tahu bahwa partai politik maupun politisi membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan biaya politik, disisi yang lain partai politik tidak boleh mengelola bisnis karena dikhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan menggunakan kekuasaanya demi kepentingan bisnis yang dikelolanya. Satu-satunya sumber dana partai dari luar kemudian adalah sumbangan “yang tidak mengikat”.

Masalahnya, semua partai politik membutuhkan sumbangan dana yang sangat besar, padahal semakin besar sumbangan dana yang diterima, maka semakin terikat partai politik tersebut terhadap kepentingan-kepentingan politik penyumbang terbesarnya.

BACA JUGA: Mekanisme Pemilihan Anggota DPD Bakal Diubah, Begini Tahapannya

Ada adagium dalam politik yang sangat kuat mempengaruhi "no such free lunch", tidak ada makan siang yang gratis. Begitu juga sumbangan dana partai politik dan dana kampanye, pasti menuntut "kickback" yang setimpal dalam bentuk kekuasaan untuk merumuskan kebijakan publik yang bersahabat bagi para penyumbang.

Jika kejadiannya demikian, maka posisi uang dalam dunia politik dengan mudah dapat membajak demokrasi. Prinsip demokrasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, one person one vote and one value, bisa dengan mudah menjadi tidak bermakna manakala sumbangan seseorang pada partai politik bisa menentukan arah kebijakan partai politik dalam merumuskan kebijakan publik. Partai politik bisa tersandera oleh kepentingan penyandang dana.

Pembatasan sumbangan dana kampanye dari perorangan maupun badan hukum selama ini sudah dilakukan dengan pembatasan sumber-sumber sumbangan dan jumlah nominal sumbangan yang diberikan.

Namun demikian hampir keseluruhan sumber sumbangan adalah pihak ketiga yang meskipun dibahasakan “sumbangan tidak mengikat” namun sebetulnya justru “mengikat” karena komitmen yang berkaitan dengan kebijakan. Hal ini sama saja “menggadaikan” keputusan-keputusan politik kepada para pemilik modal.

Praktik-praktik seperti ini dalam jangka panjang akan membahayakan arah pembangunan nasional karena pada hakikatnya telah membiarkan kekuatan politik nasional “tersandera” oleh kepentingan para pemodal.

Dari sini maka penting untuk dimunculkan pengaturan bukan saja soal sumber pendanaan partai politik serta sanksi yang diberikan jika terbukti parpol menerima sumber pendanaan yang tidak sah secara hukum, namun memberikan alternatif pembiayaan politik yang dapat menjadikan partai politik tidak bergantung pada pihak ketiga.

Pilihan kemudian jatuh pada APBN. Mengapa? Sebagai pilar demokrasi, partai politik berhak memperoleh perhatian yang sama besar dengan pilar demokrasi yang lain; dan setidaknya menjawab upaya mengentaskannya dari jeratan kepentingan “asing”.

Apakah partai politik perlu mendapatkan alokasi dana dari APBN atau APBD? Ataukah kegiatan pemilu saja yang didanai oleh APBN/ APDB? Jika ya berapa besar?

Dalam pelaksanaan pemilu, pembiayaan terbesar yang harus dikeluarkan oleh peserta pemilu adalah biaya kampanye; meliputi logistik kampanye, operasional kampanye (terbatas, terbuka, penyampaian visi-misi, debat kandidat, dst), serta kampanye media massa (cetak, elektronik, medsos).

Dalam bayangan penulis, APBN dapat saja memberikan insentif bagi peserta pemilu dalam bentuk dukungan logistik kampanye yang secara langsung diserahkan kepada peserta pemilu, penyediaan ruang-ruang kampanye yang teragendakan dan terjadual secara pasti.

Dengan demikian, setiap peserta pemilu akan memiliki kesempatan dan ruang kampanye yang sama dalam pelaksanaan kampanye; diluar upaya-upaya canvasing yang dilakukan oleh masing-masing peserta pemilu.

Ada beberapa kelebihan dengan adanya kampanye terencana yang difasilitasi oleh Negara ini, yakni: pertama, terciptanya fairness di antara para peserta pemilu dalam pelaksanaan kampanye. Jika kampanye yang diagendakan tersebut di tingkat kecamatan misalnya, maka seluruh peserta pemilu akan memiliki kesempatan yang sama untuk dapat melakukan tatap muka dengan konstituennya di kecamatan tersebut.

Kedua, tercipatanya fairness di kalangan pemilih. Dengan adanya kegiatan yang simultan antar peserta pemilu di suatu wilayah (kecamatan, misalnya) maka dapat semakin diminimalisir adanya vote getter atau calon pemilih yang main dua kaki di antara beberapa parpol peserta pemilu. Karenanya, semakin kecil ruang lingkup kampanye terencana, semakin efektif menciptakan fairness pemilu.

Ketiga, semakin memudahkan pengawas pemilu dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu, karena kegiatan yang terukur dan terencana.

Bentuk fasilitasi Negara terhadap kampanye yang terencana dan terukur ini dapat saja di bawah wilayah kerja Kesbangpol, dengan mewajibkan partai politik peserta pemilu melaksanakan dan bertanggung jawab menyusun laporan pelaksanaan kegiatan masing-masing peserta pemilu kepada kesbangpol masing-masing daerah; dengan tembusan kepada KPU sebagai laporan penggunaan dana kampanye partai politik.

KPU selaku penyelenggara pemilu dalam hal ini mengatur aturan main kampanye dan menjadi wasit yang adil tanpa perlu dibebani pekerjaan teknis pelaksanaan kampanye. Mengapa Kesbangpol yang menfasilitasi pelaksanaan kampanye?

Hal ini berkaitan dengan pembinaan terhadap parpol yang dilakukan oleh Kesbangpol selama ini, sehingga akan tercipta kesinambungan antara pembinaan, kampanye, dan hasil pembinaan berupa hasil pemilu masing-masing parpol peserta pemilu di suatu daerah.

Dengan demikian KPU dapat lebih fokus pada persiapan dan detail teknis pemungutan suara dan penghitungan hasil pemungutan suara, serta rekapitulasi suara di setiap KPUD Kabupaten/ kota, KPUD Propinsi hingga KPU Pusat.

Sementara itu, fasilitasi Negara terhadap akses peserta pemilu pada media massa, baik cetak maupun elektronik, dapat dilakukan oleh Negara dengan tanpa mengeluarkan biaya operasional; namun cukup dengan mengeluarkan regulasi terhadap media massa atas nama kompensasi hak public terhadap penggunaan ruang public dan jaringan frekuensi public yang telah digunakan oleh media massa selama ini.

Di samping pemerintah melakukan penataan penggunaan frekuensi public terhadap media massa selama pemilu, pemerintah dapat juga meminta hak kompensasi penggunaan ruang publik kepada masing-masing media massa, untuk kemudian digunakan sebagai ruang sosialisasi dan kampanye bagi partai politik; dengan perencanaan dan pelaksanaan yang terukur.

Praktik semacam ini telah berlaku di beberapa Negara besar seperti Jerman dan Amerika, sebagai bentuk kewajiban dan partisipasi media massa selaku pilar demokrasi modern.

Dengan regulasi seperti ini, maka masing-masing pihak, baik partai politik maupun media massa dipaksa tunduk para aturan main yang baku demi menciptakan suasana fairness pemilu. Sehingga tak ada lagi monopoli pemberitaan dan siaran bagi stasiun radio, televisi maupun ruang bagi media cetak tertentu atas nama kebebasan pemilik modal atau penguasa politik dominan di suatu daerah;akan tetapi semua pihak berdiri bersama untuk sebuah upaya menciptakan pemilu yang fairness dan berkeadilan.

Memang hal ini belum pernah terjadi di negeri ini, namun demikian apa salahnya kita mengadopsi sesuatu yang lebih baik demi tercapainya langkah nyata konsolidasi demokrasi di negeri Indonesia tercinta ini?

*) Ketua Pansus RUU Pemilu DPR RI

BACA ARTIKEL LAINNYA... Calon Senator Bakal Diseleksi Lewat Pansel Bentukan Gubernur


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler