Presidential Threshold, Masihkah Relevan?

Selasa, 02 Mei 2017 – 05:30 WIB
Lukman Edy. Foto: Riau Pos/dok.JPNN.com

jpnn.com - Wacana presidential threshold kembali mengemuka akhir-akhir ini, berkenaan dengan pembahasan RUU Pemilu. Presidential Threshold (PT) atau batas minimun perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik di parlemen untuk bisa mengusung calon presiden, kembali menjadi perbincangan serius di kalangan para ahli pemilu dan Fraksi-fraksi di DPR RI.

Memang pada pembahasan undang-undang pemilu sebelumnya persoalan ini juga menjadi topic utama, namun kali ini menjadi berbeda lantaran adanya ketentuan bahwa pemilu 2019 nanti akan dilaksanakan secara serentak antara legislatif dan pemilu presiden/ wakil presiden.

BACA JUGA: Menata Setara Nilai Kursi Parlemen

Ketentuan tentang pelaksanaan pemilu serentak legialatif dan pilpres merujuk pada putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD serta pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2019 harus dilaksanakan bersamaan.

Putusan tersebut merupakan jawaban MK atas gugatan uji materi UU 42/2014 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pertanyaanya adalah, masihkah relevan diberlakukan presidential threshold manakala pemilu presiden/ wakil presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilu legislatif?

BACA JUGA: Mekanisme Pemilihan Anggota DPD Bakal Diubah, Begini Tahapannya

Pemerintah dalam drfat RUU Pemilu memandang perlu adanya presidential threshold dengan mematok angka 20% hasil suara pemilu dan 25% hasil kursi di parlemen. Pertanyaannya adalah pemilu manakah yang dijadikan sebagai dasar basis perhitungan presidential threshold tersebut? Selama ini, pelaksanaan pemilu legislatif dilaksanakan dua bulan lebih awal dari perhelatan pemilu presiden/ wakil presiden; sehingga basis perhitungan presidential threshold adalah hasil pemilu legislatif yang baru saja disahkan.

Dengan bahasa lain, basis pijakan perhitungan presidential threshold adalah hasil pemilu legislatif tahun yang sama. Masalahnya adalah, ketika pemilu dilaksanakan bersamaan dengan pemilu legislatif, kemungkinannya hanya ada satu, yakni berbasis hasil pemilu legislatif sebelumnya.

BACA JUGA: Calon Senator Bakal Diseleksi Lewat Pansel Bentukan Gubernur

Dalam hal kasus pemilu presiden/ wakil presiden tahun 2019 mendatang, jika presidential threshold diberlakukan, maka pilihan pijakan dasar perhitungannya hanya satu, yakni hasil pemilu legislatif tahun 2014.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana hukumnya mendasarkan perhitungan PT pada hasil pemilu yang hasilnya telah dibuat untuk menentukan keabsahan presidential threshold pemilu presiden/ wakil presiden sebelumnya?

Dalam bahasa lain, bagaimana mungkin hasil pemilu legislatif sekali dapat dijadikan sebagai dasar pijakan menentukan presidential threshold dua kali pemilu presiden/wakil presiden?

Jika pilihan ini nantinya yang menjadi pilihan, tentu saja klausul ini akan menjadi norma hukum baru dalam dunia kepemiluan Indonesia saat ini. Memang belum ada yurisprudensi atas ketentuan ini, namun bukan berarti hal ini bertentangan dengan UUD NRI 1945; karena tidak ada norma yang secara ekspilisit mengatur hal ini.

Di sudut yang lain, muncul kemudian pertanyaan bagaimana dengan partai yang belum pernah mengikuti pemilu legislatif sebelumnya? Yakni partai baru atau partai politik lama yang tidak lolos verifikasi kepesertaan pemilu? Apakah ia diberikan hak untuk mencalonkan calon presiden/ wakil presiden?

Jika diberikan hak, apakah pijakan dasar (hukum)nya ia dapat diberikan hak mencalonkan; sama seperti partai-partai yang telah mengikuti pemilu legislatif sebelumnya. Apa parameternya? Apakah karena telah dinyatakan lolos verifikasi? Jika ukurannya hanya sekedar lolos verifikasi, maka untuk apa ditentukan presidential threshold?

Tentu ini menjadi tidak adil bagi partai lama yang telah memiliki 2 (dua) poin, yakni lolos verifikasi kepesertaan pemilu dan telah mengikuti pemilu legislatif; dengan partai baru ataupun partai lama yang sebelumnya tidak lolos verifikasi kepesertaan pemilu yang hanya memiliki 1 (satu) poin, yakni lolos verifikasi kepesertaan pemilu.

Jika poin-poin tersebut bersifat opsional bagi partai politik, dalam arti boleh salah satu poin saja untuk mencalonkan presiden/ wakil presiden: lolos verifikasi kepesertaan pemilu atau memiliki hasil pemilu, maka demi keadilan prosedural semestinya partai –partai lama yang telah memiliki hasil pemilu tak perlu lagi mengikuti proses verifikasi kepesertaan pemilu; sebagai sebuah opsi. Mengapa demikian, sekali lagi dalam konteks menegakkan keadilan prosedural, jika sudah pernah lolos verifikasi kepesertaan dan juga sudah terbukti dalam pemilu, untuk apa melakukan verifikasi ulang.

Dan jika sifat presidential threshold hanya opsional, maka dengan demikian pada hakekatnya keberadaa PT sudah tidak lagi mutlak dibutuhkan.

Pilihan berikutnya bisa mengerucut di satu sudut presidential threshold. Artinya ia mutlak diperlukan dan menjadi prasyarat sahnya pencalonan presiden/ wakil presiden bagi partai politik atau gabungan partai politik.

Presidential threshold mutlak diperlukan untuk membentuk pemerintahan yang kuat dalam rangka menciptakan sistem multi partai sederhana yang kokoh dan memperkuat sistem presidensial yang berlaku saat ini.

Presidential threshold tetap diperlukan untuk mendorong parpol-parpol agar membentuk sebuah koalisi permanen. Selain itu, dengan adanya PT parpol juga didorong untuk melakukan penguatan kelembagaan parpol guna mencegah permainan kooptasi parlemen dalam pembentukan kabinet.

Konsekuensi logis pilihan ini, semua partai yang belum pernah mengikuti pemilu legislatif sebelumnya tidak diperbolehkan mencalonkan presiden/ wakil presiden pada pemilu 2019 mendatang. Bahwa status kelolosannya mengikuti verifikasi kepesertaan pemilu hanya dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk mengikuti pemilu legislatif pada tahun 2019, dan dapat dijadikan sebagai tiket mencalonkan presiden/ wakil presiden pada pemilu berikutnya lagi, 2024.

Bila benar ini pilihan yang akan dipilih oleh anggota pansus, maka baru menjadi relevan membahas berapa besaran persentase presidential threshold yang akan diberlakukan; apakah 15 – 20 % (15% suara hasil pemilu, 20% perolehan kursi di DPR), 20 – 25%, atau alternatif baru, disamakan dengan besaran parliamentary threshold, berapapun nanti keputusannya.

Jika pilihan di atas tidak pula disetujui, maka pilihannya bisa mengkerucut di satu sudut tanpa presidential threshold. Kalangan ini berpendapat bahwa presidential threshold tidak lagi relevan diterapkan mengingat pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres dilakukan bersamaan; karenanya dikembalikan pada hukum awal partai politik peserta pemilu sesuai dengan hakikat Pasal 6A dalam UUD yang menegaskan bahwa partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan calon presiden atau wakil presidennya.

Dalam pandangan ini, maka pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) adalah inkonstitusional. Mengapa? Karena pasal 6A UUD sama sekali tak mensyaratkan adanya dukungan minimal berupa perolehan kursi atau suara. Maka, UU Pilpres seharusnya mampu menangkap jiwa dari norma yang ada di konstitusi terkait pemilihan presiden/ wakil presiden.

Keseluruhan basis teoritik tentang presidential threshold, baik yang menganggap relevan maupun yang memandang tidak relevan dapat saja dihadirkan, bahkan pelajaran-pelajaran penerapannya (best practices) di berbagai Negara di belahan dunia bisa saja dijadikan rujukan asal dasar pijakan pilihannya telah jelas.

Hal itu semata dihadirkan sebagai penguat pertimbangan dan analisis hukum dan konstitusi yang diambil masing-masing Fraksi di DPR RI. Tetapi yang menjadi penting adalah positioning terhadap pilihan-pilihan yang tergambar di atas, serta kecenderungannya dalam mengambil sikap terhadap pilihan tersebut.

Opsi-opsi ini tentu saja tidak berpretensi mendikte pilihan politik para anggota pansus RUU Pemilu maupun fraksi-fraksi, akan tetapi lebih sebagai upaya untuk mempermudah dalam mengambil keputusan nantinya.

Selebihnya, silahkan direnungkan sambil menghitung untung-ruginya secara matematika politik; sambil lalu tentu saja mempertimbangkan kepentingan bersama bahwa hadirnya UU Pemilu ini telah dinanti oleh khalayak masyarakat, dan ditunggu-tunggu oleh pelaksana pemilu untuk dijadikan sebagai dasar menyusun langkah-langkah persiapan pemilu.

Karenanya, sesuai pepatah “ikan sepat, ikan gabus” maka makin cepat, makin bagus kita tetapkan Undang-undang ini. Bukankah demikian?


*) Ketua Pansus RUU Pemilu DPR RI

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Tahapan Pemilu 2019, Pencoblosan Digelar 17 April


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler