jpnn.com - Presiden Joko Widodo menunjuk dua mantan petinggi TNI masuk ke dalam lingkaran dekatnya di istana. Adalah Jenderal (Purn) Agum Gumelar dan Jenderal (Purn) Moeldoko yang masuk ke lingkaran istana seiring reshuffle Kabinet Kerja jilid III kemarin (18/1).
Agum masuk ke lingkaran istana sebagai pengganti almarhum KH Hasyim Muzadi di Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Sedangkan Moeldoko yang baru lengser dari jabatan Panglima TNI pada 8 Juli 2015, dipercaya untuk menjadi Kepala Staf Presiden (KSP) menggantikan Teten Masduki.
BACA JUGA: OSO-Wiranto Berebut Pengaruh Kedekatan Dengan Presiden?
Secara administratif, sirkulasi jabatan ini adalah hal wajar. Sebab, Agum mengisi pos yang kosong pasca-wafatnya Kiai Hayim.
Demikian pula Moeldoko yang menggantikan Teten. Reshuffle kabinet memang merupakan hak prerogatif presiden.
BACA JUGA: Gatot Bangga Seniornya Menjabat KSP dan Wantimpres
Meski demikian, Presiden Jokowi tentu memiliki pertimbangan-pertimbangan politik untuk menarik Agum dan Moeldoko. Bagaimanapun, lembaga kepresidenan adalah lembaga politik.
Naif sekali bila melihat bongkar pasang kabinet itu dengan menyampingkan tujuan-tujuan strategis dan taktis Presiden Jokowi. Apalagi, konstelasi politik pada tahun ini akan menghangat dengan adanya pilkada di 171 daerah.
BACA JUGA: Aktivis Muda NU Mengapresiasi Jokowi Cabut Larangan Cantrang
Konstelasi politik tahun depan juga tak kalah hangat. Sebab, ada pemilu legislatif dan pemilu presiden yang digelar bersamaan.
Dalam konteks itu pula, masuknya Moeldoko dan Agum bisa dimaknai sebagai penguatan fondasi politik Presiden Jokowi di militer. Selama ini bila bicara pengaruh militer, Presiden Jokowi diidentikkan dengan dua tokoh senior di TNI, yaitu Luhut B Panjaitan dan AM Hendropiyono.
Tapi, dengan tambahan amunisi masuknya Agum dan Moeldono, tentu Jokowi telah memperlebar “pijakan politiknya” di lingkungan purnawirawan TNI. Lantas, mengapa purnawirawan TNI penting?
Dalam riil politik Indonesia, meskipun TNI sejak era reformasi sudah menyatakan kembali ke barak demi menjadi professional soldier, namun pengaruhnya tidak lantas hilang begitu saja. Sejarah TNI sebagai tentara rakyat menyulitkan para purnawirawannya untuk benar-benar steril dari politik. Apalagi UU tidak melarangnya.
Kondisi ini diperkuat dengan rayuan partai politik kepada para purnawirawan untuk mengisi posisi-posisi strategis di parpol. Hampir semua parpol membuka pintu bagi purnawirawan TNI.
Bahkan, di Pilkada 2018, banyak mantan TNI yang diusung oleh partai politik sebagai calon kepala daerah ataupun calon wakil kepala daerah. Diakui atau tidak, fenomena itu menunjukkan ketidakmampuan parpol menjalankan fungsi kaderidasi secara optimal, sekaligus pengakuan atas kapasitas elite-elite TNI.
Timing masuknya Agum dan Moeldoko menjelang tahun politik 2019 juga menarik untuk dicermati. Kita semua tahu satu-satunya penantang Jokowi yang sudah muncul secara terbuka adalah Prabowo Subianto.
Mantan Pangima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) dengan pangkat terakhir letnan jenderal itu tentu memiliki garis militer kuat. Itu bisa dilihat pada kultur yang dibawanya hingga ke Partai Gerindra sekarang ini.
Di Gerindra ada nama-nama mantan petinggi TNI. Sebut saja mantan Panglima TNI Djoko Santoso, Sudradjat, hingga yang tengah diisukan akan masuk seperti Gatot Nurmantyo.
Dukungan Gerindra kepada Edy Rahmayadi di Pilkada Sumut juga menunjukkan kedekatan Prabowo – Gatot. Bahkan, Gerindra sejak tahun lalu meresmikan organisasi sayap khusus untuk para purnawirawan TNI, yaitu Purnawirawan Pejuang Indonesia Raya (PPIR).
Dengan masuknya Agum dan Moeldoko ke kubu Jokowi, political grab Prabowo ke para purnawirawan akan mendapat tantangan. Pasalnya, Agum bukanlah nama sembarangan.
Kini, menteri koordinator bidang politik dan keamanan di era Presiden Abdurrahman Wahid itu memimpin Pepabri, organisasi purnawirawan yang sudah berusia puluhan tahun. Sementara Moeldoko sebagai mantan Panglima TNI tentu memiliki basis dukungan di lingkungan keluarga besar militer.
Pilpres 2019 akan menarik karena akan ada perang bintang di belakang Jokowi dan Prabowo. Tapi, pada akhirnya tetap rakyat yang akan menjadi juri di pilpres nanti.(***)
*Penulis adalah direktur eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) dan pengajar di FISIP Universitas Al Azhar Indonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebaiknya Nyalla Blak-blakan ke Bawaslu soal Maunya Prabowo
Redaktur & Reporter : Antoni