Mencekam! Ritual Adat Sakral Akhiri Perang di Mimika

Kamis, 19 Mei 2016 – 05:45 WIB
Prosesi adat Patah Panah di Kwamki Narama, Mimika. Foto: Radar Timika

jpnn.com - PERANG antar warga di Distrik Kwamki Narama, Mimika, Papua akhirnya berakhir Patah panah. Istilah ini tidak asing lagi bagi warga Mimika. Ketika ada konflik, perang suku dan semacamnya, maka untuk mendamaikannya melalui ritual adat patah panah. 

Ketika dua kata ini terdengar, maka konflik suku yang terjadi dipastikan segera berakhir. Begitu sakralnya upacara adat ini, sehingga pihak-pihak yang telah melakukan prosesi patah panah, wajib mematuhinya.

BACA JUGA: Hari Ini PLN Bakal Didemo

Suasana tegang menyelimuti dua kelompok warga yang terlibat pertikaian di Distrik Kwamki Narama. Siang itu, Selasa (17/5), di bawah panas terik matahari, kedua pihak tampak mempersiapkan sarana ritual adat perdamaian yang disebut ‘patah panah’. Ritual ini harus dilakukan, untuk mendamaikan konflik dua kubu yang terjadi di Kwamki Narama, yang berlangsung hampir sepekan, yang telah memakan korban dari kedua belah pihak, baik yang luka-luka maupun meninggal dunia.

Kubu bawah, yakni kelompok Atimus Komangal dan kubu atas, kelompok Hosea Ongomang, masing-masing diwakili kepala perang yang disebut Waimum. Tidak ada komunikasi apapun di antara Waimum kedua kelompok. Bahkan mereka seperti saling menjaga jarak, di lokasi ritual adat patah panah yang digelar di halaman kantor Distrik Kwamki Narama.

BACA JUGA: PDIP Tunggu Survei Kedua

Prosesi adat dimulai dengan belah kayu dan pemasangan patok yang ditanam di tengah-tengah wilayah atau arena perang suku, antara kubu bawah dan kubu atas. Di bawah belahan kayu yang dipasang melengkung membentuk gerbang ini, dibuat sebuah garis merah seperti warna darah.

Sarana ritual adat perdamaian ‘patah panah’ pun selesai. Masing-masing Waimum menyatakan bersedia. Babi yang akan dikorbankan dengan cara dipanah, sebagai tumbal disiapkan. Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, dan Ketua DPRD Mimika, Elminus B Mom, mendekat ke lokasi untuk menyaksikan secara langsung ritual adat turun temurun tersebut. 

BACA JUGA: Parah! Setengah Juta Peserta JKN Nunggak

Warga termasuk aparat keamanan yang berada di lokasi ritual adat diminta menyingkir. Menurut pembawa acara yang juga tokoh masyarakat Kwamki Narama, Yohanis Magai, bahwa ritual adat itu dipercaya sangat sakral. Di lokasi hanya dibutuhkan Waimum masing-masing pihak yang bertikai. 

“Tolong menyingkir, kosongkan lokasi ini. Mereka (Waimum) mau bikin adat. Hanya mereka yang perlu ada di lokasi. Nanti ada pemanahan babi, jangan sampai kena darahnya dan ikut menjadi korban,” kata Magai. 

Ritual adat ‘panah babi’ pun dimulai oleh kubu bawah. Seekor babi dipanah lalu dibuang melintasi garis pembatas kedua pihak. Setelah itu, ritual serupa dilakukan kubu atas. Panah babi ini menandakan kedua pihak dinyatakan berdamai.

Waimum kedua belah pihak kemudian saling bersalaman dengan melintasi garis pembatas, untuk meyakinkan bahwa konflik telah berakhir. Dimana sebelum ritual itu dilakukan, kedua pihak saling menjaga jarak. Mereka meyakini ritual tersebut tidaklah mudah. Melainkan sangat sakral dan butuh berbagai tahapan mediasi.

Usai kedua belah pihak saling bersalaman, masing-masing Waimum lalu menyerahkan busur dan panah kepada Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, dan Ketua DPRD Mimika, Elminus B Mom. Penyerahan alat perang ini menandakan konflik telah berakhir atas keinginan pemerintah daerah. 

Tidak sampai disitu, Ketua DPRD lalu menyerahkan busur dan panah kepada Kapolres Mimika, AKBP Yustanto Mujiharso, Artinya, konflik telah berakhir dan hukum berlaku pada siapapun yang melakukan aksi kriminalitas di kemudian hari.

“Jadi mulai sekarang ini (Selasa 17/5) sudah aman. Saya serahkan panah itu (kepada Kapolres) sebagai lambang bahwa perang telah selesai, dan saatnya hukum yang dijalankan,” tandasnya.

Ada yang unik dari prosesi adat perdamaian ini. Dimana babi yang dipanah tadi dibiarkan mati lalu dibuang. Babi itu tidak dimakan. Konon, menurut warga setempat, jika babi itu dimakan, akan menimbulkan malapetaka. Atau bahkan kematian. Kemudian, apabila ada oknum dari kedua pihak melanggar adat tersebut, maka yang bersangkutan akan dikenakan denda yang sangat berat. Masyarakat Papua percaya, bahwa ritual adat ‘patah panah’ begitu sakral dan tidak bisa dipermainkan. (sevianto pakiding/adk/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Senator Mervin: Segera Atasi Permasalahan KDRT


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler