Mendagri: Tak Semua Dinasti Politik Korup

Rabu, 04 Januari 2017 – 08:20 WIB
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - JPNN.com - Tertangkapnya Bupati Klaten Sri Hartini oleh KPK menambah panjang deretan bukti bahwa dinasti politik erat dengan praktik korupsi. Wacana untuk mengharamkan dinasti politik pun kembali dikemukakan sejumlah pihak.

Meski begitu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tampaknya tak peduli dengan aspirasi tersebut. Dia tetap berpandangan bahwa politik dinasti tidak berkorelasi langsung dengan perbuatan korupsi.

BACA JUGA: Sori, Mendagri Ogah Kompromi dengan Ranperda APBD DKI

”Sebagai orang politik, saya kira sah-sah saja kalau para pengamat menilai, kasus yang ada, mayoritas dari dinasti. Tapi tidak semuanya. Kebetulan saja ada 3-4 daerah,” ujar Tjahjo, Selasa (3/1).

Terkait dinasti politik, ia melihat setiap orang punya hak berpolitik. Maka tak relevan jka hubungan kekeluargaan menjadi batu penghalang hak tersebut. Jadi bagi politisi PDIP ini dinasti politik sah-sah saja.

BACA JUGA: Pemerintah Angkat Tangan Soal Politik Dinasti

Untuk diketahui, pemerintah sendiri bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengatur hal ini dalam Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Namun Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal Pasal 7 huruf r UU No.8/2015 tentang Pilkada yang diketok 8 Juli 2015.

BACA JUGA: Tjahjo Lantik Irjen Carlo Tewu Jadi Pj Gubernur Sulbar

Atas dasar itu Tjahjo menyebut bahwa tak ada jaminan pola politik apapun bisa menjauhkan seseorang dari korupsi, semua kembali pada kualitas pemimpin.

”Tidak ada jaminan. Jangan dinasti politik ini dijadikan sebuah vonis penyebab korupsi,” imbuhnya.

Tjahjo mengaku, kebocoran keuangan di daerah itu di 2017 hendak dicegah melalui beberapa kiat sesuai arahan Presiden Joko Widodo.

”Pertama, menerapkan pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan standar akuntansi pemerintah,” ujar Tjahjo.

Selanjutnya, perangkat pemerintahan di daerah diminta melakukan sistem pengendalian internal. Caranya dengan memetakan risiko, membangun sistem pengendalian keuangan dan melakukan pengawasan internal.

Ketiga, jajaran pejabat juga harus melakukan pengawasan manajemen keuangan.

Hal tersebut dimulai dari pengkajian atau review dokumen perencanaan dan review dokumen anggaran pada saat sebelum menetapkan APBD.

Tujuannya agar semua peruntukan keuangan telah tepat sasaran dan kebutuhan publik.

Keempat, amanat bagi inspektorat Kemendagri dan inspektorat daerah melakukan pengawasan dengan fokus area yang berisiko rawan korupsi.

Seperti yang sudah sering dijelaskan, area rawan yakni seputar perizinan, hibah bansos, pajak restribusi, pengadaan barang dan jasa serta perencanaan anggaran. Masih untuk inspektorat, yakni memperkuat pengendalian atas kinerja inspektorat daerah untuk pengawasan akuntabilitas keuangan.

”Keenam, Kemendagri melakukan pengendalian atas kinerja satgas sapu bersih pungutan liar di daerah,” imbuh Tjahjo.

Kementerian Dalam Negeri sendiri disebut telah melakukan pengendalian khusus atas rencana aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Salah satu cara yang ditempuh adalah transparansi pengelolaan keuangan untuk diakses publik.

Untuk mengimbangi hal tersebut, daerah harus melakukan probity audit (penilaian independen) atas pengadaan barang dan jasa yang berpotensi penyelewengan, penggunaan anggaran dan sumber daya yang besar. Terakhir, daerah harus membuat unit pengaduan masyarakat.

Berbeda dengan Tjahjo, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menyoroti kebobrokan dinasti politik.

Meski demikian, ia tak hendak menyudutkan MK yang membatalkan pasal dalam UU Pilkada. Donal lebih memberi perhatian pada kualitas pemilih untuk menjauhkan Pemimpin Daerah dari dinasti politik.

Menurutnya perlu ada pendalaman informasi dari pengguna hak suara atas seseorang yang akan dipilihnya. Harapannya dengan mengetahui latar belakang dan mutu pasangan calon maka dinasti politik bisa dicegah.

”Kewenangan pemilu itu di pemilih. Dinasti politik tidak akan tumbuh dan terbonsai kalau pemilih tidak memilih kelompok dan keluarga yang terafiliasi dinasti politik, dia akan berkuasa di Parpol tapi tidak di rezim pemerintahan,” jelas Donal.

Lebih lanjut ia juga melihat sisi buruk dari dinasti politik dalam melanggengkan kekuasaan. Mereka diaebut Donal melibatkan biaya besar untuk meraup dukungan di daerah. Untuk memberi asupan kantong suara dibutuhkan dana yang tak sedikit.

Imbasnya jelas akan mengarah ke upaya pengembalian modal saat berkuasa. ”Kalau itu diakumulasikan maka memicu orang untuk mengeluarkan biaya lebih dan memicu kasus korupsi muncul,” demikian Donal. (adn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ahok Bikin Mendagri Berada di Posisi yang Sulit


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler