Mengajar Demi Pendidikan Anak Indonesia di Malaysia

Rabu, 21 Agustus 2013 – 05:01 WIB
Bibiana Pulo Beda. Foto: Natalia/JPNN

jpnn.com - "Saya menjadi guru di tanah rantau, karena saya ingin anak Indonesia di Malaysia menjadi anak yang cerdas"

Kalimat sederhana ini terlontar dari bibir Bibiana Pulo Beda (44), seorang guru asal pulau Adonara, Flores Timur, NTT yang menjadi guru di Keningau, Sabah Malaysia. Perempuan bertubuh kurus kecil ini tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk menjadi guru. Jiwanya terpanggil sebagai guru setelah melihat kenyataan pemerintah Malaysia tidak lagi mengizinkan anak Indonesia mengenyam pendidikan di negara itu. Kecuali jika berganti kewarganegaraan.

BACA JUGA: Gowes Pertama, Jantung Berdebar seperti saat Jatuh Cinta

Laporan: Natalia Laurens-Jakarta

Melihat keterpurukan anak-anak yang kehilangan masa sekolah, akhirnya Bibiana dan enam rekannya membentuk sebuah sekolah, Budi Luhur 01 di Keningau, Sabah.

BACA JUGA: Adelana, si Gadis Pemalu itu Ingin jadi Polisi

"Di sekolah kami ada tujuh guru. Dulu kami hanya ada 40 siswa, sekarang kami bisa mendidik 589 siswa anak Indonesia," tutur Bibiana pada JPNN di kompleks Istana Negara, Jakarta, (20/8).

Enam guru yang membantu Bibiana di antaranya Lusia Lou Beda, Yohana Bala Tokan yang sekampung dengannya, Sukiraman dari Buton, Sulawesi Tenggara,  Nurokhman dari Jakarta, Reida dari Toraja, dan Sukirman dari Pulau Lembata, NTT. Ia mengaku, mereka saling menyemangati dalam mendidik anak-anak yang berjumlah tidak sepadan dengan jumlah tenaga pendidik.

BACA JUGA: Pemanasan di California, Menuju Aspen Sehari Lebih Dini

Dengan jumlah tenaga pendidik yang kecil, Bibiana mengaku berbagi tugas mengajar semaksimal mungkin dengan rekan-rekannya. Ia mendapat tugas mengajar dari pukul 07.00 hingga pukul 12.00 dari kelas I hingga kelas 5 di sekolah dasar. Setelah satu jam beristirahat, ia kembali melanjutkan mengajar hingga pukul 17.00 di SMP. Jam penuh mengajar itu, tidak membuat Bibiana lelah. Malam hari, setelah beristirahat sebentar, ibu dua anak ini melanjutkan mengajar tenaga kerja Indonesia (TKI) yang buta huruf.

"Siswa kami semua orang Indonesia. Kebanyakan dari NTT dan Sulawesi. Kami bahagia bisa membuat mereka pintar," sambungnya sambil tersenyum.

Kebanyakan murid Bibiana berasal dari keluarga pas-pasan seperti buruh di kebun kelapa sawit, buruh bangunan, petani maupun pekerja rumah tangga. Dengan kehidupan pas-pasan, para orangtua murid tidak harus membayar mahal untuk bersekolah. Cukup memberikan 10 ringgit per bulan untuk para guru. Bibiana mengungkapkan, jumlah itu cukup membantu, karena para guru juga mendapat tunjangan dari pemerintah pusat.

"Kami terimakasih karena pemerintah juga memberi tunjangan untuk kami, ada dana BOS per triwulan. KBRI juga membantu kami sehingga kami terus berkembang," ungkap Bilbina.

Meski sekolahnya hanya bangunan sederhana setengah tembok, Bilbina mengaku bangga bisa membawa anak didiknya menjadi anak yang cerdas. Angkatan pertama sekolahnya, lulus 90 persen saat itu. Sementara itu di angkatan berikutnya, anak didiknya lulus 100 persen. Bilbina menganggap itu hadiah dari kerja kerasnya bersama rekan-rekannya.

"Anak-anak kami juga dapat beasiswa dari pemerintah. Kami sangat senang. Biarpun kami hanya lulusan SMA dan SPG, kami bahagia bisa mendidik anak-anak kami," terangnya.

Bibiana pun tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya setelah mengabdi bertahun-tahun, kini dirinya diminta pemerintah pusat untuk hadir di Istana Negara dalam perayaan HUT Kemerdekaan RI dan bersilahturahmi bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono. Bersama satu rekannya, Bibiana akhirnya sampai di Jakarta untuk pertama kalinya.

"Bahkan mimpi pun saya tidak pernah membayangkan ke Istana Negara. Ini karena campur tangan Tuhan, sehingga saya bisa ada di sini. Seperti mimpi rasanya bisa berfoto dengan Presiden dan Ibu Negara, " kata Bibiana dengan mata berbinar.

Sesaat mata Bibiana menyapu isi ruangan Istana Negara."Gedung ini besar sekali, megah sekali," pujinya dengan wajah polos.

Bibiana sudah bertahun-tahun di tanah rantau Negeri Serumpun. Sesekali, ia mengaku, terbesit rindu pada keluarga besarnya di Pulau Adonara. Namun, ia enggan meninggalkan sekolah tempat ia mengabdi. Ia hanya menyempatkan diri setahun sekali untuk pulang ke kampung halaman.

"Saya rindu sekali kampung saya, tapi saya tidak boleh lepas sebagai guru karena itu anak-anak bangsa sendiri yang membutuhkan pengabdian saya. Saya bahagia dan akan tetap melanjutkan tugas saya sebagai guru," tutup Bibiana.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Berkarir 13 Tahun, Tidak Punya Uang, tapi Dipercaya Orang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler