Amanda, seorang mahasiswa asing yang bekerja di Australia, menyadari dia sedang dieksploitasi oleh majikannya dan dapat melaporkan mereka ke lembaga pengawas Fair Work Ombudsman (FWO).
Namun mengapa dia tidak melakukannya?
BACA JUGA: Richard Branson: Vaksinasi Harus Jadi Prioritas Australia Saat Ini
Mahasiswi berusia 25 tahun ini berharap bisa melewatkan sisa waktu enam bulan sebelum kembali ke Indonesia untuk magang. Atau lebih baik lagi bila mendapatkan kerja paruh waktu di bidang yang dia pelajari, bisnis internasional.
Namun hal itu tidak tercapai.
BACA JUGA: Migran Baru di Australia Harus Menunggu Bertahun-tahun untuk Mendapat Tunjangan Sosial
Sebaliknya, Amanda kini bekerja paruh waktu di dua tempat, dengan bayaran kurang dari ketentuan upah kasual minimum $24,80 per jam.
Satu di restoran di pusat kota dengan upah $18 per jam, dan kerja lainnya di kafe di daerah Hawthorn dengan bayaran $15 per jam.
BACA JUGA: Australia Berjanji Tetap Buka Pintu untuk Pemetik Buah Asal Timor Leste
Untuk kedua pekerjaan ini, dia dibayar secara tunai dan ia merasa tidak punya banyak pilihan.
"Pekerjaan apa pun lebih baik daripada tidak bekerja sama sekali," ujar Amanda kepada ABC.
"Pendidikan adalah prioritas saya saat ini. Jadi meskipun bukan pekerjaan penuh, tak apa-apa selama saya memiliki pekerjaan ini," katanya.
Laporan media telah sering mengungkap mahasiswa asing yang dieksploitasi di Australia.
Meskipun sebagian besar sadar mereka dibayar rendah, sangat sedikit yang melaporkan hal itu.
Laporan Mahasiswa Internasional dan Pencurian Upah di Australia yang diterbitkan tahun lalu menemukan lebih dari tiga perempat responden dibayar di bawah upah minimum per jam. 20 persen bahkan bekerja dengan upah hanya $12 per jam atau kurang.
Sementara Survei Pekerjaan Migran Nasional 2016 menemukan 10 persen mahasiswa internasional yang dibayar rendah menindaklanjuti kasusnya. Hanya 18 persen dari mereka melapor ke FWO. Mengaku 'puas' dengan pekerjaannya
Menurut Profesor Alex Reilly, direktur penelitian hukum dan kebijakan publik pada Universitas Adelaide, sejumlah besar mahasiswa asing justru mengaku "puas" dengan pekerjaan mereka meskipun dibayar di bawah upah minimum.
Profesor Alex menjelaskan banyak mahasiswa asing yang memandang pekerjaan dengan bayaran rendah sebagai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman, bertemu warga Australia dan meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka.
"Ada alasan-alasan lain untuk bekerja. Jadi bukan hanya soal gaji," ujarnya.
Survei yang dilakukan oleh Prof. Alex dan rekan-rekannya menemukan 56,9 persen mahasiswa internasional "merasa beruntung karena memiliki pekerjaan dan berterima kasih kepada majikan mereka".
Survei tersebut juga menemukan bahwa 32,4 persen mahasiswa internasional yang dibayar rendah merasa senang dengan "karena teman-teman mereka juga dibayar dengan jumlah yang sama". 'Hanya mencari pengalaman'
Dito, mahasiswa asal Indonesia yang tiba di Melbourne pada akhir 2019, kepada ABC mengaku bayaran di bawah upah minimum sudah dianggap wajar oleh mahasiswa internasional.
Dia setuju untuk bekerja di sebuah restoran di South Melbourne dengan bayaran $11 per jam selama bulan pertama dan kemudian $12 per jam setelah itu.
Dito yang masih dibiayai oleh orangtuanya mengatakan, bayaran tersebut lumrah di kalangan pekerja restoran sehingga dia memutuskan bekerja satu hari dalam minggu untuk mendapatkan pengalaman.
Dia mengaku tidak keberatan dengan upahnya yang di bawah standar karena dia belum pernah bekerja di bidang tersebut sebelumnya.
"Saya melakukannya hanya untuk mencari pengalaman," katanya. Korban khawatir melaporkan eksploitasi
Menurut Profesor Alex, sejumlah mahasiswa asing tidak melaporkan kasus mereka karena mereka bekerja melebihi ketentuan maksimal jam kerja yang diperbolehkan.
Mereka khawatir dapat mempengaruhi visa mereka bila ketahuan.
"Beberapa mahasiswa mungkin bekerja lebih karena mereka membutuhkan uang lebih banyak. Mereka sangat takut melapor karena melanggar persyaratan visa dan ada risiko dideportasi dan tidak dapat menyelesaikan kuliah," jelasnya.
Anggaran Australia yang diajukan pemerintah awal Mei lalu telah membatalkan ketentuan pembatasan jam kerja 40 jam per dua minggu bagi mahasiswa asing di sektor perhotelan dan pariwisata.
Profesor Alex mengatakan mahasiswa seharusnya tidak perlu takut untuk melaporkan situasi mereka di tempat kerja.
"Fair Work Ombudsman tidak akan membuka informasi Anda ke lembaga lain. Jika Anda melapor, mereka akan menyimpan informasi Anda," katanya.
Cerita eksploitasi ini sudah akrab bagi Manorani Guy, salah satu pendiri VicWISE, LSM yang membantu mahasiswa internasional dengan masalah ketenagakerjaan.
Dalam banyak kasus, menurut Manorani, mahasiswa internasional mengalami kesulitan finansial.
"Untuk seorang mahasiswa yang dalam situasi bertahan hidup, untuk dapat makan dan membayar segala tagihan lebih penting daripada khawatir tentang eksploitasi," katanya.
"Sejumlah mahasiswa menyukai bagaimana majikan menjaga mereka, merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga," katanya.
"Uang yang mereka hasilkan cukup untuk membayar tagihan dan ditambah pula dengan adanya kehidupan sosial," ujar Manorani.
"Mereka senang dengan kondisi mereka sekarang," ucapnya. Hak kerja penduduk sementara sama dengan hak warga negara
Menurut FWO, mahasiswa asing dapat melaporkan kasus mereka "tanpa perlu merasa takut" visanya akan dibatalkan.
Juru bicara FWO menyebutkan pihaknya memprioritaskan kasus yang melibatkan pekerja migran dan pemegang visa, termasuk mahasiswa internasional yang "rentan dieksploitasi".
Pada tahun 2019/20, 44 persen kasus yang diajukan FWO ke pengadilan melibatkan pekerja pemegang visa dengan nilai upah $1,7 juta berhasil dipulihkan.
"Semua pekerja di Australia memiliki hak yang sama, tanpa memandang kewarganegaraan atau status visanya," kata juru bicara FWO.
"Fair Work Ombudsman memiliki perjanjian dengan Departemen Dalam Negeri yang disebut Assurance Protocol, di mana pemegang visa dapat meminta bantuan kami tanpa takut visa mereka dibatalkan karena pelanggaran persyaratan visa terkait pekerjaan," jelasnya.
Informasi tentang bagaimana dan kapan melaporkan kekurangan pembayaran tersedia dari website FWO.
FWO juga menawarkan layanan penerjemah gratis dan pelaporan anonim, yang dapat diakses dalam 16 bahasa selain bahasa Inggris.
Juru bicara Departemen Dalam Negeri Australia membenarkan adanya kesepakatan dengan FWO itu.
Ia mengatakan ada beberapa persyaratan dalam perjanjian tersebut, termasuk korban secara aktif membantu FWO dengan pertanyaannya, berkomitmen mematuhi persyaratan visa di masa depan dan hanya melanggar persyaratan terkait pekerjaan dari visa mereka. Bukan hanya pekerja yang harus peduli
Menurut Profesor Alex, bukan hanya pekerja yang perlu khawatir tentang pencurian upah.
"Saat ini kita berada dalam situasi yang menarik, karena sedikitnya mahasiswa asing yang masuk, khususnya di industri pertanian, maka sangat dibutuhkan tenaga kerja," ujarnya.
"Salah satu alasan mengapa kita tidak dapat menemukan pekerja, yaitu karena upah rendah sudah membudaya, sehingga pekerja tidak mau datang," katanya.
"Mungkin ini saat yang tepat untuk membicarakan soal upah dan mengapa perlu ditingkatkan," kata Prof. Alex.
Pekerja di Australia yang ingin melaporkan soal gaji atau hak-hak mereka dapat Fair Work Ombudsman secara langsung di nomor 13 13 94, melalui layanan penerjemah gratis di nomor 13 14 50 atau melalui website www.fairwork.gov.au.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wiraswasta yang Mengawali Karier di Usia 50 Lebih Berhasil ketimbang Para Pemuda