Banyak dari mereka yang belum tiba di Australia tapi menjadi kelompok yang paling terpukul oleh Anggaran Pemerintah Federal Australia tahun ini.
Dalam pidato APBN yang disampaikan minggu lalu di parlemen di Canberra, Pemerintah Australia menetapkan masa tunggu untuk mendapatkan bantuan sosial diperpanjang hingga empat tahun.
BACA JUGA: Australia Berjanji Tetap Buka Pintu untuk Pemetik Buah Asal Timor Leste
Kebijakan itu diperkirakan akan bisa menghemat pemerintah selama lima tahun ke depan sebesar A$671 juta (sekitar Rp7,5 triliun).
Namun, mereka yang sudah ada Australia mengatakan sistem itu tidak adil karena semua migran pada akhirnya juga akan memberikan kontribusi lewat pajak kepada negara.
BACA JUGA: Wiraswasta yang Mengawali Karier di Usia 50 Lebih Berhasil ketimbang Para Pemuda
Menurut Direktur Pusat Bantuan Imigrasi dan HAM, Gregory Rohan, mereka yang difabel dan orang-orang yang membantu mereka akan sangat terpengaruh oleh keputusan tersebut.
Sebelumnya, migran baru yang datang sebagai carer (pengasuh ) tidak harus menunggu untuk mendapat bantuan sosial, karena tugas yang mereka lakukan sudah membatasi mereka untuk melakukan pekerjaan lain.
BACA JUGA: Australia Diminta Ikut Mengawasi Aksi Densus 88 di Papua
Rohan mengatakan warga Australia yang difabel berhak dirawat di rumah sesuai pilihan mereka sendiri.
"Langkah yang diumumkan dalam APBN hanya akan membuat lebih susah dan menyulitkan mereka yang difabel ketika berurusan dengan sistem imigrasi kita," katanya.
Fouzia Mir seorang perempuan yang tinggal di Sydney mengalami gangguan penglihatan.
Dia kemudian mensponsori kakak ipar laki-lakinya ke Australia dari Afghanistan untuk membantu mengurusi putranya yang berusia 34 tahun, Walee Mir, yang harus menggunakan kursi roda dan hanya bisa berkomunikasi menggunakan iPad.
Walee Mir yang berhasil menyelesaikan beberapa kursus di sekolah kejuruaan TAFE bermimpi menjadi pengembang game komputer dan membuat aransemen musik dengan komputer.
Namun dia menghadapi masalah ketika komputernya rusak tahun lalu.
Pamannya yang asal Afghanistan membantu Walee mandi, menyediakan makanan, membawanya pergi berbelanja dan kegiatan lain.
"Saya memiliki begitu banyak sepupu, mereka hidup di berbagai belahan dunia namun ibu saya sangat dekat dengan paman saya dan keluarganya," kata Walee Mir.
"Memiliki mereka yang bisa membantu ini bagus untuk masa depan saya, namun hari esok tidaklah menjanjikan bagi siapa saja termasuk ibu saya, jadi mereka harus mengambil tugas itu ketika ibu saya sudah tidak ada lagi."
Walee Mir mengatakan keluarganya sudah menghabiskan banyak uang selama 10 tahun lamanya untuk mendapatkan visa pengasuh bagi pamanya.
"Tanpa paman saya, saya harus mengandalkan pada sistem NDIS atau tinggal di rumah perawatan bersama yang lain," katanya.
Terapi ibu Walee, yang tiba di Australia 20 tahun lalu mengatakan bahkan dengan Tunjangan Sosial (Career Allowance), kakak iparnya mengalami kesulitan untuk menghidupi istri dan anak-anaknya.
"Mereka hidup dalam kesulitan karena dia satu-satunya dalam keluarga yang mendapatkan uang dari Centrelink untuk mengurusi anak saya," katanya.
Dia mengatakan mendapatkan pekerjaan di Australia bagi migran yang berasal dari negara yang bukan berbahasa Inggris sangatlah sukar.
Mereka perlu mendapat pertolongan untuk menyesuaikan diri dan juga pengalaman atau kualifikasi pendidikan tertentu.
Pemerintah harus membuat hidup lebih mudah bagi migran baru katanya, bukan malah lebih sulit. Pemotongan tunjangan akan membuat lebih mandiri
Dalam pidato APBN minggu lalu pemerintah Australia mengumumkan bahwa masa tunggu untuk mendapatkan Tunjangan Sosial bagi "Carer Payment, Carer Allowance, Family Tax Benefit Part A and B, Parental Leave Pay and Dad and Partner Pay yang sebelumnya adalah antara nol bulan sampai dua tahun, sekarang diperpanjang sampai empat tahun.
Masa tunggu empat tahun sudah diberlakukan bagi tunjangan seperti JobSeeker Payment, Youth Allowance, Austudy, Parenting Payment dan beberapa tunjangan lain yang berhubungan dengan pekerjaan.
Perubahan ini menurut Departemen Tunjangan Sosial Australia hanya akan memengaruhi mereka yang mendapatkan status penduduk tetap (permanent resident) setelah 1 Januari 2022, dan migran yang datang ke Australia dengan visa kemanusiaan mendapat pengecualian.
"Perubahan ini dilakukan untuk memastikan adanya harapan yang sama dari para migran terhadap tunjangan sosial dan menciptakan sistem yang lebih jelas dan lebih mudah dimengerti," kata juru bicara Departemen Tunjangan Sosial.
"Ini juga mendukung migran baru yang datang untuk lebih mandiri, dan meningkatkan keberlanjutan sistem tunjangan sosial kita." Pemotongan akan menyulitkan perempuan korban KDRT
Direktur eksekutif salah satu lembaga yang membantu para migran di Australia, Settlement Council of Australia, Sandra Wright mengatakan pemerintah akan menghemat dana untuk ini namun dampaknya bagi masyarakat akan sangat terasa.
Menurut Sandra meski banyak migran tidak mengharapkan bantuan dari pemerintah ktika mereka tiba di Australia namun kadang mereka menghadapi hal-hal yang tidak terduga seperti pasangan mereka meninggal, atau jatuh sakit atau adanya keperluan mendadak bagi pengasuhan tertentu.
"Saya kira kita harus memperhatikan bahwa dalam sebuah hubungan selalu ada dua pihak," kata Sandra Wright.
"Migran membawa banyak hal baru ke negeri ini namun kita juga harus membantu mereka ketika mereka memerlukannya."
Dia menambahkan, banyak migran baru yang mengandalkan tunjangan sosial adalah perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
"Beberapa dari perempuan ini sangat menggantungkan diri pada tunjangan Family Tax Benefit dan bayaran lainnya," katanya.
"Kadang sulit seklai bagi mereka yang ingin meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan di rumah tangga untuk mendapatkan bantuan keuangan, dan sekarang sumber keuangan itu tidak ada lagi akan membuat situasi semakin sulit."
Sandra Wright mengatakan, untuk mempertahankan masyarakat multibudaya di Australia, penting sekali bagi pemerintah untuk memberikan dukungan ketika mereka tiba di sini.
"Ini penting bagi kohesi sosial, tema besar dalam APBN tahun ini, dan kohesi sosial akan mendapat dukungan bila masyarakat di dalamnya mendapat perlindungan yang setara termasuk dalam soal keuangan," katanya.
Kristina Budiman yang pindah dari Indonesia ke Australia sebagai migran terampil 10 tahun lalu mengatakan, meski keluarganya tidak mengharapkan bantuan dari pemerintah sama sekali, namun masa transisi untuk hidup di sini tidaklah mudah.
"Ketika kami tiba di sini pada tahun pertama dan kedua, kami tidak mengenal siapapun. Tidak ada orang yang bisa membantu kami," katanya.
Dia dan suaminya, Petter Sandjaya, memiliki anak pertama setelah mereka mendapat status PR, dan mendapat tunjangan Family Tax Benefit dan bonus karena memiliki anak.
"Kami sangat berterima kasih atas hal tersebut," katanya.
"Ketika kami tiba di Australia kami harus meminjam A$10 ribu (sekitar Rp100 juta) untuk membayar agen migrasi, jadi ketika kami bekerja kami harus tetap membayar uang tersebut."
"Jadi tunjangan yang kami dapat itu sangat membantu."
Menurut Kristina Budiman, migran seharusnya mendapat perlakuan yang sama dengan masyarakat Australia lainnya.
"Kami memang mendapat bantuan, tetapi setelah kita mendapatkan pekerjaan yang bagus, kami juga bisa membayar kembali dengan pajak, jadi saya kira tidaklah adil jika para migran harus menunggu selama empat tahun," katanya.
Laporan tambahan dari Hellena Souisa
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengintip Kesenjangan Luar Biasa Antara Kedua Sisi Perbatasan Israel-Gaza