Atta Halilintar mengunggah fotonya bersama Presiden Joko Widodo di akun Instagram-nya pada 28 Juli yang lalu.
Di belakang mereka terparkir pesawat kepresidenan.
BACA JUGA: Jumat Berkah Jogja, Inisiatif Bisnis Tarasya di Tengah Pandemi
Di bawah foto itu Atta menulis caption: "Diajak Bapak Jokowi ke mana ya kita?" #AirForceOne
Pada saat yang bersamaan, artis Raffi Ahmad juga mengunggah cuplikan pendek Reels di lapangan udara bersama dengan sejumlah menteri, Presiden Joko Widodo dan Ibu Iriana Joko Widodo.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Keracunan Makanan Massal di Kantor TikTok Singapura
Raffi mengarahkan kameranya kepada Mensesneg Pratikno dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.
"Pak Pratik, mantap?" tanya Raffi yang disahuti Pratikno dengan acungan jempol.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Petinggi Hamas Dilaporkan Tewas Terbunuh di Iran
Raffi juga menanyakan hal yang sama ke Basuki sebelum ia menyambut Presiden Jokowi dan Ibu Iriana yang menghampirinya dan istrinya, artis Nagita Slavina, atau akrab dipanggil Gigi.
"Terima kasih sekali lho, Mbak Gigi," kata Iriana sambil menyalami Nagita.
Hari itu, Minggu, 28 Juli 2024, Presiden Joko Widodo dan beberapa menteri bertolak mengunjungi Ibu Kota Nusantara (IKN)
Dalam kunjungan itu, Jokowi mengajak sederet influencer, yakni pasangan Raffi Ahmad-Nagita Slavina serta Atta Halilintar-Aurel Hermansyah, Irwansyah-Zaskia Sungkar, Ananda Omesh-Dian Ayu Lestari, Ferry Maryadi, Gading Marten, Poppy Sovia, dan Youtuber Willie Salim.
Kepergian Presiden Jokowi ke IKN di bawah sorotan publik menjelang persiapan upacara ulang tahun kemerdekaan RI yang akan dilangsungkan untuk pertama kalinya di sana.
Apalagi, beberapa target dan rencana di IKN yang sebelumnya santer digadang-gadang Jokowi ternyata belakangan tidak sesuai harapan, sehingga muncul berbagai analisis dan spekulasi tentang masa depan IKN.
Presiden Jokowi juga batal menggelar rapat perdana kabinet di IKN yang dijadwalkan digelar pada tanggal 30 Juli.
Seperti yang dilaporkan sejumlah media, Menteri BUMN Erick Thohir, Menpora Dito Ariotedjo, dan Menhan sekaligus presiden terpilih Prabowo Subianto sedang bertolak ke Paris pekan lalu untuk mengikuti pembukaan Olimpade 2024.
Eric Thohir dan Dito Ariotedjo telah tiba di Jakarta dan langsung berkantor pada 29 Juli, namun Prabowo melanjutkan kunjungan kerjanya ke Serbia dan Turki.
Sebagai gantinya, Presiden Jokowi menggelar rapat dengan Menteri PUPR dan jajaran Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN).
Di Kalimantan Timur, Presiden Jokowi mengajak para influencer bersepeda motor meninjau pembangunan jalan tol IKN menuju Jembatan Pulau Balang, Kabupaten Penajam Paser Utara sebelum meresmikannya.
Dari foto-foto yang diunggah di laman resmi presiden dan unggahan para influencer di masing-masing akun media sosial mereka, terlihat rombongan juga mengunjungi istana negara dan makan malam bersama.Resep lama yang problematik
Mensesneg Pratikno mengatakan mengajak artis dan influencer adalah salah satu bentuk sosialisasi ke masyarakat.
"Ya, namanya IKN, kan, perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Inginnya kita mengajak siapa sajalah agar suasana IKN itu bisa terdiseminasikan ke masyarakat," kata Pratikno kepada wartawan di Jakarta (01/08).
Peneliti dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha menilai keputusan Presiden Jokowi memboyong para influencer ke IKN menunjukkan "tidak ada perubahan sama sekali dari cara pemerintah mengkomunikasikan kebijakannya ke publik."
"Dalam artian hal-hal yang tidak sedang berjalan dengan baik, dikomunikasikan dengan cara menggunakan influencer," kata Egi kepada ABC Indonesia.
Ini memang bukan pertama kalinya pemerintah menggandeng influencer.
Dari sejumlah data yang dihimpun ABC Indonesia, dalam kurun waktu 2020 sampai 2024 ini, tercatat pemerintah melibatkan influencer setidaknya tujuh kali.
Mulaii dari mensosialisasikan penanganan virus corona, kampanye 10 titik destinasi baru untuk mempromosikan pariwisata, rancangan undang-undang Cipta Kerja, kereta cepat, RKUHP, sosialisasi penerimaan peserta didik baru, dan kini IKN.
Egi mengatakan pemerintah lagi-lagi menggunakan influencer untuk sebuah kebijakan atau proyek yang bermasalah.
"IKN ini investasinya tidak ada yang masuk dari luar negeri, lalu kami juga menemukan masalah dari sisi pengadaan barang dan jasanya, ... dan proyek tersebut tidak berjalan sesuai target," ujar Egi.
"Pemerintah pada akhirnya kemudian menggunakan jasa influencer untuk mengelabui publik, supaya [proyek] itu terlihat berjalan dengan baik dan anggaran publik digunakan untuk memberikan informasi yang tidak patut atau tidak tepat bagi publik."
Akademisi dari Universitas Indonesia dengan kepakaran kebijakan publik, Lina Miftahul Jannah menilai pelibatan influencer bisa jadi sah-sah saja, "tetapi kata kuncinya adalah evidence-based, harus berdasarkan bukti di lapangan."
"Sebagai contoh, pembangunan IKN katanya tidak merusak lingkungan, tapi faktanya ada lingkungan yang dikorbankan, yakni hak masyarakat adat, dan ini bukan kajian satu-dua orang, tapi dilakukan oleh banyak akademisi."
Menurut Lina, masalah muncul ketika pemerintah mengabaikan bukti dan sains yang seharusnya menjadi basis kebijakan atau evidence and science-based policy.
"Sehingga ketika pemerintah harus mengemasnya agar menjadi dianggap 'legal' dan diketahui semua orang, ... nah, orang Indonesia kan mudah percaya dengan influencer," jelas Lina.
Senada dengan Lina, Egi juga meminta pemerintah tidak hanya menginformasikan hal positif dari pembangunan IKN kepada publik, tapi juga hal yang tidak positif.
"Misalnya, bagaimana IKN merugikan warga sekitar yang kehilangan hak atas air dan hak atas mata pencaharian."
Selain itu, Lina mempertanyakan kepercayaan Presiden Jokowi pada humas pemerintah karena lebih memilih menggunakan influencer untuk proyek resmi negara.
"Pemerintah bisa belajar dari influencer bagaimana cara mereka berkomunikasi sehingga bisa menarik perhatian masyarakat, ... jadi pelajari caranya, fungsinya, bukan menggunakan orangnya," kata Lina.'Masyarakat tidak bodoh'
Masalah lain dari pelibatan influencer ini menurut ICW adalah soal akuntabilitas dan ancaman bagi demokrasi.
Berdasarkan hasil penelusuran ICW di kanal Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dengan kata kuncil 'influencer' dan 'key opinion leader', ditemukan jika pemerintah telah mengeluarkan Rp90,4 miliar sepanjang 2014 sampai 2020 untuk influencer dan buzzer.
Egi mengaku ICW masih menelusuri terus soal ini hingga tahun 2024, dan meski data yang terbaru belum dikompilasikan, menurutnya pola yang sama masih terjadi.
"Dan permasalahan yang sama sejak 2020, bagaimana transparansi dan akuntabilitasnya itu tidak pernah terjadi," kata Egi.
Baik Lina maupun Egi sama-sama menilai pelibatan influencer, dan dalam kasus tertentu buzzer, pada proyek pemerintah mengancam demokrasi.
"Karena diskusi yang semestinya sehat di media sosial atau di tempat lain akhirnya terdistorsi dengan pengaruh buzzer."
"Jadi, menuntut kepada pemerintah agar buzzer tidak lagi digunakan adalah sebuah keharusan," kata Egi,
"Pada batas tertentu ketika influencer memberikan dampak yang sama dengan buzzer, mereka juga harus dihentikan penggunaannya, apalagi pengaruh mereka kuat dan ada anggaran negara dalam jumlah besar yang digunakan," jelasnya lagi.
Tetapi di sisi lain, Lina masih percaya pada kemampuan masyarakat untuk mencerna informasi.
"Masyarakat kita tidak bodoh-bodoh amatlah, kalau pun pemerintah membayar influencer, ya kita tunggu saja sampai seberapa lama bisa bertahan, karena komentar masyarakat juga tidak baik-baik saja," ujar Lina.
"Masyarakat kita sudah makin cerdas sekarang, bukan masyarakat yang pegang hape tapi enggak bisa konfirmasi ke mana-mana."
Lina menambahkan diperlukan media dan jurnalisme yang berkualitas dan independen dalam menyampaikan informasi.
Selain itu dibutuhkan juga organisasi yang tidak berplat merah, seperti organisasi non-profit (NGO) dan akademisi, supaya publik bisa mendapat informasi yang akurat dan valid dibanding kemasan manis informasi influencer yang mungkin tidak sepenuhnya benar.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Patutkah Pembubaran Diri Jemaah Islamiyah Dipercaya?