Akhir Juni lalu, kelompok militan Jemaah Islamiyah mendeklarasikan pembubaran, setelah puluhan tahun melawan pemerintahan Indonesia yang demokratis serta pernah menggunakan jalan kekerasan untuk mendirikan negara Islam di Asia Tenggara.

Kelompok yang punya hubungan dengan Al Qaeda ini menjadi wajah kekerasan ekstremisme setelah melakukan serangan bom di Kuta, Bali pada tahun 2002.

BACA JUGA: Dewi Anggraeni, Jurnalis Indonesia yang Menghangatkan Hati Itu Berpulang

Serangan tersebut menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia dan 38 warga Indonesia, serta melukai 240 orang lainnya. Sebuah serangan yang meninggalkan luka mendalam bagi banyak orang, Asal-usul Jemaah Islamiah

Kelompok Jemaah Islamiyah secara resmi didirikan pada tahun 1993 oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Bashir. Keduanya adalah dua pemimpin umat yang pernah berlatih di Afghanistan. 

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Presiden Joko Widodo Bekerja di IKN Selama Tiga Hari

Jemaah Islamiyah menjadi jawaban atas jihadisme Salafi di Asia Tenggara: sebuah ideologi radikal, yang ingin mengembalikan ajaran Islam pada zaman Nabi Muhammad, tapi menurut apa yang mereka yakini. Untuk mencapainya mereka menggunakan cara-cara kekerasan, termasuk memerangi Muslim lainnya.

Mereka ingin mendirikan negara Islam di Indonesia, diikuti dengan kekhalifahan regional yang mencakup Malaysia, Singapura, dan Filipina selatan.

BACA JUGA: Serba-Serbi Pembukaan Olimpiade Paris 2024 dan Kontingen Indonesia

Jemaah Islamiyah adalah "organisasi pertama di Asia Tenggara yang secara eksplisit mengaitkan keluhan-keluhan di dalam negeri … dengan jihad secara global", kata Sidney Jones, direktur Institute for Policy Analysis of Conflict di Jakarta.

"Mereka adalah yang pertama menyadari pentingnya pelatihan di tingkat regional untuk mempersiapkan para pejuangnya berjihad di dalam negeri, karenanya ada akademi yang didirikan di perbatasan Pakistan-Afghanistan dan kemudian di Mindanao [Filipina]," tambahnya.

"Tapi mereka juga menjadi organisasi kekerasan ekstremis yang pertama di kawasan yang menolak ISIS setelah tahun 2014, karena alasan ideologi."Densus 88: Pasukan anti-teror

Setelah serangan bom di Bali, Indonesia membentuk unit khusus anti-terorisme Densus 88, yang didukung Amerika Serikat dan Australia.

Densus 88, sebagai salah satu pasukan anti terorisme paling disegani di dunia, berupaya keras membubarkan Jemaah Islamiyah saat itu.

Unit tersebut menjadi "island of excellece" di kepolisian Indonesia, kata Greg Barton, dari Alfred Deakin Institute for Citizenship and Globalisation.

Menurutnya Densus 88 lebih efektif dalam operasi anti-terorisme daripada kepolisian federal Australia akhir dekade lalu.

Aktivitas Densus 88 bersifat rahasia dan pernah berkali-kali dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pemukulan terhadap mereka yang diduga ekstrimis.

Pada tahun 2016, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia mengatakan sedikitnya 121 tersangka teroris meninggal dunia dalam tahanan sejak tahun 2007.

Dolisi Indonesia membantah penggunaan penyiksaan dan pemaksaan selama interogasi.Serangan sejak tahun 2002: Kedutaan Besar Australia, hotel-hotel asing

Meski ada tindakan keras oleh polisi anti-teror Indonesia, anggota Jemaah Islamiayh tidak pernah diam sejak tahun 2002.

Anggota meledakkan bom mobil seberat 1 ton di luar kedutaan besar Australia di Jakarta pada tahun 2004, menewaskan sembilan orang dan melukai 150 lainnya.

Di tahun 2009, anggota Jemaah Islamiah mengebom hotel JW Marriott dan Ritz Carlton di Jakarta, menewaskan sembilan orang dan melukai 41 orang lainnya.

Tahun 2021 lalu, salah satu direktur Densus 88, MD Shodiq, mengatakan unitnya sudah berhasil menangkap dan mengadili 876 anggota Jemaah Islamiyah.

"Penahanan sebagian besar, jika tidak semua, pimpinan utama Jemaah Islamiyah sudah sangat membatasi kemampuan mereka untuk mengoordinasikan operasi," kata Munira Mustaffa, direktur eksekutif konsultan keamanan Chasseur Group yang berkantor di Kuala Lumpur.

Ia mengatakan kekerasan yang digunakan Jemaah Islamiyah untuk mencapai tujuan mereka ikut menyebabkan kejatuhan mereka sendiri.

"Metode-metode brutal dan serangan besar kelompok tersebut pada akhirnya membuat rakyat Indonesia dikucilkan dunia, mengikis basis dukungan mereka, dan secara efektif merusak kegiatan operasional mereka," ujar Munira.

Pada tahun 2024, Jemaah Islamiyah belum melakukan serangan besar dalam lebih dari satu dekade.Keputusan membubarkan diri

Pada tanggal 30 Juni tahun ini, 16 anggota senior Jemaah Islamiyah mengeluarkan pernyataan yang mengumumkan pembubaran kelompoknya.

Menurut informasi yang diperoleh ABC, sekitar 130 anggota Jemaah Islamiyah dari seluruh Indonesia ikut hadir dalam acara tesebut.

Para pemimpin menegaskan komitmen mereka terhadap Republik Indonesia dan berniat untuk mematuhi hukum nasional.

Para pemimpin Jemaah Islamiyah juga mengumumkan keputusan untuk memastikan pesantren mereka mengajarkan kurikulum yang selaras dengan Islam "ortodoks."

Solahudin adalah seorang peneliti gerakan jihad dan penulis The Roots of Terrorism in Indonesia.

Dia mengatakan jika acara yang mengumumkan pembubaran tersebut difasilitasi oleh Densus 88 sendiri."

"Proses pembubaran JI tidak lepas dari peran Densus 88," kata Solahudin.

"Beberapa tahun belakangan ini Densus 88 tidak hanya fokus kepada pendekatan hard approach seperti penegakan hukum, tapi juga aktif melakukan pendekatan soft approach seperti program deradikalisasi."Menyerahkan senjata dan intelijen, tapi menghadapi ancaman

Banyak pakar yang berbicara kepada ABC sepakat jika gabungan pendekatan "keras" dan "lunak" yang dilakukan Densus 88 sangat berhasil.

"Pembubaran itu kemudian diikuti oleh langkah-langkah yang dilakukan oleh JI, yang menunjukan bahwa mereka serius membubarkan diri," jelas Solahudin.

"Misalnya, mereka menyerahkan semua senjata, amunisi dan bahan peledak kepada Densus 88. Tidak hanya itu mereka juga menyerahkan nama dan orang-orang yang masuk menjadi anggota sayap militer JI ke Densus 88."

Solahudin mengatakan pekan lalu Jemaah Islamiyah bertemu dengan Kementerian Agama Indonesia untuk mengubah kurikulum di pesantren-pesantren yang dikelola kelompok tersebut.

Namun, ia mengatakan mungkin ada anggota Jemaah Islamiyah yang menolak pembubarannya.

Serangan yang dikaitkan dengan Jemaah Islamiyah selama beberapa dekade lalu, termasuk serangan bom Bali, umumnya dilakukan oleh kelompok sempalan organisasi tersebut, bukan atas perintah langsung dari pimpinannya, kata Profesor Barton.

"Jika pengeboman dalam dua dekade terakhir merupakan hasil kerja kelompok sempalan, apa yang bisa menghentikan kelompok sempalan baru untuk melakukan pengeboman?" katanya.

"Jawabannya: tidak ada."Bayang-bayang kelompok Islamic State

Selama lebih dari satu dekade, kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Islamic State (ISIS) sudah mengaburkan Jemaah Islamiyah sebagai ancaman terorisme terbesar di Asia Tenggara.

"Contoh utama adalah kelompok Daulah Islamiyah-Maute, yang bertanggung jawab atas ledakan mematikan selama Misa Katolik di Mindanao," kata Munira Mustaffa dari Chasseur Group.

"Namun, kelompok-kelompok ini juga menghadapi kemunduran, sebagian besar karena upaya gabungan yang efektif dari kepolisian, operasi militer, dan kemitraan keamanan regional." 

Sidney Jones setuju, ia menjelaskan jika ancaman mereka "jauh lebih lemah daripada satu dekade lalu".

"Kapasitas penegakan hukum sudah menguat, dan sejumlah besar pria dan perempuan memutuskan kalau mereka lebih suka menjalani kehidupan yang mendekati normal karena berbagai alasan," katanya.

"Namun, tetap penting untuk diingat kalau jihad dapat dilakukan oleh satu atau dua orang, menggunakan senjata rakitan yang diperoleh dengan murah, serta petunjuk cara menggunakannya tersedia di internet.

"Anda tidak memerlukan sempalan Jemaah Islamiyah atau sel ISIS baru untuk melakukan serangan lain."

BACA ARTIKEL LAINNYA... Utak-atik Makan Bergizi Gratis ala Prabowo-Gibran

Berita Terkait