jpnn.com - DUNIA penegakan hukum kita kerap kali dikejutkan oleh peristiwa dan langkah pejabat publik dalam membuat kebijakan. Yang teranyar, kita dikejutkan oleh dirilisnya Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia (SE Kapolri) tentang hate speech, yakni pernyataan yang menyerang atau menista orang atau kelompok tertentu.
SE Kapolri itu secara resmi bernomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) ditandatangani oleh Kapolri Badrodin Haiti tanggal 8 Oktober 2015. Tanggapan pro dan kontra atas SE tersebut menyeruak. Banyak yang menilainya sebagai langkah politis yang terlalu protektif terhadap pemerintahan Jokowi, tapi tidak sedikit pula yang menyebut sebagai hal yang bagus.
BACA JUGA: Kemewahan Demokrasi dan Pasal Penghinaan ke Presiden RI
Aktivis Indonesia Police Watch Neta S. Pane, misalnya, seperti dikutip Fajar.co.id edisi Selasa, 3 November 2015, menyebut SE itu berlebihan karena materi tentang hate speech tersebut sudah ada dalam KUHP sehingga tidak perlu diatur lagi dengan SE Kapolri. Bahkan, Neta mengaitkan SE tersebut dengan upaya melindungi Presiden Jokowi dari kritik.
Kata Neta, "Presiden itu memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, apalagi MK sudah mencabut pasal KUHP tentang pencemaran." Melalui media yang sama, pengamat politik dan hukum Uchok Sky Khadafi menilai SE Kapolri itu membungkam demokrasi.
BACA JUGA: Masih Ada Jalan Keluar bagi Terpuruknya Rupiah
Dikutip RMOL.CO edisi 3 November 2015, Agung Suripto, pengamat politik dari UI, menyebut SE Kapolri itu menunjukkan terjadinya kemunduran demokrasi di era pemerintahan Jokowi-JK.
Anggota Komisi III DPR Desmond J. Mahesa, seperti dikutip JP.com tanggal 3 November 2015, mengatakan bahwa SE itu diÂmaksudkan untuk meredam kritik terhadap pemerintah, tetapi justru bisa mempercepat kejatuhan pemerintah. Tetapi, Arsul Sani yang juga anggota Komisi III DPR seperti dikutip oleh Okezone, 2 November 2015, mengatakan, SE Kapolri itu bagus karena mengharuskan langkah persuasif terlebih dulu bagi polisi sebelum melakukan tindakan hukum terhadap pelaku hate speech.
BACA JUGA: FIFA, Gangster, dan Korupsi
Saya sendiri diserbu sangat banyak pertanyaan, baik melalui Twitter dan pesan pendek (SMS) maupun ditanya dan ditelepon langsung oleh banyak kawan. Pertanyaan yang banyak diajukan kepada saya: Apakah boleh Kapolri mengeluarkan peraturan yang berisi hukum pidana? Bukankah SE tersebut tidak melanggar hukum karena mengancam kebebasan berekspresi dan melontarkan kritik? Apakah SE tersebut bisa diujimaterikan ke MK agar dibatalkan?
Karena jadwal kesibukan yang mendera dan belum membaca SE yang diributkan itu, semula saya hanya memberikan dua jawaban secara umum. Pertama, materi hukum pidana hanya bisa dibuat oleh legislatif (DPR bersama presiden) yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Sesuai dengan asas legalitas yang tertuang dalam pasal 1 KUHP, perbuatan pidana dan ancamannya hanya bisa diatur dengan atau di dalam UU, tidak boleh diatur dengan PP, apalagi hanya dengan SE Kapolri.
Kedua, setiap peraturan perundang-undangan yang dinilai bertentangan dengan konstitusi atau dengan peraturan yang lebih tinggi bisa dimintakan pengujian yudisial (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau ke Mahkamah Agung (MA), bergantung pada posisi hierarkisnya. Prinsipnya, di negara hukum tidak seorang pun, rakyat atau pejabat, yang tak bisa digugat ke pengadilan kalau melanggar konstitusi dan hukum.
Soalnya, apakah SE Kapolri tersebut menabrak kedua ketentuan dasar di atas? Setelah Rabu pagi, tanggal 4 November 2015 kemarin, saya membaca isi SE Kapolri itu, saya berkesimpulan tidak ada yang salah dengan SE tersebut. SE itu sama sekali tidak mengatur hal baru dalam bidang pidana.
Masalah hate speech yang disebut di dalam SE itu semua sudah diatur di dalam KUHP atau UU lain di luar KUHP seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Penanganan Konflik Sosial, dan (yang bersifat teknis operasional) Peraturan Kapolri tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Karena dari sudut isi SE Kapolri itu sama sekali tidak mengatur hal baru dalam bidang pidana, ia tidak melanggar asas legalitas. Dari sudut prosedur pun, SE Kapolri ini tidak mengatur prosedur baru di luar KUHAP dalam penanganan tindak pidana. SE ini justru berisi dorongan bagi polisi untuk melakukan tindakan persuasif dan antisipatif sebelum tindak ujaran kebencian dibawa ke proses hukum.
SE ini juga berisi dorongan antisipatif agar kalau ada tindakan yang bisa digolongkan ujaran kebencian, haruslah dilakukan pencegahan-pencegahan agar tidak meluas dan menjadi sumber kerusuhan atau kekisruhan di tengah masyarakat.
Sulit menemukan dalil untuk memerkarakan SE Kapolri ini ke MA melalui pengujian yudisial (judicial review). Sebab, selain tidak bertentangan dengan UU dan tidak memberlakukan hukum pidana baru, SE ini hanya berisi pedoman internal dalam tugas-tugas rutin polisi.
Tak kalah penting, sulit juga menemukan bagian isi yang bisa dijadikan alasan untuk menilai SE Kapolri ini sebagai produk politis untuk membungkam kritik terhadap presiden. Sebab, subjek yang dituju untuk dijaga oleh SE ini bukan pejabat, melainkan lebih ditekankan pada individu atau kelompok-kelompok masyarakat yang terkait dengan suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan (kepercayaan), ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual.
Jadi, secara hukum, tidak ada yang salah dengan SE ini. Mengapa diributkan? (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Membaca Keakraban Jokowi-Xi Jinping dan Geo Politik-Ekonomi Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi