jpnn.com - Mengapa Singapura bisa menjadi negara maju sedangkan Indonesia tidak?
Singapura menjadi negara maju karena ada kekuatan yang ditakuti. Indonesia tidak maju karena tidak takut kepada siapa pun. Jangankan manusia, kepada Tuhan pun Indonesia tidak takut.
BACA JUGA: Soal Ekstradisi Indonesia-Singapura, Ini Kata Sukamta PKS
Itu joke politik yang dilemparkan oleh pakar politik dan militer Prof. Salim H. Said di sebuah acara talk show televisi nasional. Humor satire itu mengundang tawa lebar, tetapi getir.
Indonesia yang punya penduduk 270 juta dan kaya raya dengan segala macam sumber daya alam ketinggalan jauh dari Singapura yang hanya berpenduduk empat juta orang dan nyaris tidak punya kekayaan alam apa pun.
BACA JUGA: Soal Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura, Demokrat: Jokowi Ulangi Langkah Pak SBY
Kata Salim Said, Singapura menjadi maju karena takut kepada Indonesia dan Malaysia.
Korea Selatan maju karena takut kepada Korea Utara.
BACA JUGA: RI-Singapura Teken Perjanjian Ekstradisi, Habiburokhman DPR Bereaksi
Jepang dan Taiwan maju karena takut kepada Tiongkok.
Israel maju karena takut kepada negara-negara Arab.
Prof Salim menyimpulkan bahwa faktor takut itu yang bisa membuat negara-negara menjadi maju. Indonesia tidak mengenal takut.
Bahkan kepada Tuhan pun tidak. Buktinya? Sudah disumpah dengan kitab suci, tetapi tetap korupsi.
Tentu saja itu sekadar humor. Tidak ada penelitian ilmiah yang membuktikan korelasi faktor takut dengan kemajuan sebuah bangsa.
Namun, setidaknya kenyataan empiris sudah membuktikan hal itu. Negara-negara di luar kawasan Eropa dan Amerika itu maju karena ada ancaman dari kekuatan di sekitarnya.
Salim menyebut bahwa Indonesia tak kenal takut meskipun sudah disumpah atas nama Tuhan. Buktinya, korupsi tetap merajalela. Bukan hanya duit rakyat yang dikorupsi, ‘’duit Tuhan’’ juga diembat, dana pembangunan tempat ibadah dan pencetakan kitab suci pun dikorupsi.
Arsitek kemajuan Singapura adalah Lee Kuan Yew (1923-2015). Negeri kecil yang jorok dan terbelakang bisa disulap menjadi negeri kelas satu dunia dalam tempo 30 tahun.
Di bawah pemerintahan Lee Singapura bertransformasi dengan cepat menjadi negara modern, kuat, dan makmur.
Resep pembanguan Lee disebut sebagai developmentalisme atau pembangunanisme yang memadukan kapitalisme dengan otoritarianisme. Gaya ini sama-sama dipakai oleh Soeharto di Indonesia dan Mahathir Mohammad di Malaysia.
Ketiga negara itu berhasil menerapkan sistem kapitalisme tanpa demokrasi liberal. Ketiga pemimpin itu bisa memberikan kemajuan ekonomi tanpa memberikan kebebasan politik. Ketiga tokoh itu memimpin dengan tangan besi dengan tingkat sukses yang berbeda-beda.
Singapura tetap bertahan sebagai negara yang makmur pasca-Lee Kuan Yew. Malaysia secara politik tidak stabil setelah era Mahathir.
Namun, secara ekonomi Malaysia masih tetap mampu menjaga pertumbuhan ekonomi dengan stabil. Indonesia tercerai-berai setelah Soeharto dan sampai sekarang masih tetap belum bisa menemukan stabilitas dan kesetimbangan baru.
Singapura adalah sebuah model, dan sosok seperti Lee Kuan Yew barangkali hanya lahir sekali dalam sejarah. Lee menjadi perdana menteri sejak 1959 sampai 1990. Pada 1965 Singapura memisahkan diri dari Malaysia karena hubungan rasial Tionghwa dan Melayu yang tidak harmonis.
Singapura hanya sebuah kota pelabuhan dari era kolonial. Daerah itu bahkan masih penuh nyamuk di setiap pojoknya. Negara baru itu tak punya daerah penyangga penghasil produk pangan. Bahkan untuk sumber air saja, Singapura harus bergantung pada Johor, negara bagian Malaysia.
Pelan-pelan Lee membangun mental masyarakat Singapura. Demi ketertiban itu, Lee keras mengatur seluruh aspek hidup masyarakat Singapura. Ia tak memberi tempat bagi oposisi. Lee menekan partai politik, mengendalikan media.
Ia menciptakan berbagai macam tata tertib, sampai, misalnya, melarang warganya mengunyah permen karet. Setiap pelanggaran disiplin dihukum dengan denda.
Saking banyaknya denda sampai media Eropa menyindir dengan menyebut Singapura sebagai ‘’The Fine City’’, alias kota denda.
Disiplin tinggi dan etos kerja yang kuat membuat ekonomi Singapura melesat cepat.
Dari rentang 1966 ke 2013, produk domestik bruto (PDB) riil per kapita Singapura tumbuh lima belas kali lipat, tiga kali lebih cepat dari Amerika Serikat, dan terbesar ketujuh di dunia. Satu dari enam keluarga di Singapura dilaporkan memiliki tabungan sebesar USD 1 juta.
Lee juga berhasil membangun sejumlah perusahaan negara dan menjadikannya setara dengan perusahaan swasta global. Ia misalnya memajukan perusahaan holding negara, Temasek, yang mengendalikan modal sejumlah bank sampai dengan perusahaan semikonduktor. Temasek kini mengendalikan modal lebih dari USD 200 miliar.
Singapura membayar mahal pertumbuhan ekonomi itu dengan kebebasan politik warganya. Selama lebih setengah abad, Lee telah membuat negeri itu bungkam dari kritik kaum oposan.
Kaum oposisi, masyarakat sipil, dan gerakan buruh telah dikikis sepanjang setengah abad melalui pemenjaraan tanpa pengadilan. Nyaris seluruh surat kabar, TV dan radio dimiliki dan dijalankan oleh pemerintah.
Catatan kebebasan pers di Singapura memang buruk. Pada 2014, Reporters Sans Frontier menempatkan negeri itu di peringkat 150, hanya sedikit di atas Kongo, Meksiko, dan Irak.
Lee kukuh pada pendapatnya bahwa praktik demokrasi hanya akan melemahkan kestabilan politik, dan juga kemajuan ekonomi. Strategi yang dijalankan Lee adalah memisahkan ekonomi sebuah masyarakat dari politik, dengan tujuan memelihara kekuasaan absolut dan mengejar pertumbuhan ekonomi.
Lee tahu sebagian besar generasi muda Singapura--yang tak merasakan pahitnya negeri itu bertumbuh, menginginkan kebebasan lebih besar. Ketika gelombang demokrasi melanda Asia Tenggara di paruh 80-an, Lee membaca gelagat itu.
Ia mundur sebagai perdana menteri pada 1990. Dengan cerdik ia memberikan kuasa kepada Goh Chok Tong, dan ia berdiri di belakang sebagai menteri senior, sampai putranya Lee Hsien Liong naik jadi perdana menteri pada 2004 sampai sekarang.
Gejala ketidakpuasan itu tampaknya kian mengeras. Namun, Lee tetap pada pendiriannya. Dia percaya sistem di Singapura ini akan bertahan 50 atau 100 tahun di lingkungan dunia yang memberikan peluang maksimal melalui globalisasi.
Resep politik dan kapitalisme gaya Lee kini boleh dicatat paling berhasil. Otoritarianisme gaya Singapura, yang disebut Lee sebagai “The Asian Value’’ atau Nilai Asia, kini menjadi virus kapitalisme otoriter, yang banyak ditiru di berbagai belahan dunia.
China di bawah Xi Jinping mengadopsi gaya pemerintahan Lee. Varian kapitalisme-otoritarian itu diterapkan dengan gaya masing-masing oleh Vladimir Putin dan Recep Erdogan di Turki. Negara-negara itu menjadi simpul kekuatan baru dengan menerapkan sistem ekonomi kapitalistik, tetapi dengan sistem politik yang terkontrol.
Filosof Marxis, Slavoj Zizek menyebut gaya ini sebagai virus yang menular dengan cepat ke berbagai penjuru dunia. Tuntutan derap kemajuan ekonomi yang melanda konsumen di seluruh dunia memberi justifikasi kepada para pemimpin despotik itu untuk mendapatkan legitimasi.
Gaya despotik lama yang otoriter sudah mengalami modifikasi. Para pemimpin despotik baru tetap menerapkan koridor demokrasi formal untuk mendapatkan legitimasinya. Pemilu tetap diselenggarakan secara rutin meskipun pelaksanaannya dikontrol dan dikendalikan.
Oposisi tetap ada meskipun hanya sekadar pajangan. Media tetap diberi kebebasan, tetapi pengaruhnya diperkecil melalui berbagai macam propaganda yang dikendalikan pemerintah.
Godaan untuk menjadi negara makmur tanpa demokrasi menjadi virus yang merebak cepat. Singapura sukses dengan cara itu. Negara menjadi makmur meskipun tidak ada kebebasan demokrasi.
Indonesia pernah menempuh jalan itu di bawah Presiden Soeharto, tetapi berakhir tragis. Sekarang ada indikasi yang kuat bahwa Indonesia ingin kembali menempuh jalan itu. (*)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror