Tenaga kerja Indonesia (TKI) di Singapura kini memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri melalui pendidikanDengan berdirinya Universitas Terbuka (UT), mereka pun bisa merasakan kuliah dan meraih gelar sarjana
BACA JUGA: Keluar Hotel Merangkak, sampai RS Pingsan Dua Hari
-------------------------------------------
ZULHAM MUBARAK, Singapura
-------------------------------------------
MINGGU (19/7) tepat pukul 10.00 waktu Singapura, suasana di Sekolah Indonesia-Singapura yang terletak di Siglap Road nomor 20A mulai ramai
BACA JUGA: Pesawat Rongsokan Disulap Jadi Hotel Wah
Sebagian dari mereka menenteng laptop dan sebagian sibuk meneleponBACA JUGA: Keakraban di Rumah Manohara setelah Kedatangan Reiner Noack-Pinot (2-Habis)
Samar-samar terdengar sebagian dari mereka tampak berdiskusi seputar kondisi politik IndonesiaDengan bahasa Indonesia bercampur logat Melayu, para wanita itu serius mengutip referensi dari halaman media-media lokal di Indonesia yang mereka akses lewat laptopSetelah itu, mereka sibuk mendiskusikannyaSiapa mereka? Siapa sangka mereka adalah para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang memang bersiap memasuki kelas perkuliahan awal semester II setelah menikmati libur semester I di Universitas Terbuka (UT) SingapuraPara pembantu rumah tangga itu tercatat sebagai mahasiswa di UT cabang Singapura tersebut.
"KBRI memang mendorong mahasiswa yang juga TKI itu untuk memaksimalkan waktu luang dan berdiskusi seputar isu-isu politik nasional," ujar ketua pelaksana pendidikan di KBRI Singapura Fahmi Aris Innayah sembari mengantarkan wartawan berkeliling di kampus UT Singapura tersebut
Kampus UT terletak di lahan seluas kurang lebih satu hektareDi atas lahan itu dibangun berbagai fasilitas lengkap untuk mendukung sarana pendidikan, seperti ruang kelas, sarana olahraga, dan hall untuk menggelar pertunjukan teater dan tempat wisudaAda juga ruang berisi alat-alat kesenian tradisional Indonesia, seperti gamelan dan berbagai kostum adat Indonesia.
Pada hari biasa, bangunan yang dikelola KBRI itu digunakan sebagai tempat pendidikan anak-anak WNI yang tinggal di SingapuraDi sana tersedia sarana belajar dari tingkat taman kanak-kanak (TK) sampai SMA dengan kurikulum dan metode pembelajaran IndonesiaPada Minggu, fasilitas pendidikan itu dimanfaatkan untuk lembaga pendidikan tinggi bagi TKISelain program kejar paket A hingga C, ada program UT.
Fahmi mengatakan, KBRI sempat pesimistis ketika kali pertama membuka program perkuliahan untuk TKI pada Maret laluTenyata pada hari pertama pendaftaran, 50 formulir diambil calon mahasiswaPada penutupan pendaftaran sudah tercatat secara resmi 74 mahasiswa yang terbagi pada lima jurusanEmpat jurusan strata satu (S-1), yakni jurusan ilmu pemerintahan, ilmu administrasi, manajemen, dan akuntansi, serta D-3 bahasa Inggris"Semua mahasiswanya adalah TKI," kata Fahmi
Dia tak menyangka bahwa para TKI di Singapura ternyata juga memiliki minat meningkatkan kemampuanTak hanya kelas perkuliahan, KBRI juga sudah membuka layanan kejar paket B dan paket C dengan peminat mencapai 80 orangSelain itu, TKI bisa mengikuti les komputer (kini sudah 200 orang) dan bahasa Inggris (kini pesertanya 150 orang)Tak disangka, ketika program tersebut berjalan, prestasi para TKI juga sangat bagusBahkan, pada ujian semester pertama kemarin hampir 70 persen indeks prestasi kumulatif (IPK) para mahasiswa UT untuk TKI rata-rata di atas tiga"Yang tertinggi IPK 3,5 dan itu dengan kurikulum yang sama dengan universitas-universitas sejenis di Indonesia," ujar Fahmi bangga.
Sepintas, penampilan 74 mahasiswa sama sekali tidak mengesankan sebagai TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tanggaTak sedikit dari mereka yang tampil modis layaknya mahasiswa di Jakarta atau kota-kota besar di IndonesiaUntuk sampai di kampus, tak sedikit dari mereka yang diantar dengan mobil mewah milik sang majikanBukan diturunkan di pinggir jalan, tapi diantar hingga gerbang kampusBahkan, sang majikan sendiri yang mengantar merekaKetika TKI itu mengikuti kuliah, sang majikan menunggu di kantinAda pula yang datang ke kampus dengan naik taksi.
Jawa Pos sempat mengikuti salah satu kelas perkuliahan di jurusan D-3 Bahasa Inggris yang digelar di UT tersebutTak disangka, semua mahasiswanya adalah perempuanDi dalam kelas mereka juga tak segan bertanya dan saling berkomunikasi dengan bahasa Inggris yang sangat fasihBerbeda dengan warga Singapura kebanyakan yang sehari-hari menggunakan logat Singlish (Inggris Singapura), para mahasiswa di dalam kelas lebih membiasakan menggunakan logat British EnglishPadahal, untuk bisa menguasai logat butuh proses komunikasi dengan bahasa Inggris yang cukup intens"Kami menyadari bahwa bahasa Inggris Singapura itu cenderung merusak keaslian bahasa InggrisMaka, ketika kami berbicara di kampus, kami lebih suka menggunakan logat British," ujar Muzalimah Suradi, 30, tegas.
Muzalimah adalah seorang mahasiswa UT yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Singapura lebih dari 10 tahunSelama periode itu, dia telah berkali-kali menempuh pendidikan di berbagai lembaga pendidikan di SingapuraSebelum mengambil jurusan D-3 Bahasa Inggris di UT, dia telah mengantongi ijazah Institute of Technical Education (ITE) untuk bidang Worker Improvement Through Secondary Education (WISE)"Saya menempuh pendidikan selama dua tahun dan sudah ada tiga sertifikat di tangan saya," tegasnya.
Wanita berjilbab itu mengaku bangga bekerja sebagai TKISebab, sebagai buruh migran dia merasa berperan dalam membantu memberikan devisa bagi negaraTak hanya itu, dia juga bisa membantu menyekolahkan dua adiknya di kota asalnya, Kediri, hingga selesai menempuh bangku perkuliahan"Setelah mereka lulus, baru kini waktu bagi saya untuk kuliah," ujarnya, lantas tertawa.
Muzalimah mewakili rekan-rekannya mengaku cukup beruntung karena mendapat majikan yang sangat melek terhadap upaya mereka meningkatkan kualitas pendidikanDia sendiri, selain menjadi pembantu rumah tangga juga menjadi kontributor berita untuk salah satu media harian di Singapura, yakni sebuah media di bawah Singapore press holding"Kesempatan berkarya membuat kami semakin terbuka untuk bisa menaikkan kualitas menjadi pekerja yang lebih profesional," jelasnya
Wanita yang masih single itu mengatakan, problem untuk berkuliah di Singapura kebanyakan berpangkal pada ketersediaan handoutNamun, problem itu terpecahkan setelah UT membuka situs pemesanan buku secara online"Karena kami di sini terbiasa online, jadi untuk pemesanan buku menjadi lebih mudah daripada harus pergi bolak-balik ke KBRI untuk memesan manual," katanya.
Muzalimah mengaku bahwa kontrak kerjanya di Negeri Singa akan habis pada Oktober mendatangSetelah itu, dia mengaku akan intensif menyelesaikan studiDia bercita-cita bisa pulang dengan gelar diploma bahasa Inggris agar bisa memenuhi keinginan terpendamnya, yakni menjadi guru"Paling tidak ini membanggakan karena saya juga berstatus alumnus mahasiswa Singapura," kelakar dia
Seorang TKI lain yang ingin pulang ke Indonesia dengan membawa gelar sarjana adalah Wariati, 20Minggu lalu dia ikut antre mengambil formulir pendaftaran masuk UTDia mengaku termotivasi untuk melanjutkan belajar karena tak ingin waktu luangnya di akhir pekan menjadi sia-sia
Apalagi, biaya pendaftaran cukup terjangkau, yakni SGD 50 atau sekitar Rp 350 ribu per semesterDengan gaji rata-rata SGD 350 per bulan, dia tak keberatan menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk kuliah"Siapa sih mas yang tidak ingin pintar, apalagi mumpung ada kesempatan bekerja sambil kuliah," ujarnya.
Wanita asal Wonosobo, Jateng, itu berharap jenjang pendidikan tinggi yang ditempuhnya di Singapura ini memberikan manfaat kelak ketika dia memutuskan kembali ke Tanah AirDia memiliki mimpi untuk mengubah citra TKI yang selama ini dipandang miring oleh masyarakat"Kami ini kan identik dengan pembantuJadi, ketika kami pulang dengan ijazah sarjana, tentu kami dapat lebih bangga," ucapnya(nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Ayah Manohara, Reiner Noack-Pinot, Kembali ke Tengah Keluarga (1)
Redaktur : Tim Redaksi