Koruptor Jadi Penyapu Jalan

Sabtu, 28 Agustus 2010 – 00:20 WIB

POLEMIK tentang remisi dan grasi belakangan ini bak bola liarMenyambar kian kemari

BACA JUGA: Bukan Makan Pisang Bakubak

Kadang bermuatan hukum, lain kali menyerempet ke politik
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya bicara juga

BACA JUGA: Perang Sawit & Black Campaigne

Memang normative
SBY berkata bahwa remisi dan grasi terhadap terpidana kasus korupsi sudah sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan.

SBY mengungkapkan itu ketika membuka sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (23/8) lalu

BACA JUGA: Ibukota Tak Perlu Hijrah

Memang repot jugaApalagi sejumlah terpidana korupsi, antara lain  Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Tontowi Pohan, yang tak lain adalah besan Presiden SBYIa meraih pembebasan bersyarat bersama tiga mantan deputi gubernur BI lainnya, yaitu Bunbunan Hutapea, Aslim Tadjudin, dan Maman Soemantri.

Keempatnya divonis kurungan penjara selama tiga tahun karena terlibat kasus pengucuran dana Rp 100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) pada 2003.

Terpidana Syaukani HR, yang terlibat kasus dana perimbangan, pembelian tanah untuk pembangunan Bandara Loa Kulu, dan dana bantuan sosial senilai Rp 49,367 miliar juga mendapat grasi.

Remisi enam bulan kepada Aulia Pohan dianggap terlalu besarPemerintah dinilai terlalu "mengobral" remisi bagi para koruptorBahkan, ada kesan pemaksaan harus diberikan, kata Wakil Ketua DPR Pramono Anung di Gedung DPR, Jakarta, Senin (23/8) silam.

Grasi bebas Presiden untuk terpidana Syaukani Hasan Rais juga disoal.  Masalah kesehatan dianggap tak bisa dijadikan alasan untuk begitu gampang membebaskan para koruptor“Ini kado buruk bagi penegakan hukum kita," ujar Pramono.

Problemnya, tergantung kepada pihak Lembaga Pemasyarakatan, Mahkamah Agung dan pihak terkait lainnya, apakah sudah memberikan penilaian yang benar, dan bukan yang dikorup sehingga mereka berhak meraih remisi dan grasi? Jika semua sudah sesuai perundang-undangan, mengapa pula kita harus berbengis-bengis?

Toh, seorang koruptor telah menjalaninya hukumannya sesuai putusan pengadilanYang meringankan dan memberatkan pun sudah lebih dulu dipertimbangkan.

***

Namun berbagai kecaman mengalir deras kepada SBYUmumnya berharap agar para koruptor dihukum lebih berat, dan tak berhak meraih remisi dan grasiBahkan ada yang meminta agar keluarganya pun jika perlu “dimiskinkan” agar kapok dan efek jera tertunaikan.

“Hukum balas dendam”? Mungkin tak sepenuhnya jugaBarangkali lebih didorong betapa korupsi mempunyai  “daya” rusak dan “akibat” yang sangat burukExtra ordinary! Karena itu diperlukan hukuman yang juga extraordinary.

Sampai di sini, terus terang saya masih sependapatYa, diperlukan hukuman yang luar biasaTetapi apakah harus tanpa remisi dan grasi?

Ketika seseorang “berubah”  setelah menjadi narapidana, apakah “pintu” untuk hidup lebih baik tak dibukakan? Kejam sekali Anda, karena bukankah Tuhan pun mengampuni hambanya yang benar-benar bertobat  atas perbuatannya yang buruk?

Bahwa hukuman yang dijatuhkan hakim terlalu ringan, juga tetap jadi perdebatanSetiap kasus adalah kasuistis, dan tak mungkin dibikin seragamHukuman berat dan ringan pun selalu relative dan tergantung kasusnya, dan apa yang menjadi pertimbangan vonis tersebut.

Pertimbangan vonis itu yang semestinya disoroti, bukan berat atau ringannya hukumanApakah pertimbangan itu punya alas hukum, bukti dan fakta yang kuat?  Itu sajaApalagi sudah ada proses pengujian mulai dari tingkat pertama hingga kasasi, dan kadang masih ada herziening (peninjauan kembali).

Sebagai warga Negara yang menghormati hukum, kita harus menghormasti hukum acara yang sah dan formalDi luar itu hanya dimungkinkan dengan “peradilan rakyat” yang belum ada hukum acaranya di negeri iniLagi pula “rakyat” yang mana?

Putusan pengadilan hanya diputuskan para hakimDi luar itu adalah anarkiJadi bukan oleh para pengamatSehebat apapun sang pengamat, pastilah subyektif, dan maaf, bisa berpotensi melahirkan pandangan yang nonjuridis, bahkan tak mustahil berbau politikPadahal era politik sebagai panglima sudah lampau.

Pandangan bahwa “keluarga” (anak istri) para koruptor juga harus dibuat “miskin” rasanya berlebihanToh, sang ayah sudah dihukumAnggota keluarga pun sudah “dihukum” oleh publikBetapa silau mata anggota keluarga melihat mata masyarakat dengan pandangan sinisJika mereka naik mobil, tatapan mata publik akan berkata, “masih beraninya naik mobil hasil korupsi.”

Padahal, dalam dakwaan tak tercantum anggota keluarga sebagai terdawa misalnya di-junto-kan dengan pasal 55 KUHPMengapa pula kita menghukum orang yang “tak bersalah.”   

Tak jelas juga defenisi “dibuat miskin” ituMisalnya, dengan tingkat kekayaan seperti apa? Apa saja hartanya? Berapa pendapatannya? Singkatnya, usulan itu terdengar bagai suara “amarah” yang luar biasa.

***

Nah, tinggal merumuskan hukuman apa yang luar biasa terhadap koruptor yang melakukan extraordinary crime tersebut? Saya kira selain mempertimbangkan akibat perbuatannya kepada Negara dan masyarakat, juga disertai dengan hukuman mengembalikan keuangan Negara, yang ia korupsikan dan ia nikmati.

Mungkin, ia akan kena berapa tahun dalam buiTetapi bagi saya, hukuman berat tidak akan menimbulkan efek jeraBuktinya, walaupun hukuman mati masih diberlakukan untuk beberapa jenis kejahatan, sebutlah pembunuhan sadis, toh kasus pembunuhan terus saja berlangsung.

Bahkan di berbagai Negara yang “beradab”, hukuman mati malah dicoret dari kitab hukumBelanda dan beberapa Negara sudah melaksanakannya.  Tapi masih berlaku di Indonesia dan AS.

Mengapa tak diberlakukan saja hukuman tambahan seperti kerja bakti sosial selama satu atau dua tahun? Saya membayangkan seorang koruptor yang juga dihukum sebagai petugas kebersihan kota akan menimbulkan efek jeraBayangkan, sang pejabat koruptor itu harus menyapu jalanan kota dari sampah bertebaran selama satu atau dua tahun.

Masih bisa dicari bentuk lain, yang sifatnya “kerja bakti sosial” untuk kepentingan masyarakatMungkin, bekerja di “tempat pembuangan sampah akhir” atau menjadi “pesuruh” di sebuah SD atau SMU dan sejenisnya.

Percayalah, efek mental dan spritualnya akan luar biasaSang koruptor akan menyadari betapa perbuatannya selama ini sangat merugikan publicBegitulah kira-kira bentuk dan gambaran hukuman yang extraordinary terhadap kejahatan yang luar biasa ituBukannya malah mengumbar balas dendam(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Money Politics: Tilang Saja


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler