Susilo Toer, Adik Sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang Tetap Produktif di Usia 77 Tahun

Siapkan Lima Buku tentang Sisi Buruk sang Kakak

Kamis, 13 Februari 2014 – 00:41 WIB

jpnn.com - Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Kata-kata itu diwarisi Susilo Toer dari sang kakak, legenda sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer. Karena itu, di usia senjanya, Pak Sus - sapaan Susilo - tetap produktif menulis.

SRI WIYONO, Blora

BACA JUGA: Menyaksikan The 65th Sapporo Snow Festival di Pulau Hokkaido, Jepang

MATAHARI sudah agak condong ke barat saat koran ini menyambangi rumah sederhana di pojokan Jalan Sumbawa, Kelurahan Jetis, Kecamatan Blora, Jawa Tengah. Ya, rumah sederhana itu menyimpan banyak sejarah dan kenangan. Di rumah itu pula energi untuk menulis tidak pernah padam.

Setidaknya, dua di antara empat orang penghuni rumah itu sam­pai saat ini masih produktif menulis. Dia adalah Susilo Toer dan Prawito Toer, dua adik kandung Pramoedya Ananta Toer.

BACA JUGA: Wisma Tuna Ganda, Tempat Memuliakan Orang-Orang Tak Diinginkan

Yang membedakan adalah Pak Prawito, yang lebih tua daripada Pak Sus, setiap hari menulis dengan mesin ketik manual. Sebaliknya, Pak Sus lebih suka menulis di atas kertas, baru kemudian menyalin dengan mesin ketik. Alasanya, menulis di kertas bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, dan dalam posisi apa saja.

"Saya beberapa hari ini menulis sambil tiduran," ujar Pak Sus ketika ditemui Radar Bojonegoro (JPNN Group) Senin sore (11/9).

BACA JUGA: Kurang Semriwing, Didi Kempot Tak Bisa Nyanyikan Stasiun Balapan

Saat wartawan Radar Bojonegoro tiba, ruang tamu yang merangkap Perpustakaan Pataba yang dia kelola sepi. Baru setelah berucap salam, Pak Sus menyahut dari dalam kamar.

Dengan berkain sarung dan berkaus biru lusuh, Pak Sus keluar dari kamar. Dia sempat kaget karena tangannya tidak kosong Dia menenteng tempat penampung air seni yang mengalir dari sebuah selang kecil transparan.

"Maaf, saya sudah tiga bulan ini kena prostat. Jadi, ke mana-mana bawa ini. Ini sudah lumayan, sudah bisa beraktivitas. Sebelumnya tidak bisa sama sekali," ujarnya menerangkan seolah tahu keheranan tamunya.

Lantaran sakitnya itu, Pak Sus harus dipasangi kateter. Memang agak repot karena ke mana-mana harus membawa alat untuk menyalurkan air seninya. Meski demikian, dia tetap tidak bisa meninggalkan "profesinya" sebagai penulis. Dia pun masih menyempatkan menulis setiap saat.

Terlebih 6 Februari lalu merupakan tanggal kelahiran Pramoedya Ananta Toer. Karena itu, di bulan ''penting'' itu Pak Sus mesti mengisinya dengan berkarya: menulis buku. Dia ingin bisa mengalahkan kakaknya dalam produktivitas buku.

Doktor bidang ekonomi lulusan salah satu universitas elite di Rusia itu saat ini sedang menyiapkan lima jilid buku terkait dengan kehidupan dan sisi positif-negatif Pram - panggilan Pramoedya Ananta Toer - yang belum terungkap. Satu buku sudah diterbitkan, yakni Pram dari Dalam.

"Ada empat judul buku lagi yang sedang saya garap. Ini akan mengalahkan Pram karena dia hanya mampu menerbitkan empat judul," katanya, merujuk buku tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya yang fenomenal itu.

Sebagian draf naskah buku-buku itu sudah selesai. Semua diketik rapi jali dengan mesin ketik manual. "Saya kerjakan hampir setiap hari," tutur panulis berusia 77 tahun itu.

Menurut Pak Sus, naskah bukunya tersebut merupakan catatan intensitas komunikasi dirinya dengan Pramoedya saat masih kecil. Dia tidak bermaksud untuk menelanjangi kehidupan sang kakak jika kemudian isi buku itu bercerita tentang sisi-sisi negatif Pramoedya.

"Saya ingin mendudukkan kakak saya itu sebagai manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa," paparnya.

"Pram seperti manusia lainnya, juga punya sisi buruk, di samping sisi positif. Saya ingin mengisahkannya, barangkali bisa menjadi pelengkap sosok pribadi Pram yang sudah dikenal selama ini," tambahnya.

Pak Sus sudah menyiapkan judul buku-bukunya itu. Semua akan mengandung nama Pram. Misalnya, salah satu bukunya yang sudah terbit, Pram dari Dalam. Seri kedua nanti disiapkan dengan judul Pram dalam Kelambu. "Buku kedua ini bercerita tentang Pram dalam memandang sebuah perkawinan," kata dia.

Pak Sus juga akan menyelipkan cerita mengenai bagaimana Pram menjalani perkawinannya. Apa saja yang diberikan Pram untuk istrinya sebagai kado perkawinan dan apa maknanya. "Salah satu hadiah itu berupa ranjang pengantin yang dihadiahkan untuk istrinya. Semua ada maknanya," urai bapak satu anak ini.

Seri ketiga buku Pak Sus diberi judul Pram dalam Bubu. Bubu adalah perangkap ikan dari bambu yang biasa dipasang di dalam sungai. Ikan yang sudah masuk perangkap ini tidak akan bisa keluar lagi. Buku itu akan bercerita tentang kehidupan Pram, termasuk surat pribadi Pak Sus untuk Prof Theo, ahli filsafat.

Yang keempat berjudul Pram dalam Belenggu yang juga bercerita tentang Pram dalam menapaki kehidupannya yang terjal dan berliku. Pak Sus mengaku sebagai salah seorang saksi hidup atas perjalanan kehidupan sang kakak. Banyak cerita yang menyentuh, mengharu biru, namun ada juga yang membuat marah orang.

Yang kelima diberi judul Pram dalam Tungku. Seri terakhir ini mengisahkan sosok Pram di mata orang lain. Isinya kritik, baik yang membangun maupun yang menghakimi, bahkan juga hujatan yang ditujukan kepada Pram. Ibarat sebuah masakan di dalam tungku, Pram dibesarkan oleh kondisi yang mengelilinginya. Pram jadi matang oleh percampuran bumbu yang dipanasi bara api dari bawah tungku.

Meski sudah hampir rampung, Pak Sus belum menentukan penerbit yang akan menerbitkan empat bukunya itu. Dia ingin penerbitnya nanti betul-betul profesional, baik dari cetakan, promosi, hingga pemasarannya, sehingga gaung buku-buku itu besar. Buku pertamanya dulu diterbitkan oleh penerbit Jogjakarta.

"Untuk yang empat naskah ini, saya masih menimbang-nimbang mana penerbit yang beruntung menerbitkan buku-buku saya nanti," tandas Pak Sus. (*/c1/ami)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Selamatkan 100 Bayi Prematur di Rumah-rumah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler