Jika Anda beretnis Jawa, jangan merasa sendirian di BangkokDi tengah belantara kota berpenduduk 10 juta itu, ternyata terselip komunitas ratusan masyarakat Jawa
BACA JUGA: Firmanzah PhD, Dekan Termuda dalam Sejarah Kampus UI
Sudah seabad mereka di sana, namun tradisi, bahasa, dan keyakinan masih tetap terjaga.Naufal Widi A.R., Bangkok
---
Mayoritas warga Bangkok adalah dari suku Thai dan memeluk agama Buddha
BACA JUGA: Menjual Panaitan, Pulau Surga Wisata Laut di Dekat Ibu Kota
Jawa Pos yang mendapat informasi dari Persatuan Pelajar Indonesia di Thailand bahwa kampung Jawa berlokasi di Distrik Sathorn, pusat kota Bangkok, sama sekali tak kesulitan mencarinyaBangunan yang menjadi tetenger kampung Jawa itu bernama Jawa Mosque alias Masjid Jawa
BACA JUGA: Ke Pusat Kota Bangkok, Thailand, setelah Demo Terbesar Antipemerintah
Pada bangunan berarsitektur kuno, namun masih terlihat kukuh itu ornamen khas Jawa terlihat jelasSeperti masjid-masjid kuno di Jawa Tengah, khususnya Demak, bangunan utama masjid berbentuk segiempat ukuran 12 x 12 meter dengan empat pilar di tengah yang menjadi penyanggaSelain sisi arah kiblat, di tiga sisi lainnya terdapat masing-masing tiga pintu kayu.Seperti halnya di Jawa, di bagian depan (pengimaman) Masjid Jawa terdapat sebuah mimbar kayu yang dilengkapi tanggaDi kanan dan kirinya terdapat dua jam lonceng, juga terbuat dari kayuTak ketinggalan perangkat khas masjid di Jawa, yakni beduk, masih tetap ada dan berfungsiPadahal, menurut keterangan pengurus masjid, usianya sama dengan usia masjid
Dari namanya, bisa ditebak, masjid Jawa berada tak jauh-jauh bahkan tepat di tengah-tengah wilayah yang penduduknya memiliki keturunan darah JawaSeperti Abdussamad, bilal Masjid Jawa yang memiliki kakek berasal dari Kendal, barat kota Semarang''Wis salat (Sudah salat, Red)?'' sapa Abdussamad dengan logat khas Thailand begitu mengetahui wartawan koran ini berasal dari Jawa.
Kebetulan Jawa Pos datang ketika Abdussamad yang masih mengenakan sarung baru saja menunaikan salat Asar berjamaahMeski lahir dan dibesarkan di Thailand, dia mengaku mengetahui beberapa kosakata Jawa yang umum digunakan''Aku wong Jawa ning Thailand (Saya orang Jawa yang tinggal di Thailand, Red),'' katanya mencoba berbahasa Jawa dengan logat Thailand, lantas tertawa.
Dia tidak mengetahui persis bagaimana kakeknya yang bernama Muhammad Toyib bisa berada di BangkokNamun, berdasar cerita-cerita dari sesepuh yang pernah dia dengar, banyak penduduk Jawa merantau ke Thailand dan bekerja di perkebunan sejak awal abad ke-20, sekitar 1990-an.
Jumlah warga asal Jawa di Tahiland meningkat pesat ketika Jepang menjalankan kerja paksa (romusa) pada Perang Dunia IISaat itu ribuan orang Jawa diangkut ke Thailand untuk membangun rel kereta yang menghubungkan Thailand dengan Burma kala itu.
Saat PD II berakhir, terjadilah tragedi pengeboman rel kereta api oleh sekutu di KanchanaburiSekitar 100.000 orang, sebagian besar bersuku Jawa, tewas pada peristiwa ituSisa dari orang Jawa yang selamat itu bertahan di kampung Jawa sekarang.
Meski rata-rata sudah generasi ketiga, kata Abdussamad, beberapa tradisi Jawa masih dipertahankan di kampung JawaMisalnya, pekan depan akan diadakan pengajian Maulid NabiMakanan khas disediakan, seperti mi lontong dan sate''Besok (hari ini, Red) juga ada acara wong mantu (pernikahan)Nanti ada yang seperti Jawa, pakai songkok dan batik,'' urai pria 43 tahun itu.
Bukan hanya itu, jika bulan Ramadan tiba, budaya buka bersama dengan takjil makanan khas juga tersediaMenurut Abdussamad, beberapa jajanan disediakanMisalnya, kue cucur dan es cao.
Tentang sejarah Masjid Jawa, Abdussamad lantas menunjukkan prasasti tentang Masjid Jawa yang berada di dinding kiri bangunan utamaDari dokumen yang ada disebutkan, masjid itu didirikan pada Juni-September pada era Rathanakosin (periode Rama V ) tahun 2440 di tahun ular, atau bertepatan pada bulan Muharam 1326 H atau 1908 di kalender Masehi.
Masjid tersebut didirikan orang Jawa dengan luas 14 x 12 astaTanahnya merupakan wakaf dari almarhum Haji Muhammad ShalehAkad wakaf tercatat pada ***** 16 Juni 2440 diberikan kepada masyarakat muslim pada umumnya.
Ameen Mudpongtua, imam Masjid Jawa, menjelaskan, meskipun dibangun warga Jawa, masjid itu terbuka bagi siapa sajaBahkan, Ameen sendiri merupakan keturunan Melayu''Melayu boleh, Indonesia juga bolehDari mana saja,'' katanya dalam bahasa Thailand yang diterjemahkan seorang takmir masjidAmeen yang berusia 74 tahun telah menjadi imam masjid sejak lima tahun silam.
Buktinya adalah seorang warga Pakistan Zahoor Ahmed, yang juga ikut menemani perbicangan dengan Jawa PosMahasiswa tingkat delapan di Islamabad University itu sudah setahun tinggal di Bangkok''Saya sedang bisnis garmen di ThailandSaya suka tinggal di siniPenduduknya ramah-ramah,'' katanya.
Kegiatan di Masjid Jawa tidak berbeda dengan masjid pada umumnyaSelain ibadah wajib, seperti salat lima waktu dan salat Jumat, ada pengajian dan pembagian zakat menjelang Idul FitriSetiap hari selepas salat Magrib, giliran anak-anak yang belajar mengaji''Di sini semua gratis,'' kata imam yang hafal Alquran itu.
Untuk belajar agama, lanjut Ameen, di depan masjid terdapat sebuah madrasahBangunannya berlantai dua dengan ruangan terbukaBiasanya, waktu belajar dari jam 19.00 hingga 20.00Pesertanya adalah anak-anak dan remajaSelain itu, di seberang jalan, terdapat area pemakaman yang cukup luas dan mampu menampung sekitar seribu makam''Itu kuburan muslim,'' jelas Ameen yang juga pemimpin upacara-upacara keagaamaan, seperti memandikan jenazah dan memakamkan.
Tak hanya budaya yang dipertahankan, warga kampung Jawa juga mempertahankan pengaturan rumah-rumah mereka mirip dengan perkampungan Kauman yang biasanya berada di sekitar masjid besar di JawaUmumnya, rumah memiliki pagar yang cukup tinggi dengan halaman yang cukup luas jugaSelain keturunan Jawa, di perkampungan itu terdapat penduduk asli Thailand yang juga muslim.
Yang menarik, di perkampungan itu juga tinggal salah satu keluarga besar dari KH Ahmad DahlanDia adalah tokoh pembaru Islam asal Jogjakarta yang mendirikan Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di IndonesiaDia adalah Walidah Dahlan yang merupakan anak dari almarhum Irfan Dahlan, anak kelima KH Ahmad Dahlan.
Walidah menceritakan, ayahnya yang lahir pada 1907 sejak muda sudah belajar di luar negeri, yakni di Lahore, PakistanKemudian, Irfan menetap di Bangkok hingga meninggal pada 1967Di ibu kota Negeri Gajah Putih itu, Irfan berprofesi sebagai guru dan mubaligDari pernikahannya dengan Zahara, Irfan memiliki sepuluh anak''Kami bangga menjadi cucu pendiri Muhammadiyah,'' kata Walidah yang merupakan anak kesembilanKarena itu, anak-anak Irfan juga mencantumkan nama Dahlan di belakang nama mereka.
Meski belum pernah ke tanah leluhurnya di Jawa, dia mengetahui beberapa daerah di kota JogjakartaWalidah lantas menyebut rumah sakit PKU Muhammadiyah yang berada di Jalan Ahmad DahlanDia berharap, suatu saat nanti bisa sampai ke Kota Gudeg itu''Insya Allah, bisa ke sana,'' harapnya.
Tinggal di perkampungan Jawa membuat Walidah juga bisa berbahasa JawaDia mengaku bisa menggunakan kosakata Jawa meski terbatasMisalnya, menyebut amben (tempat tidur) dan dingklik (kursi)Demikian juga beberapa masakan khas seperti sambel goreng dan tumpeng yang diketahuinya''Ada lagi kata-kata JawaOra ana duit (Tidak ada uang, Red),'' canda ibu dari Elvila itu(*/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ke Xiao Gang, Desa Pelopor Kemakmuran Petani Tiongkok (3-Habis)
Redaktur : Tim Redaksi