Mengunjungi Tel Aviv Israel, Kota Nomor Dua Setelah Silicon Valley

Selasa, 05 April 2016 – 15:58 WIB
ON 24 JAM: Salah satu sudut perpustakaan kota Tel Aviv yang diubah menjadi ruang kerja entrepreneur start-up Kamis (31/3). FOTO: Abdul Rokhim/ JAWA POS

jpnn.com - Bus yang disopiri Muta dari Kuba yang dikawal tentara perempuan peranakan Peru, Hana, dan didampingi tour guide keturunan Rusia, Lior Ben David, menyambut rombongan Minggu siang (27/3). ’’Welcome to Israel.’’ 

 

BACA JUGA: Tukang Becak Ini Sempat Berniat Jalan Kaki ke Tanah Suci, kini...

ABDUL ROKHIM, Jerusalem

—————————————

BACA JUGA: Kisah Kartini Berjuang Keluar dari Gelimang Narkoba ke Kuliner "Penjara"

SAPAAN ramah dari Ben David itu menandai bahwa perjalanan hampir 24 jam dari Jakarta sudah sampai tujuan. Jabat tangan dan perkenalan dengan Muta, Hana, dan Ben juga mengingatkan bahwa kami sudah tiba di tempat orang-orang multietnis dan kebangsaan berkumpul karena suatu alasan absurd bahwa inilah tanah yang dijanjikan Tuhan. 

Saat dideklarasikan dengan nama Israel pada 14 Mei 1948, dua di antara tiga penduduk adalah kaum pendatang. Gelombang terbesar berasal dari Eropa. Sebagian besar yang lolos dari kekejaman kamp konsentrasi Nazi tidak punya pilihan selain ke Israel. 

BACA JUGA: Kisah Mantan Dosen yang Hidup Bersama Suku Anak Dalam di Hutan Belantara

Kelompok kedua didatangkan dari Afrika, khususnya Ethiopia, melalui operasi pemulangan rahasia yang disebut operasi Musa. Dan gelombang ketiga terjadi awal 1990-an. 

Saat itu kelompok-kelompok Yahudi di negara-negara bekas jajahan Uni Soviet datang mengalir ke Israel. Itu yang eksodus besar dengan jumlah ratusan ribu orang Kelompok-kelompok kecil Yahudi dengan jumlah ribuan juga datang dari seluruh penjuru dunia. 

Total berdasar catatan pemerintah hingga akhir 2015, ada lebih dari 80 kebangsaan di Israel sehingga membuatnya menjadi bangsa kecil dengan penduduk paling heterogen di dunia. 

Karena arus imigrasi besar-besaran itulah, penduduk Israel berlipat ganda hanya dalam dua tahun eksistensinya. Berselang tujuh tahun kemudian, jumlah penduduk meledak menjadi tiga kali lipat. Dan kini, data terakhir 2015, jumlah penduduk Israel mencapai 8 juta jiwa. Berarti, itu sudah mencapai 20 kali lipat jumlah penduduk saat deklarasi dibacakan 68 tahun lampau. 

Penduduk yang terus bertambah tentu menuntut pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin besar pula. Pada awal eksistensinya, ekonomi Israel mandek. Uang negara tersedot untuk pendatang. ”Segala sesuatu dijatah,” ungkap Shimon Peres, 92, mantan perdana menteri dan penerima hadiah Nobel. 

”Kami hanya punya buku kupon, sebutir telur tiap minggu, dan antrean panjang,” jelasnya saat ditemui di kantornya yang indah dengan view Laut Mediterania, Kamis (31/3). 

Kondisi miskin papa itu bukan satu-satunya penderitaan. Permusuhan dengan semua negara tetangga yang mengelilinginya (Lebanon dan Syria di utara, Jordania di Timur, dan Mesir di barat) membuat Israel harus bertempur di lima perang untuk bertahan hingga sekarang. 

Belum lagi, kebangkitan pejuang Palestina di tepi barat dan Jalur Gaza yang menuntut hak untuk merdeka menciptakan konflik tak berujung. 

Karena itu, selama lima hari tinggal di Israel, merasakan degup warga satu kota ke kota lain, mulai Tel Aviv hingga kota tua Jerusalem, bertemu ibu rumah tangga, pemilik kawasan peternakan (farm), anak muda pemilik start- up company bernilai jutaan dolar AS, hingga Perdana Menteri Benyamin Netanyahu, suasana letih akan kondisi tak stabil sangat terasa. 

Anak-anak di Kibutz (koloni mandiri menyerupai desa) Netiv Haasara akan bertanya kepada orang tuanya jika dalam sebulan tidak ada lontaran roket dari Jalur Gaza yang hanya berjarak 1,5 km dari rumah mereka. 

Perdana Menteri Benyamin ”Bibi” Netanyahu langsung menggebrak meja saat diingatkan bahwa perdamaian hanya terjadi jika tentara Israel ditarik ke batas sebelum perang enam hari pada 1967. ”Menjaga tentara adalah amanat rakyat saya,” tegas Bibi dengan suara berat. 

Ketakutan juga terlihat di jalan-jalan di Israel. Tentara dengan senjata organik terselempang di pundak merupakan pemandangan biasa. Mereka harus siaga karena serangan bisa datang tak mengenal waktu. 

Karena itulah, diberlakukan wajib militer oleh Angkatan Bersenjata Israel atau yang dikenal sebagai Tzahal, akronim Tzva Hagana LeyIsrael atau Angkatan Perang Israel (Israeli Defense Forces/IDF). 

Mira Marcus, international press director Tel Aviv-Yafo Municipality (Pemerintah Kota Tel- Aviv), mengungkapkan, generasi muda Israel kini punya perspektif yang berbeda atas keterampilan militer yang mereka kuasai sejak dini. 

Jika generasi kaum pendiri mulai Perdana Menteri Ben Gurion hingga Benyamin Netanyahu mendoktrin bahwa setiap warga Israel harus ahli menggunakan senjata, menjinakkan bahan eksplosif, hingga menyelundup ke tempat musuh. Oleh kalangan muda Israel, pengalaman dan keterampilan saat masih muda itu digunakan sebagai bekal masuk dunia usaha. 

Karena itu, selepas wajib militer yang berlaku 2 tahun bagi perempuan dan 3 tahun bagi lak-laki, saat menginjak usia 18 tahun, banyak pemuda Israel yang memilih membuka bisnis baru. 

Pilihan profesi itu lebih membanggakan daripada masuk skuad penjinak bom atau bergabung di barisan depan pertempuran. ”Dilatih mandiri dan sering berada di posisi hidup dan mati saat wamil membuat entrepreneurship seperti ada di setiap DNA warga Israel,” ujar Marcus. 

Berdasar catatan di Israel Venture Capital Research Center, Israel merupakan negara dengan jumlah perusahaan pemula dengan karyawan tak lebih dari 10 orang (start-up) per kapita tertinggi di dunia. Di Israel, perusahaan start-up itu berkumpul di Tel Aviv. 

Dengan penduduk 418.600 per akhir 2015, jumlah start-up di Tel Aviv mencapai 972 perusahaan. ”Kami menemukan bahwa setiap satu di antara tiga penduduk Tel Aviv yang berumur 18–35 tahun pasti terlibat dan bekerja di perusahaan start-up,” ujar Marcus. 

Dari pantauan Jawa Pos yang menyusuri jalan-jalan kota di Tel Aviv Kamis sore (31/3), memang sulit menemukan area publik yang tidak terisi kegiatan start-up. Pemandangan sekelompok orang dengan masing-masing menghadap laptop terlihat di setiap sudut taman kota, kafe, serta gedung-gedung yang menyediakan sarana ruang meeting plus koneksi wifi supercepat. 

Bahkan, karena tingginya kebutuhan, banyak fasilitas publik yang diubah untuk memenuhi kebutuhan aktivitas start-up. Salah satu yang pertama harus menyesuaikan adalah perpus- takaan kota. ”Kami mengurangi space untuk 

buku dan menggantinya dengan tempat pertemuan serta workspace bagi para entrepreneur,” kata Marcus. 

Tingginya tuntutan kebutuhan fasilitas start- up juga mengubah spot paling favorit di tengah Tel Aviv, yakni Rothschild Boulevard, menjadi start-up boulevard. Kawasan khusus bagi aktivitas start-up dengan kafe, restoran, serta kantor yang beroperasi 24 jam. 

Kini di kiri-kanan jalur pedestrian yang ramai itu, berdiri kantor perwakilan perusahaan-perusahaan dari Silicon Valley, mulai Facebook, Google, eBay, Cisco, hingga Microsoft. 

Bukan hanya fasilitas fisik, kini para pengelola usaha di Tel Aviv juga mulai mengeluhkan semakin sulitnya mendapat tenaga kerja dan partner global untuk mengelola usaha. 

Menurut Startup Genome, lembaga yang memantau perkembangan dan me-ranking perkembangan start-up di seluruh dunia, kini Tel Aviv menjadi kota nomor dua setelah Silicon Valley yang paling aktif memasok perangkat dan sistem teknologi berbasis online di dunia. 

Selain membanggakan, fakta itu juga meresahkan. Sebab, bagi penduduk Israel, menjadi nomor dua bagaikan perintah untuk segera menjadi nomor satu. Dan untuk pengembangan start-up, tugas suci itu mustahil diwujudkan jika pengelolaan imigrasi Israel masih menggunakan cara-cara lama yang mengedepankan prasangka. 

”Kami sudah pelajari betul apa yang membuat Silicon Valley lebih baik dari kami. Satu hal penting yang kami temukan adalah proporsi warga Amerika dan warga asing di Silicon Valley sangat ideal, 50:50,” ungkap Marcus. 

”Padahal, di Tel Aviv, bisnis start-up 98 persen dikelola Israeli (warga Israel, Red). Hal itu membuat kami sulit diterima sebagai pusat start-up dunia,” lanjutnya 

Karena itu, Pemerintah Kota Tel Aviv dan beberapa usaha start-up mendesak pemerintah untuk membuka pintu lebih lebar bagi para desainer, programer, serta tenaga ahli teknologi asing. Desakan itu didengar pemerintah. Kementerian ekonomi dan tenaga kerja mulai menerapkan start-up visa tahun ini. 

Dengan visa khusus tersebut, teknisi dari seluruh dunia diundang ke Israel secara lebih mudah dan dengan proses yang lebih cepat. ”Jadi, jika Anda dari Indonesia, meskipun tidak punya hubungan diplomatik, seorang entrepreneur start-up dan punya keahlian teknologi yang kami butuhkan, silakan datang,” ujarnya. 

Bukan hanya desakan adanya kemudahan bagi warga dari luar untuk datang, pemerintah Israel kini juga agresif menawarkan kerja sama dengan negara lain, termasuk Indonesia, untuk membuka pasar baru perusahaan teknologinya. (c5/*) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Crass! Darah Muncrat ke Dinding Gua


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler