Menilai Thailand

Kamis, 29 Mei 2014 – 00:23 WIB

KETIKA Pemilihan Presiden Indonesia berada dalam intensitasnya, ada baiknya kita melihat ke Thailand, sebuah negara yang politiknya terpecah belah sehingga mengancam tatanan negara itu sendiri.

Pada dasarnya, kelumpuhan Thailand mewakili semua hal yang sebaiknya Jakarta hindari.

BACA JUGA: Potensi Terbuang Kota Malang

Golongn elit tradisional di kota ini tidak putus asa untuk berusaha menangkis klan Shinawatra yang didukung oleh rakyat, lewat peradilan hukum, pelayanan sipil, dan sekarang militer.

Tentu saja keputusan militer untuk memberlakukan darurat militer setelah kebuntuan politik selama berbulan-bulan tidaklah mengejutkan. Mereka telah melakukannya berkali-kali di masa lalu.

BACA JUGA: Jangan Menafikan SBY

Itu adalah modus operasi mereka mengingat bahwa mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai penjaga stabilitas negeri

Hal yang lebih mengecewakan adalah krisis terbaru ini diperparah oleh sebuah lembaga yang seolah-olah mewakili sipil, yaitu Mahkamah Konstitusi.

BACA JUGA: Kangen Jamanku? Nostalgia Indonesia Era Suharto

Awal bulan ini, Yingluck Shinawatra (adik dari Thaksin) terdepak dari tampuk kekuasaan dengan dugaan "penyalahgunaan kekuasaan".

Pelanggarannya? Ia mengganti Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional, Thawil Pliensri, dengan saudaranya di tahun 2011.

Awal tahun ini, pengadilan yang sama membatalkan hasil Pemilihan Umum awal Februari.

Keadaan yang menimpa Yingluck telah lebih meretakkan bangsa.

Para pengkritik senang, para pendukung marah dan jutaan lebih rakyat Thailand khawatir dengan masa depan negaranya, terutama karena ekonomi Thailand mengalami penurunan ke 2,1% pada kuartal pertama 2014 dan diperkirakan akan merosot ke 1,5-2,5% tahun ini.

Mahkamah Konstitusi (dibentuk pada tahun 1997) menjadi titik fokus kontroversi.

Diduga bahwa banyak keputusan-keputusannya, seperti pembubaran partai Thaksin "Thai Rak Thai" pada 2007 dan penghapusan penerusnya Samak Sundarajev tahun 2008,  bias kepada golongan pendukung kerajaan  Thailand.

Hal ini menimbulkan dugaan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya menjadi alat bagi saingan Thaksin untuk menutupi ketidakmampuan mereka memenangkan suara.

Atau mungkin yang lebih parah lagi.

Mungkin hakim di Mahkamah Konstitusi sudah berpikir keras dan lama mendapati keputusan bahwa keadilan hanya dapat diwujudkan dengan pencopotan Yingluck.

Itu suatu kemungkinan, tetapiaktivisme peradilan, tren yang sedang berkembang di Thailand, masih menjadi urusan yang berisiko.

 

Ada alasan mengapa keadilan itu harus buta. Orang-orang akan kehilangan penghormatannya terhadap pengadilan jika keputusan pengadilan dilihat dipengaruhi oleh kepentingan politik.

Tidak ada yang menyangkal bahwa peradilan yang kuat dan independen sangat penting bagi tatanan demokrasi.

Sebut saya konvensional, tetapi saya tidak menyadari bahwa seorang hakim memiliki persoalan kepentingan dengan memberhentikan atau menunjuk politisi dengan seenaknya.

Checks-and-balances" itu penting. Begitu juga dengan "pembagian kekuasaan".

Seburuk-buruknya pemerintahan Thaksinite, kenyataannya tetaplah mereka semua terpilih secara demokratis.

Cara pencopotan mereka membuat contoh yang buruk.

Hal ini menunjukkan pada masyarakat Thailand-benar atau salah- bahwa tidak ada institusi publik yang suci, semuanya bisa dimanipulasi jika golongan elit Bangkok menginginkannya.

Negara itu kuat jika rakyatnya mempercayai lembaga-lembaga negara. Kepercayaan masyarakat Thailand dalam penyelesaian konstitusional mereka telah rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi.

Selain itu, dengan menyalahgunakan pengadilan untuk kepentingan politik, pembentukan Thailand telah menyerahkan landasan moral yang tinggi.

Setelah berulang kali dicopot dengan tidak adil, banyak kegagalan para Shinawatra secara ajaib terlupakan dari pikiran masyarakat.

Lebih jauh lagi, keruntuhan ideologi dari saingan mereka sekarang terbuka.

Mengapa mereka harus memilih partai yang harus menyeret saingan mereka ke pengadilan daripada berdebat dengan mereka?

Saya ingin optimis terhadap masa depan Thailand tetapi sulit kemungkinannya.

Dapat dikatakan bahwa "pemerintah tetap" Thailand, yaitu militer dan pendukung kerajaan Thailand, akan mendikte lagi di masa depan.

Tetapi otoritas moral dan politik mereka terhapus dengan cepat.

Kita belum melihat akhir dari krisis politik Thailand.

Indonesia tidaklah asing dengan aktivis peradilan yang membuat keputusan kontroversi.

Sekali lagi, tidak ada yang mempertanyakan perlunya pengadilan independen dalam sebuah demokrasi.

Tetapi lembaga-lembaga di negara harus selalu terlihat di atas rasa takut dan pamrih.

Selain itu, elit politik harus rela menerima apapun hasil sah dari pemilihan presiden mendatang, siapapun yang menang.

Thailand harus menjadi pengingat bagi orang Indonesia akan konsekuensi dari polarisasi politik yang ekstrim.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pelajaran Bagi PDIP


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler