jpnn.com, JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan sejumlah indikator perekonomian dan proyeksi realisasi pertumbuhan ekonomi nasional pada semester I 2021 yang berada pada angka 3,1-3,3 persen.
Hal tersebut disampaikan Bu Sri usai mengikuti sidang kabinet paripurna yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (5/7).
"Untuk 2021, tadi telah saya sampaikan realisasi semester I pertumbuhan ekonomi di 3,1-3,3 persen. Inflasi di 1,33 persen, tingkat suku bunga 6,59 persen, itu lebih rendah dari asumsi 7,29 persen untuk SBN 10 tahun. Inflasi tadi 1,33 lebih rendah dari asumsi APBN yang 3 persen," ujar Menkeu Sri Mulyani.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di angka 14.299 per dolar AS, lebih rendah dari nilai tukar asumsi Rp 14.600 per dolar AS.
Harga minyak berada di USD 62 per barel, lebih tinggi dari harga minyak asumsi USD 45 per barel.
Untuk target produksi siap jual atau lifting minyak berada di angka 663 ribu barel per hari, lebih rendah dari asumsi 705 ribu barel per hari. Untuk lifting gas berada di angka 1.007.000 barel setara minyak per hari, sama dengan asumsi pada APBN.
Sementara itu, di sisi pendapatan sampai dengan semester I pendapatan negara mencapai Rp 886,9 triliun atau terjadi pertumbuhan 9,1 persen.
BACA JUGA: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III Tergantung PPKM Darurat, Begini Penjelasan Menkeu
Angka Rp 886,9 triliun ini merupakan 50,9 persen dari target APBN 2021, yaitu Rp 1.743,6 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan, pertumbuhan pendapatan negara sebesar 9,1 persen itu adalah suatu kenaikan yang sangat tinggi dan bagus, terutama jika dibandingkan tahun lalu yang mengalami kontraksi 9,7 persen.
Dia mengatakan penerimaan pajak sudah mencapai Rp 557,8 triliun atau 45,4 persen dari target tahun ini Rp 1.229,6 triliun. Menurut dia, angka tersebut menunjukkan pertumbuhan 4,9 persen.
Tahun lalu penerimaan pajak Indonesia mengalami hantaman yang sangat kuat, yaitu kontraksinya sampai 12 persen atau hanya Rp 531,8 triliun.
"Jadi, sekali lagi, dari sisi penerimaan pajak terjadi pemulihan dari minus 12 persen tahun lalu, sekarang melonjak mengalami pertumbuhan mendekati 5 persen," jelas dia.
Untuk bea dan cukai juga sudah terkumpul Rp 122,2 triliun atau 56,9 persen dari target Rp 215 triliun. Ini terjadi pertumbuhan sampai 31,1 persen atau naik tiga kali lipat jika dibandingkan tahun lalu yang tumbuh 8,8 persen.
Untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP), telah terkumpul Rp 206,9 triliun atau tumbuh 11,4 persen dibandingkan tahun lalu yang berada pada angka Rp 185,7 triliun.
"Ini juga suatu pemulihan yang luar biasa karena tahun lalu PNBP mengalami kontraksi 11,2 persen. Jadi, kalau dilihat dari penerimaan negara terjadi geliat pemulihan ekonomi yang terekam cukup kuat," imbuh Sri.
Di sisi belanja negara, pada semester I sudah direalisasikan sebesar Rp 1170,1 triliun atau 42,5 persen dari target belanja tahun ini. Belanja ini tumbuh 9,4 persen dibanding tahun lalu yang hanya tumbuh 3,4 persen.
Jika dilihat lebih perinci, kenaikan yang signifikan disumbangkan oleh belanja pemerintah pusat yaitu sebesar Rp 796,3 triliun atau naik 19,1 persen dari tahun lalu.
"Ini sumbangannya terutama dari belanja kementerian atau lembaga, yaitu Rp 449,6 triliun atau 43,6 persen dari total belanja. Belanja kementerian atau lembaga ini melonjak 28,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Jadi, ini tumbuhnya sudah sangat tinggi dan memang APBN menjadi motor penggerak pemulihan ekonomi yang luar biasa, terutama pada semester I ini," ungkap dia.
Adapun untuk belanja nonkementerian atau lembaga mencapai Rp 346,7 triliun atau naik 8,9 persen dari tahun lalu. Untuk transfer ke daerah masih mengalami kendala, yaitu terealisasi Rp 373,9 triliun atau kontraksi 6,8 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp 400,9 triliun.
"Ini pun sesudah ditransfer ternyata juga masih ada SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan) atau berarti belum dipakai langsung oleh para pemerintah daerahnya. Untuk realisasi semester ini, kami mengalami defisit Rp 283,2 triliun atau 1,72 persen," imbuh Sri Mulyani.
Eks Direktur di Bank Dunia itu menilai, dengan adanya peningkatan angka kasus Covid-19 yang kemudian berimbas pada diterapkannya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, maka APBN perlu meningkatkan dukungannya bagi program-program di bidang kesehatan dan perlindungan sosial.
Untuk pagu di bidang kesehatan, pada 2021 akan mengalami kenaikan lagi, yaitu mencapai Rp 193,93 triliun.
"Jadi, terjadi kenaikan yang sangat tinggi di bidang kesehatan, terutama untuk membiayai diagnostik testing, tracing, untuk biaya perawatan sekarang ini 236.340 pasien, untuk insentif tenaga kesehatan, santunan kematian, dan juga pembelian berbagai obat dan APD," kata dia.
Lebih lanjut, kata Sri Mulyani, anggaran Rp 193 triliun juga dipakai untuk pengadaan 53,9 juta dosis vaksin dan bantuan untuk iuran JKN untuk 19,15 juta orang.
BACA JUGA: Jelang Tengah Malam, Sejumlah Petugas Bersenjata Serbu Indomaret
"Di dalam anggaran kesehatan ini termasuk insentif untuk perpajakan bagi sektor kesehatan," pungkas Sri Mulyani. (tan/jpnn)
BACA JUGA: Punya Banyak Teman Sopir, Penjual Kopi Ini Bisa Raup Jutaan Rupiah, Polisi Curiga
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sri Mulyani Akui Pertumbuhan Ekonomi Bisa Turun, Pemerintah Waspada
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga