jpnn.com, JAKARTA - Kleidoskop Pilpres sedari 2022 hingga awal 2024 ini tampak diwarnai oleh pertunjukan 'teater hipokrit' yang aktor-aktornya berasal dari berbagai kalangan, dari masyarakat biasa hingga Presiden. Seseorang mengatakan A di sini, ternyata di sana mengatakan B, atau ternyata menjalankan yang menjadi kebalikan dari A maupun B.
Memilukan, dulu bilang begitu, kini bilang begini. Ucap dan laku yang mencerminkan hipokrisi. Laku hipokrit seperti itu, seakan mendapatkan permakluman di panggung politik. Hipokrit sendiri dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan munafik atau orang yang suka berpura-pura.
BACA JUGA: Gibran Calon Wakil Presiden Percaya Diri, Patut Diapresiasi
Teater Hipokrit dijalankan oleh berbagai kalangan. Masyarakat menjadi saksi berkali-kali Jokowi membantah isu ‘tiga periode’ kepemimpinannya melalui media. Jokowi mengatakan isu itu hanya wacana dari masyarakat pendukungnya, dan bukan dari dirinya.
Dalam wawancara khusus dengan Karni Ilyas dari TV One yang tayangannya menyebar di sosial media (sosmed), Jokowi mengatakan, banyak masyarakat yang menyuarakan hujatan kepada presiden, atau meminta ganti predisen, Jokowi mundur, dan lain-lain.
BACA JUGA: Ulama Penjaga Keharmonisan Umat di Tahun Politik
“Itu saya biarkan saja. Nah, boleh kan ada masyarakat yang berwacana ‘tiga peiode? Jika yang itu boleh berwacana seperi itu, yang ini boleh dong berwacana begini!” kira-kira seperti itu transkripsi dalam wawancara di TV One tersebut.
Jejak digital di internet menjelaskan, isu presiden tiga periode itu memang mengemuka di internal PDIP. Berbagai kalangan menyebut isu tiga periode itu memang keinginan mantan Gubernur Jakarta itu. Jadi, bukan sekedar isu. Yang jelas, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri secara tegas menolak wacana presiden tiga periode karena bertentangan dengan konstitusi.
BACA JUGA: Mampukah Gibran Melanjutkan Kesuksesan Memberantas Pungli di Level Nasional?
Isu tiga periode menguap, dan berganti dengan isu melanggengkan kekuasaan melalui putra tertua Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka. Isu ini juga sempat dibantah Jokowi, dan mengatakan itu tidak logis. Namun, ternyata pada November 2023, Gibran resmi menjadi Calon wakil presiden (Cawapres) mendampingi Calon presiden Prabowo Subianto.
Budayawan Mohtar Lubis menyebut, salah satu ciri manusia Indonesia adalah bersifat hipokrit. Sungguh menyedihkan pemimpin ikut menjadi aktor dalam pertunjukan teater hipokrit.
Dalam berbagai ajaran agama dan tradisi, perbuatan hipokrit sangat tercela, dilarang dan diharamkan, sebab bisa merusak berbagai tatanan. Dalam ajaran Islam disebut, orang hipokrit atau munafik, menempati kerak neraka.
Kita mesti menolak budaya hipokrit, dan menyeret pelakunya ke pengadilan. Bila budaya ini makin berkembang, wajah demokrasi yang diagungkan akan bernuansa pseudo (palsu) demokrasi. Bila demokrasi makin palsu dan keropos, maka Republik yang bersendi demokrasi Pancasila ini terancam sebesar-besarnya dari berbagai arah, luar dan dalam, horizontal dan vertikal.
Mahkamah Konstitusi
Riak-riak pseudo demokrasi itu bisa kita saksikan dalam drama Mahkamah Konstitusi yang memuluskan Gibran sebagai cawapres. Aturan usia Capres dan Cawapres minimal 40 tahun, digugat oleh seorang mahasiswa dari Solo, dan bisa mengakal-bulusi aturan yang telah dirumuskan oleh ratusan orang penting di tanah air ini, Di antara mereka itu ada yang bergelar guru besar (profesor). Tragis, sekian pemikiran guru besar dapat digugat oleh seorang mahasiswa di mahkamah tertinggi pengadilan perkara konstitusi.
Lalu MK menggelar sidang untuk menindak hakim yang merupakan keluarga Jokowi. Sidang ini lagi-lagi hanya berupa ‘pertunjukan teater’ karena meski hakim dijatuhi hukuman, ia tidak dipecat dari MK, tidak diproses hukum. Keputusan yang ia buat tidak bisa dibatalkan. Seandainya putusan dapat dibatalkan, dan Gibran tidak maju menjadi Cawapres, mungkin peristiwa di MK itu tidak akan kentara sebagai teater hipokrit.
Begitulah pertunjukan teater, hal muskil bisa saja terjadi, dalam lakon Hamlet gubahan William Shakespeare, seorang adik merebut kekuasaan dari kakaknya dan menikahi istrinya. Namun ternyata, hal muskil itu bukan hanya berlaku di ranah teater yang sifatnya fiksi, justru di ranah fakta pun terjadi di tanah Nusantara ini. Amangkurat II misalnya (cucu Sultan Agung – Mataram), membawa lari salah satu selir ayahnya (Amangkurat I).
Sinyalemen pseudo demokrasi, juga terasa dalam praktik menyampaikan aspirasi yang merupakan salah satu aktivitas berdemokrasi itu sendiri. Cukup banyak masyarakat yang telah tercerabut dari akar kebaikan dan adab kesantunan. Bila mencermati sosial media terutama kanal X (twitter), betapa pseudo demokrasi makin marak dan mewabah.
Para pengguna sosmed bukan lagi saling mengeritik, bahkan sudah saling menghina dan menyudutkan. Arahnya bukan lagi horizontal antar-masyarakat, tapi sudah vertikal dari masyarakat ke pimpinan negara. Akun X resmi Presiden Joko Widodo misalnya, selalu saja ditanggapi komentar dari ‘user’ dengan kritik lembut hingga kritik menggunakan bahasa yang sangat sarkastis. Apalagi jelang Pilpres 2024 ini, kampanye pencitraan di satu sisi versus kampanye hitam di sisi lain, memperlihatkan masyarakat Indonesia ternyata bisa ‘setega dan seprimitif’ itu dalam mengumbar bahasa yang kasar.
Suasana Panas
Pasca-pilpres 2024, suasana panas di ranah politik harus mendingin dan carut-marut persoalan dapat diurai dengan baik. Maka kita perlu duduk merenung, mencermati akar masalah, dan merumuskan solusi yang dapat dijalankan.
Pertama sekali teringat, ada yang sulit dibantah, bahwa keinginan untuk melanggengkan kenyamanan dan kenikmatan dalam berkuasa, bahasa kerennya politik dinasti, adalah naluri purba manusia sebagai mahluk primitif. Kekuasaan sudah ada dalam masyarakat primitif, dengan menunjuk siapa kuat dia paling berkuasa, dan siapa berkuasa, dia yang memimpin.
Pemimpin bisa diganti dengan cara direbut, kudeta, berkelahi atau perang sampai mati. Hingga jaman modern pemerintahan monarki di Tanah Jawa, kekuasaan Raja sebagiannya diganti dengan cara direbut atau dikudeta. Bahkan ada yang menafsir, Surat Perintah 11 Maret tahun 1966 dari Bung Karno ke Pak Harto yang dokumennya tidak sampai sekarang, merupakan praktik coup de ‘etat (kudeta) di Indonesia.
Karena kekuasaan itu memang nyaman dan memabukkan, bisa kita lihat bagaimana presiden pertama berusaha melanggengkan kekuasaan melalui peraturan presiden seumur hidup. Lalu presiden kedua diam-diam mengamini praktik yang dilakukan pendahulunya, dan berkuasa lebih lama dari presiden pertama.
Jokowi juga tampaknya mabuk dengan cara dan peristiwa yang berbeda. Ia lima kali memenangkan pemilihan kekuasaan secara spektakuler, dari walikota, gubernur, hingga presiden, dan mungkin Jokowi adalah satu-satunya di muka bumi yang dapat meraihnya. Ia begitu percaya diri, terutama setelah 90 persen rakyat Solo memilih kembali dirinya sebagai walikota periode kedua.
Menurut akal waras dan rasa keadilan Pancasila yang berkonstitusi: aturan tak boleh dilabrak, tapi Jokowi tergelincir dan melakukan hal yang blunder, yaitu melanggengkan kekuasaan dengan politik dinasti.
Selain faktor kenyamanan dan kelezatan dalam berkuasa, tentu ada faktor-faktor yang menyulutnya untuk meng-estafetkan kekuasaan itu, misalnya ketakutan akan dibongkarnya hal yang bersifat ‘dosa’ selama berkuasa, termasuk menuntaskan program dan proyek yang sudah dijalankan.
Dalam wawancara dengan Karni Ilyas, Jokowi menyebut perlunya menjalankan pemerintahan yang berkelanjutan. Program dan proyek Pembangunan Ibukota Negara (IKN) di Kalimantan Timur yang menelan dana ratusan triliyun misalnya, sudah dijalankan dan pasti tidak selesai hingga akhir kekuasaan Jokowi.
Proyek paling mercusuar itu bisa mangkrak jika pemerintahan berikutnya tidak mau melanjutkan. Karena itu, Jokowi berusaha mencari capres dan cawapres yang benar-benar berkomitmen bisa melanjutan program dan proyek yang sudah dijalankan tapi belum rampung.
Seandainya Jokowi benar-benar berprestasi gemilang, sangat mungkin rakyat memilihnya lagi bila ia mencalonkan kembali seperti Grover Cleveland di Amerika sana, atau seperti Mahathir Mohamad di Malaysia yang kembali berkuasa setelah dijeda oleh dua PM lain yang tidak segemilang Mahathir. Ia berkuasa terhitung sejak 16 Juli 1981 – hingga 30 Oktober 2003, kemudian dijeda oleh PM Abdullah Ahmad Badawi dan PM Najib Razak. Mahathir kembali menjadi PM Malaysia pada 10 Mei 2018 hingga 24 Februari 2020.
Namun itu hanya andai-andai dan harus kita kesampingkan. Sekarang yang perlu difokuskan adalah bagaimana kita memilih presiden dengan pikiran dan intuisi yang jernih, dengan akal dan nurani yang sehat, dari tiga pasangan calon yang ada. Karena ditangan presiden dan wakil presiden terpilih akan menentukan arah bangsa dan nasib 278 juta jiwa rakyat Indonesia.
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul